Volder.
Aku mendengarnya dalam rekaman permbicaraan Nicholas Shaw dan Sebastian.
"Kalian memiliki taring dan minum darah... bukankah itu namanya vampire?"
Devlin menghela nafasnya, "Padahal baru saja aku mengatakannya padamu... Vampire hanya buah imajinasi manusia. Walaupun memang vampire sedikit terinspirasi dari Volder, tapi kami berbeda."
"Kalian bisa berubah menjadi kelelawar?" tanyaku sambil menoleh pada Sebastian di sebelahku.
Ia hanya menarik salah satu sudut bibirnya lalu menggeleng.
Devlin memijat pelipisnya dengan kedua tangannya, "Dengarkan aku baik-baik, Miss Benson. Aku harus tahu seberapa banyak kau mendengar rekaman pembicaraan Sebastian dengan Nicholas."
"Kenapa?"
"Karena kami harus menghapus informasi itu dari kepalamu." jawabnya.
"Kau harus... apa? Apa kalian bercanda? Jadi Volder bisa menghapus pikiran tapi tidak bisa berubah wujud menjadi kelelawar?" balasku dengan nada pura-pura heran, walaupun sebenarnya aku hanya ingin membuatnya kesal.
Dan kelihatannya aku berhasil. Rahang Devlin berkedut marah saat mendengar pertanyaanku.
"Kita hapus saja seluruh ingatannya." gumamnya dengan kesal pada Sebastian.
Kulemparkan senyuman termanisku padanya dengan maksud mengejek. "Tidak perlu menghapus apapun dariku. Aku tidak akan memberitahu rahasia kalian... lagipula siapa yang akan percaya vampire itu nyata?"
"Kami Volder... bukan vampire." desis Devlin dengan ketus. "Sepertinya kau tidak punya rasa takut sama sekali, huh?"
Sebastian yang sejak tadi hanya menonton akhirnya membuka suaranya, "Dev, aku yang akan menghapus ingatan Miss Benson setelah perjanjian kami sudah selesai."
Devlin menoleh tajam ke arahnya. "Perjanjianmu berakhir disini, Sebastian. Yang kau lakukan saat ini terlalu berbahaya, apa kau masih tidak sadar Ia seorang reporter?!"
"Aku seorang reporter, bukan penulis novel. Percayalah padaku, jika aku membuat artikel investigasi tentang Volder seluruh dunia akan menganggapku gila." Sambil menghela nafas aku berdiri dari kursi counter yang kududuki.
"Tunggu dulu, mau kemana kau? Pembicaraan kita belum selesai."
Aku menoleh pada Devlin. "Kalian putuskan saja sendiri. Bukankah pada akhirnya aku akan melupakan semua pembicaraan ini?"
Lalu kualihkan pandanganku pada Sebastian, "Aku butuh handphoneku. Kalau kau masih akan mengurungku di tempat ini, aku juga butuh laptop untuk mengerjakan artikel dan laporanku." kataku dengan kesal sebelum berjalan ke arah tangga untuk kembali ke kamarnya.
Dari belakang suara tidak percaya Devlin kembali terdengar. "Dasar aneh... wanita itu benar-benar tidak memiliki rasa takut."
***
Sebastian mengembalikan tas dan handphoneku sorenya, Ia juga meminjamkan laptop miliknya. Tidak seperti biasanya Ia juga terlihat lebih santai saat berada di dekatku, kurasa Ia sudah tidak khawatir aku akan kabur lagi.
Kami menghabiskan sepanjang sore dengan memasak... maksudku Sebastian yang memasak, sedangkan aku menemaninya sambil mengerjakan laporanku.
Seperti janjinya Ia memberiku seluruh informasi yang Ia miliki mengenai Bill Kovach. Aku hampir tidak bisa bernafas karena rasa antusiasku saat membuka file dari flashdisk yang Ia berikan.
Aku duduk di depan counter dapurnya dengan laptopku sementara Sebastian memasak pasta di seberangku. Sesekali aku mengintipnya dari balik laptopku.
Pria ini benar-benar aneh... aku tahu Ia orang yang sangat sibuk, kupikir selama hidupnya Ia hanya pernah makan di restauran atau memesan makanan dari sana. Aku tidak menyangka Ia bisa memasak.
