(POV - Sebastian Moran)
"Apa kau tidur dengan reporter itu?"
Suara Devlin yang halus menegurku segera setelah Ia masuk ke dalam kantorku. Ini adalah kali pertamanya Ia mengunjungi kantorku selama aku menjabat sebagai CFO di Bank Barclays lima tahun terakhir.
Sepasang mata abu-abu di balik kacamatanya memandang ke seluruh penjuru ruangan kantorku yang luas dengan pandangan terkesan. "Apa iya?" tanyanya lagi sambil mengarahkan tatapannya pada jendela kaca yang mengelilingi sebagian dinding kantorku.
Aku menoleh padanya sekilas sebelum kembali membaca dokumen di mejaku. "Apa iya apanya?" Bagaimana kau bisa masuk kesini?"
"Kau tidur dengan reporter itu? Miss Ludmila Benson dari The Daily Wire?" ulangnya masih dengan suara halusnya yang terdengar sopan dan berpendidikan. Tapi sebagai seseorang yang sudah mengenalnya seumur hidupku, aku tahu di balik suara itu Devlin sedang sangat marah. Tampang ramah, suara halus dan sopannya, senyuman tulus di wajahnya, semua itu hanya topeng yang Ia gunakan untuk berbaur dengan manusia di sekitarnya. "Sekretarismu mempersilahkanku masuk saat aku memberikan kartu namaku. Apa kau lupa kita memiliki nama belakang yang sama?" tambahnya untuk menjawab pertanyaanku yang sebelumnya.
"Tidak, aku tidak tidur dengan Miss Benson." ucapku sebelum meletakkan dokumen yang sedang kubaca lalu menatap adikku. "Tapi aku akan tidur dengannya."
"Oh, ya?" Kedua matanya berkilat marah tapi ekspresinya masih terlihat santai. Percayalah padaku, orang-orang yang memiliki wajah tenang dan kalem sepertinya adalah orang-orang yang paling berbahaya.
"Darimana kau tahu tentangnya?" tanyaku.
"Dari rekaman CCTV Magnus." balasnya pendek. Sebuah senyuman sinis yang samar muncul di wajahnya saat melihat ekspresi tidak mengertiku. "Paul mengirimkan e-mail pagi ini. Kau tidak mengeceknya?"
Paul adalah manager Magnus yang sudah bekerja pada kami selama sepuluh tahun terakhir. "Untuk apa Ia mengirim rekaman CCTV Magnus?" tanyaku dengan amarah yang mulai muncul. Aku tidak tahu ternyata Paul berani mencampuri urusan pribadiku.
"Kau harus menontonnya sendiri." jawab Devlin dengan suaranya yang mulai membuatku jengkel. "Miss Benson-mu sepertinya sedang merencanakan sesuatu. Dan dilihat dari reaksimu, sepertinya kau sendiri juga tidak tahu."
Kami berpandangan sejenak sebelum akhirnya aku mengalah dan membuka e-mail Paul dari komputer kantorku. Ada dua file rekaman CCTV dari tanggal berbeda yang dikirimkan olehnya. Wajahku mengeras saat melihat Ludmila yang mengenakan dress mini merahnya sedang mengendap-endap memasuki kantorku di Magnus dan meletakkan sesuatu di mejaku. Sebuah bolpoin yang agak besar dibanding bolpoin pada umumnya. Lalu file CCTV kedua yang diambil kemarin malam berisi potongan rekaman Ludmila yang mengambil kembali bolpoin itu dengan terburu-buru.
"Jangan bilang kau tidak sadar sudah dipermainkan oleh nona reporter kita ini?" tanya Devlin setelah aku selesai menonton rekaman itu.
Kuabaikan pertanyaannya sementara berusaha mengingat dengan siapa dan apa saja yang sudah dibicarakan di kantorku selama beberapa hari terakhir ini. "Nicholas ada di dalam rekaman itu. Ia sempat datang dua hari yang lalu." gumamku dengan jengkel.
Aku bersumpah Miss Benson akan membayar perbuatannya dengan mahal.
Devlin tahu apa topik pembicaraan kami jika Nicholas datang mengunjungi San Fransisco. "Apa kau ingin aku mengurusnya?" tawarnya.
"Mengurus siapa?" balasku dengan ketus.
"Nona reporter itu tentu saja. Kita tidak tahu seberapa banyak yang Ia ketahui tapi aku akan menghapus pikirannya, dan jika Ia melawan aku bisa membereskannya."
