Aku mundur satu langkah saat tatapannya semakin terasa menusuk. Setelah satu menit penuh saling berpandangan aku memutuskan kembali ke dalam kamar. Jika matanya bisa mengeluarkan sinar laser mungkin sekarang kepalaku sudah berlubang karena pandangan penuh kebenciannya.
Ahhh... sial. Bagaimana cara untuk keluar dari tempat ini? Kugigit bibirku sambil berjalan berkeliling ruangan kamar besar ini. Apa Sebastian berpikir Ia bisa menahanku disini untuk dijadikan budak seksnya? Tidak... Ia bukan orang yang seperti itu, kan?
Sepertinya alasannya berhubungan dengan perbuatanku yang menyadap kantornya di Magnus. Kalau begitu ini ada hubungannya dengan sandi kata 'Volder' yang kudengar dalam pembicaraannya bersama Nicholas Shaw. Aku masih belum bisa memecahkannya hingga sekarang. Yang kutangkap hanyalah Sebastian dan Nicholas Shaw berencana membangun rumah sakit kanker dan bank darah swasta di San Fransisco... tapi alasan mereka terdengar aneh. Volder? Meminum darah? Insiden serangan gigitan di Detroit? Semua itu tidak masuk akal dan aku tidak bisa menemukan petunjuk apa-apa lagi.
Suara dari balkon membuatku membalikkan punggungku lagi. Dengan sedikit shock aku menatap Devlin Moran yang sudah berdiri di balik pintu kaca balkon. Dengan tenang Ia membuka pintu itu lalu melangkah masuk ke kamar ini.
"BaโBagaimana kau bisa naik kesini?" tanyaku dengan shock. Kamar ini berada di lantai tiga dan Ia bisa naik ke atas balkon dengan sengat mudah.
"Aku bertanya-tanya kenapa Sebastian tidak mengangkat teleponku sejak semalam... ternyata Ia sedang sibuk dengan reporter kecil kita." ucapnya, masih dengan tatapan penuh kebencian. Ia kembali melangkah dengan aura yang mengancam hingga aku harus menjauh darinya.
"Apa yang kau inginkan?!" sahutku dengan suara keras, berharap Sebastian bisa mendengarku dari luar sana.
Devlin terlihat kesal saat mendengar nada suaraku. "Diam." ancamnya sebelum kembali melangkah. "Apa Ia sudah menghapus ingatanmu?" lanjutnya. "Karena aku akan membantunya membereskan masalah ini jika Ia belum melakukannya. Sekarang tatap mataku baik-baik, Miss Benson, aku akan membuatmu melupakan semua yang pernah terjadi di tempat ini."
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan." balasku sambil mengedarkan pandanganku ke sekitar, aku harus mencari senjata untuk melindungi diriku. Aku tidak tahu apa instingku berlebihan tapi pria ini terlihat ingin melukaiku. Kuambil sebuah vas bunga kristal besar yang berada di meja dekat tempatku berdiri.
Rahangnya berkedut marah saat tahu apa yang mau kulakukan. "Jika kau melemparkannya padaku, aku bersumpah kau akan mati." ancamnya dengan anda rendah yang membuat jantungku berdebar. Dasar sial, kenapa Sebastian mengunci kamar ini?!
"Kalau begitu jangan mendekat!" bentakku sambil mengacungkan vas bunga berat ini dengan kedua tanganku.
"Coba saja kalau kau berani." tantangnya dengan senyuman penuh ancaman.
"Aku tidak bercanda." ulangku dengan nada yang sama dengannya.
Tiba-tiba Devlin Moran bergerak menerjang ke arahku, refleks tanganku meleparkan vas bunga kristal di tanganku hingga mengenai kepalanya dengan sempurna.
PRANG!!! Suara vas bunga yang pecah di atas kepalanya terdengar nyaring di ruangan ini. Devlin memejamkan kepalanya sambil terhuyung lalu jatuh tergeletak di lantai sementara bunga mawar plastik dan pecahan kristal bertebaran di sekitarnya. Kerlap-kerlip pecahan kristal yang terkena pantulan lampu dan cahaya dari luar membuatnya terlihat seperti putri tidur di cerita Disney. Tapi hanya sekilas, karena kemudian aku melihat darah yang mengucur deras dari kepalanya.