"Kau tidak minum darah?" tanyaku penasaran saat Ia memasukkan pasta kering ke dalam panci berisi air mendidih.
Sebastian menengok sekilas ke arahku. "Aku sudah minum saat kau mandi tadi."
"Seperti apa rasanya minum darah? Lalu kenapa kau masih butuh makanan manusia kalau sudah minum darah?" berondongku tanpa bisa kucegah. Kurasa insting reporterku keluar sebelum aku bisa menyadarinya.
Kali ini Sebastian membalikkan badannya dan memberikan perhatian penuhnya.
"Rasanya seperti... darah. Kau tidak akan mengerti karena kau tidak memerlukannya." Tangannya menggaruk rahangnya yang mulai ditumbuhi bakal janggut. "Dan kau benar, aku memang tidak memerlukan makanan manusia, mungkin aku makan karena terbiasa mengikuti kebiasaan manusia. Lagipula bukannya lebih nyaman jika aku menemanimu makan?"
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya selama Ia menjelaskan. Ada sesuatu dari dirinya yang membuatku sangat tertarik padanya. Tapi aku masih belum bisa menemukan apa itu.
Apa mungkin suara beratnya? Atau wajahnya? pikirku sambil menatap wajahnya.
"Ludmila?" panggilnya saat aku tidak menjawab pertanyaannya.
Aku sedikit tersentak saat mendengarnya memanggil nama depanku. Ia hanya pernah memanggilku 'Ludmila' saat kami berhubungan seks, selain itu Ia memanggilku 'Miss Benson'.
"Apa? Ada apa?" kedua mataku berkedip bingung.
"Melamun saat orang lain sedang berbicara bukan sikap yang sopan, Miss Benson." ucapnya dengan sebuah senyuman.
Ia melanjutkan memasak sementara aku memandang punggungnya dengan wajah memerah karena malu.
Kami menghabiskan makan malam dengan makan pasta masakannya dan mengobrol. Kusingkirkan pekerjaanku karena rasanya tidak sopan melanjutkannya saat makan malam.
Karena Ia sudah memasak, kini giliranku yang mencuci piring.
Sesaat aku merasa aneh. Kegiatan kami terlihat seperti pasangan normal bukan transaksi bisnis lagi.
Apa aku benar-benar akan melupakan semua ini setelah perjanjian kita berakhir?
Tentu saja bodoh, tegurku pada diriku sendiri. Sebastian menginginkanku hanya karena rasa penasarannya. Dan aku memanfaatkan kesempatan ini untuk mendapatkan informasi tentang Bill Kovach.
Tujuan kami sangat simpel, tapi kadang perasaanku memutuskan ikut campur dan membuatku bingung sendiri.
Aku harus fokus.
Semua ini hanya transaksi bisnis.
Tiba-tiba kedua tangan Sebastian memeluk pinggangku dari belakang. Tanganku hampir menjatuhkan piring yang baru saja kubilas karena terkejut.
Ia meletakkan dagunya di atas kepalaku lalu menarik nafasnya dalam-dalam. "Sekali-kali menghabiskan waktu seperti ini tidak buruk."
Kuletakkan piring terakhir ke rak pengering sebelum menjawabnya, "Memangnya kau sesibuk itu sampai tidak sempat kencan?"
"Kencan?" balasnya dengan suara asing seakan kata itu belum pernah keluar dari bibirnya. "Ini pertama kalinya aku mengajak manusia ke rumah ini."
Manusia?
Kulepaskan tangannya dari pinggangku lalu membalikkan badanku untuk menatapnya, "Selama ini kau hanya berpacaran dengan sesama... Volder?"
"Pacar?" Sebastian mengerutkan keningnya. "Apa aku terlihat seperti seseorang yang punya waktu untuk itu?"
"Aku tidak tahu... Kau terlihat seperti seseorang yang bisa melakukan apapun." balasku dengan jujur.
Salah satu sudut bibirnya ditarik ke atas, membentuk sebuah senyuman samar.
"Apa kau sudah selesai dengan pekerjaanmu, Miss Benson?"
"Memangnya kenapa?" tanyaku. "Kau akan memberiku informasi lain tentang Kovach?"
"Tidak." jawabnya dengan suara rendah, kedua mata abu-abunya yang tajam menatapku dengan intens. "Aku ingin menagih hutangmu."