Kali ini Sebastian mengurungku di kamar pribadinya yang berada di lantai dua. Aku sempat menggedor pintunya berkali-kali dengan kesal tapi akhirnya berhenti setelah kelelahan.
Kulempar tubuhku di ranjangnya lalu berpikir bagaimana caranya bisa keluar dari tempat ini. Sekarang aku tahu Devlin Moran ingin membunuhku... atau paling tidak membalas melukaiku.
Dan mereka berdua bukan manusia.
Aku bergidik ngeri saat mengingat kedua taring yang memanjang dari mulutnya, dan kedua mata hitam aneh itu... Apa mereka benar-benar vampire?
Rasanya sangat tidak masuk akal, tapi aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri barusan. Kugigit bibirku lalu bangun dari ranjang.
Satu hal yang kuyakini saat ini, Sebastian adalah jalan keluarku satu-satunya dalam situasi ini. Selama Ia masih terobsesi dengan perjanjian kami, maka aku bisa menggunakan tubuhku sebagai senjataku.
Oh tentu saja aku tidak bermaksud menjual tubuhku secara sepihak, aku juga menyukai tubuh Sebastian. Pengalaman pertamaku dengannya semalam sangat luar biasa, rasanya sayang jika hanya melakukannya sekali..
Jadi bisa dibilang rencanaku sambil menyelam minum air?
Kupakai shower di kamar mandi luasnya untuk membersihkan seluruh tubuhku setelah berlari di luar tadi.
Lalu tanpa mengenakan sehelai pakaian pun aku keluar dari kamar mandinya dan menunggu di atas ranjangnya hanya ditutupi dengan selembar selimut satin tipis berwarna hitam yang senada dengan seprai ranjangnya.
Aku juga tidak lupa menutup tirai kamarnya agar suasananya terasa remang-remang.
Sayang sekali make up dan lingerie yang bisa kupakai ada di kamar lantai tiga... tapi telanjang lebih baik dari pakaian dalam seksi, kan?
Aku menunggu selama hampir satu jam sebelum akhirnya pintu di seberangku terbuka.
Sebastian terlihat terkejut saat melihatku berada di atas ranjangnya hanya ditutupi selimut hingga pahaku, sedangkan kedua kakiku yang telanjang terpampang dengan jelas.
Ia berkedip beberapa kali sambil menjelajahi tubuhku dengan kedua matanya sebelum akhirnya menatap wajahku. "Apa... yang sedang kau lakukan?" tanyanya, masih berdiri di depan pintu.
"Bukankah barusan kau bilang aku tidak boleh turun dari ranjangmu hingga perjanjian kita selesai?" tanyaku sambil mengangkat kedua alisku dengan pandangan bertanya yang kuharap... terlihat seksi.
Ia mengangguk singkat lalu mulai melangkah ke arah ranjang. "Tapi hanya saat malam, Miss Benson. Sekarang kita harus bicara."
Walaupun ucapannya seperti itu tapi Sebastian tetap mendekat padaku, Ia duduk di pinggir tempat tidur lalu menarik daguku hingga aku mendongak.
"Apa aku sudah pernah mengatakan padamu kalau kau sangat cantik?" gumamnya dengan suara rendah.
"Iya." bisikku tanpa mengalihkan pandanganku dari kedua mata abu-abunya yang dipenuhi gairah. Rahangnya ditumbuhi bakal janggut yang menurutku sangat cocok di wajah tegasnya.
Wajahnya semakin mendekat hingga membuatku memejamkan kedua mataku, saat Ia tidak kunjung menciumku juga aku membuka mataku kembali.
Ia tersenyum membenamkan wajahnya di leherku. "Baumu sangat enak."
"Apa bauku membuatmu ingin menggigitku?"
Tubuhnya membeku di atasku, lalu perlahan Sebastian menarik tubuhnya menjauh. "Kau tidak takut?" balasnya dengan heran.
Anehnya... aku tidak merasa takut pada Sebastian walaupun saudaranya menakutkan bagiku. Aku menggeleng singkat, responku membuatnya kembali tersenyum.
"Kalau begitu kau berada dalam masalah besar." katanya sebelum kembali menunduk dan mencium sudut bibirku.
Keningku berkerut bingung, "Huh? Memangnya kenapa?"
"Karena rasa tidak takutmu membuatku semakin ingin memangsamu." jawabnya sambil menyusuri bibirnya di rahangku. Tiba-tiba Ia menghela nafas lalu menarik dirinya lagi dan berdiri dari ranjang.
"Devlin ingin berbicara padamu... dan aku juga harus menjelaskan semuanya agar kesalahpahaman seperti tadi tidak terulang lagi." Ia mengulurkan tangannya padaku sementara aku menatapnya dengan ekspresi enggan.
"Apa kau bisa mengambilkan pakaianku di kamar mandi?" pintaku sambil duduk di pinggir ranjangnya, kedua tanganku menahan selimut di dadaku untuk menutupi tubuh telanjangku.