"Oh, tidak!" pekikku dengan ngeri sambil memeriksa nadi lehernya yang berdenyut lemah. Vas bunga itu terasa sangat berat saat berada di tanganku tadi, apa aku membunuhnya? pikirku dengan panik.
Saat aku menepuk pipinya beberapa kali, tiba-tiba Devlin membuka kedua matanya. Irisnya yang sebelumnya berwarna abu-abu kini sudah berubah menjadi hitam kelam seluruhnya. Aku terkesiap hingga jatuh terduduk di sebelahnya.
Darah masih mengucur dari kepalanya sementara Ia menatapku dengan murka. "Sudah kubilang kau akan mati jika melemparkan vas itu padaku." Sepasang taring panjang terlihat jelas dari balik bibirnya saat Ia berbicara.
Kubuka mulutku untuk menjerit ngeri sambil menyeret tubuhku menjauh darinya, Tiba-tiba pintu di belakang kami menjeblak terbuka dan Sebastian membantuku berdiri lalu menarikku ke balik punggungnya.
"Devlin... Aku sudah bilang kau tidak perlu ikut campur!" Teriaknya dengan marah hingga punggungnya bergetar.
"Apa kau sudah gila sampai membawanya kesini?!" Devlin berteriak balik sambil menyeringai hingga kedua taringnya terlihat jelas. Aku terlonjak ngeri dari tempatku. Sementara mereka berdua saling berteriak marah, aku mundur dengan sangat perlahan lalu keluar dari pintu kamar yang masih terbuka. Tanpa membuang waktu lagi aku berlari menuruni tangga sambil terus mendengarkan teriakan mereka yang menggema di seluruh rumah ini.
Kuharap mereka masih berteriak sampai aku bisa keluar dari sini!
Tanpa mengenakan alas, kakiku berlari melewati dapur dan akhirnya keluar dari pintu rumah sialan ini. Kupikir aku sudah berhasil saat keluar dari rumahnya tapi halamannya yang sangat luas membuatku agak bingung dimana jalan menuju ke gerbangnya.
Tanpa berhenti aku terus berlari melewati rumput dan pepohonan yang terawat di sekitarku. Karena penasaran dan tidak bisa mendengar suara teriakan mereka lagi, aku menoleh ke belakangku untuk mengecek apa mereka sedang mengejarku.
Tapi untungnya tidak terlihat satu orang pun di belakangku.
Aku harus keluar secepatnya dari tempat ini, pikirku sebelum kembali menatap ke depan.
BRAKKK! Tubuhku menabrak seseorang. Sebastian berdiri di depanku sementara tangannya menahan kedua pinggangku agar aku tidak jatuh. "Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali, perjanjian kita belum selesai, Miss Benson." ucapnya dengan nada rendah yang penuh amarah.
"Ahhhhhhh!!!!!" jeritku lebih karena terkejut daripada takut. Sebastian mengangkat kedua pinggangku lalu melemparkan tubuhku ke salah satu pundaknya sebelum Ia berjalan kembali ke rumahnya. Pemandanganku terbalik seratus delapan puluh derajat.
"Turunkan! Turunkan aku!" teriakku dengan marah. Aku merasa seperti hewan ternak yang sedang dibawa ke tempat penjagalan.
"Diam!" tegurnya dengan marah diikuti oleh pukulan keras telapak tangannya di bokongku sementara tangannya yang lain meraba-raba kakiku.
Dasar pria mesum sialan!
"Turunkan aku!" ulangku sambil berusaha menendangnya. Sebastian kembali memukul bokongku hingga aku menghentikan kakiku.
Walaupun pandanganku terbalik saat ini, tapi ketika kami melewati dapur aku bisa melihat Devlin Moran yang sedang berdiri di depan wastafel sambil mengkompres kepalanya dengan daging steak mentah.
Dasar brengsek, seharusnya aku memukul kepalanya dua kali lagi tadi! pikirku dengan perasaan histeris sambil melemparkan tatapan marahku padanya sementara Ia hanya memandangku sekilas.
Aku tidak tahu mana yang lebih dominan saat ini di dalam diriku, perasaan takut, histeris, atau marah...
Kurasa perasaan marahku mengalahkan semuanya, karena saat ini aku ingin menghajar kedua pria ini setelah apa yang mereka perbuat padaku.