Aku menoleh tajam ke arahnya, "Jangan sentuh dia." ancamku dengan suara rendah. Devlin terlihat terkejut dengan responku, pandangannya terlihat seperti sedang mengkalkulasi, yang justru membuatku merasa semakin kesal.
"Bersikap teritorial... tidak seperti dirimu biasanya, Seb." gumamnya dengan dingin. "Apa nona reporter itu mainan barumu?"
"Aku yang akan membereskan kekacauan yang kubuat sendiri. Kau tidak perlu ikut campur." tegasku dengan sama dinginnya.
"Oh?" balasnya dengan skeptis, "Hubungi aku jika kau tidak tega membereskan reporter itu. Aku yang akan melakukannya untukmu." sambungnya dengan senyuman tipis.
"Dev, jangan ikut campur."
Devlin mendorong kacamatanya yang turun, "Kurasa aku harus ikut campur jika kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri."
Adikku sangat membenci manusia. Kenapa dan bagaimana Ia bisa memilih menjadi dokter bedah syaraf... Tidak ada yang tahu alasannya. Baginya manusia hanyalah sumber makanan, tidak kurang dan tidak lebih. Kurasa alasan Devlin memilih menjadi dokter adalah untuk menekan naluri dasarnya sebagai Volder yang haus akan darah. Sejak kami memulai diet meminum darah manusia dari kantong, tidak peduli seberapa bagus atau langka darahnya, rasanya masih tidak sama dibandingkan minum darah langsung dari sumbernya. Darah yang berasal dari kantong tidak sehangat, senikmat, dan sesegar darah yang masih mengalir dari nadi manusia. Belum lagi sensasi yang kami rasakan saat mangsa kami merasa ketakutan atau yang lebih baik lagi, saat mereka sedang terangsang.
Darah mereka yang pekat terasa lebih manis dan nikmat.
Devlin menyukai bau darah baru. Walaupun Ia tidak bisa meminumnya langsung, tapi baginya mencium darah segar cukup untuk menekan rasa nostalgianya saat meminum darah langsung dari manusia. Dimana lagi tempat terbaik untuk mencium aroma darah segar setiap saat selain rumah sakit?
"Biar aku yang membereskan Miss Benson." ulangku dengan lebih tenang. Aku tidak ingin kemarahanku disalahartikan dengan rasa tertarik pada manusia. Aku memang agak tertarik pada Ludmila Benson... tapi hanya untuk tubuhnya. Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku yang membuatku bertanya-tanya bagaimana rasanya berada di dalam tubuh wanita itu, mendengarnya mendesah hingga Ia kehabisan nafas, menguasai tubuhnya hingga Ia tidak bisa mengingat namanya sendiri.
Aku ingin menghukumnya hingga Ia tersiksa dalam kenikmatan dan berada dalam belas kasihanku, pikirku sambil menggertakkan rahangku dengan marah.
Devlin yang sejak tadi mengamatiku akhirnya mengalihkan pandangannya ke balik jendela, kedua matanya menjelajahi gedung pencakar langit di luar sana yang menjadi background kantorku. "Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan dengan ekspresi seperti itu... tapi jangan gunakan cara yang rumit hanya untuk menyingkirkan masalah sepele ini."
"Apa kau tidak sibuk?" tanyaku dengan jengkel, berharap nada suaraku cukup mengusirnya dari kantorku.
Ia mengangguk singkat, "Tentu saja aku sibuk, tapi aku harus datang langsung untuk memastikan kakakku tidak melakukan hal yang bodoh, bukan?"
Devlin mungkin memang mempunyai sikap sopan dan tutur kata yang halus, tapi itu malah membuat kata-katanya terasa menusuk lebih dalam. "Terima kasih." gumamku diiringi dengan gertakkan rahang, "Karena kau sibuk, silahkan pergi secepatnya." ucapku, meniru sikap sopan palsunya.
Ia berbalik menuju pintu lalu berhenti lagi untuk menoleh, "Kudengar kau akan membuang Bill Kovach? Apa aku akan mendapat penjelasan sekarang atau..." tanyanya dengan salah satu alisnya yang terangkat.
"Pergi." usirku dengan kesabaran yang sudah habis. Devlin kembali tersenyum tipis sebelum melanjutkan langkahnya keluar dari kantorku.