Sebastian pergi ke kamar mandinya lalu kembali dengan pakaianku. Ia hanya berdiri di depanku sementara aku menunggunya keluar agar aku bisa mengenakan baju.
"Tolong... keluar." ucapku sambil memandang ke arah pintu kamarnya.
Sebastian terlihat sedikit geli saat mendengar ucapanku. "Miss Benson, aku sudah melihat tubuh telanjangmu semalaman. Sekarang sudah terlambat untuk merasa malu."
Kubalas kata-katanya dengan pandangan ketusku. "Tadi malam dan sekarang berbeda, Mr. Moran. Tolong keluar." ulangku dengan sebal.
Ia tertawa dengan suara rendahnya lalu membungkuk seperti seorang gentleman sebelum keluar dari kamarnya. "Jangan terlalu lama." katanya sebelum menutup pintu.
Kulepas selimut yang menutupi tubuhku lalu mengenakan kaos dan celana jeans yang sebelumnya kupakai. Aku ingin mengikat rambut keritingku tapi ikat rambutku ada di tasku yang entah ada simana saat ini.
Omong-omong tentang tas, aku juga harus segera meminta handphoneku kembali.
Pekerjaanku masih banyak yang belum selesai, belum lagi aku harus menyelesaikan beberapa artikel mingguan dan persiapan untuk membuka kembali reportase investigasi Bill Kovach.
Sebastian menunggu di depan kamarnya saat aku keluar. "Takut aku kabur lagi?" tanyaku dengan kesal sambil berjalan menuruni tangga.
"Tidak." balasnya dari belakangku. "Devlin takut kau akan melemparkan vas bunga lagi, Ia memintaku mengawalmu."
Aku mendengus ketus saat mendengar jawabannya. "Apa Ia tidak apa-apa?"
"Tenang saja. Kepalanya lebih keras dibanding manusia pada umumnya."
Devlin Moran adalah pria yang lumayan tampan. Tapi Ia bukan tipeku. Dilihat dari penampilannya yang sangat rapi sepertinya Ia memiliki sikap yang kaku.
Hanya dengan sekali tatap saja aku sudah bisa tahu, sifat kami sangat berkebalikan.
Ia duduk di balik counter dapur yang terbuat dari marmer. Kedua matanya yang terlihat dingin dari balik kacamatanya langsung terarah pada kami setelah kami turun dari tangga.
"Apa kepalamu masih sakit?" tanyaku berbasa-basi walaupun nada suaraku agak ketus.
"Apa kau pikir kau memukul kepalaku dengan bantal?" tanyanya balik dengan sama ketusnya. "Jika aku manusia, kau sudah terkena pasal pembunuhan."
Kuangkat kedua alisku ke atas, "Oh ya? Sayang sekali kalau begitu."
Sebastian duduk di sebelahku lalu berdeham untuk mengalihkan perhatian kami. "Dev, aku yakin kau sedang sibuk hari ini. Langsung saja tanyakan apa yang ingin kau tanyakan pada Miss Benson."
Devlin menatap kakaknya sekilas sebelum kembali memandangku dengan dingin, "Apa kau tidur dengan Sebastian?"
Pertanyaannya yang di luar dugaanku membuatku agak terkejut tapi aku berhasil menguasai diriku sebelum membalasnya, "Memangnya kau pikir kami membahas saham? Tentu saja aku tidur dengannya."
"Jadi kau menjual dirimu hanya untuk mendapatkan informasi tentang Bill Kovach? Aku tidak tahu harga diri reporter jaman sekarang sangat rendah." ucapnya dengan ekspresi masam. Ia berdiri dari tempatnya lalu mengambil sebotol wine dari lemari penyimpanan di bawah counter.
"Lalu apa kau akan tidur denganku jika aku memberikan informasi tentang Bill Kovach juga?" lanjutnya sambil menuangkan cairan kental seperti wine dari botol itu, tapi warnanya jauh lebih pekat dari pada wine merah.
"Dev." Sebastian menegurnya dari sebelahku.
"Tidak, aku tidak akan tidur denganmu. Kau bukan tipeku." balasku sambil mengamatinya meneguk cairan merah gelap di dalam gelasnya. "Apa itu?" tanyaku walaupun aku sudah bisa menebaknya.
"Menurutmu apa?" tanyanya balik sambil menjilat bibirnya, kedua taringnya kembali mengintip dari balik bibirnya.
Aku terhenyak di kursiku selama beberapa saat, "Jadi vampire benar-benar ada, huh?"
Devlin mengernyit jijik saat mendengar pertanyaanku. "Vampire hanya buah imajinasi manusia. Kami bukan mahkluk yang seperti itu."
"Lalu apa kalian sebenarnya?" bisikku tanpa bisa mengalihkan pandanganku dari kedua taringnya.
"Kami adalah Volder."