Sebastian benar-benar mengantarku hingga ke depan gedung kantor The Daily Wire. Tapi saat aku hendak keluar dari mobilnya, pintu di sebelahku masih terkunci.
"Uhh... Mr. Mor— Sebastian, mobilmu masih terkunci," kataku padanya lalu menunggunya untuk membukanya.
"Apa saja yang kau butuhkan selain laptopmu?" tanyanya sambil mengambil handphone dari saku celana jeansnya. Siang ini Ia mengenakan pakaian kasual, kaos polos berwarna abu-abu dan celana jeans biru. Aku ingin bertanya kenapa Ia tidak masuk kantor, tapi aku lupa ternyata ini hari Minggu.
Aku lupa orang-orang memiliki pekerjaan normal yang mengijinkan mereka libur. Tidak seperti jadwal kerjaku yang tidak mengenal libur karena surat kabar kami terbit setiap hari.
"Aku butuh laptop, flashdisk, dan jurnalku," jawabku, masih menunggunya membuka mobilnya yang terkunci.
Sebastian tidak meresponku karena Ia sibuk mengetik pesan di handphonenya.
"Sebastian... Tolong buka kuncinya," ulangku lagi.
Ia mendongak dari layar handphonenya lalu meletakkannya di dashboard mobilnya. "Tunggu sebentar, barangmu sedang diambilkan," gumamnya sambil memandang ke arah gedung kantor kami.
"Apa? Siapa yang mengambilnya?" tanyaku agak heran.
"Rochester," balasnya dengan enteng. Aku duduk membeku di jok mobilnya, apa Ia baru saja menyuruh pimpinan surat kabar The Daily Wire untuk mengambil barang-barangku? pikirku dengan takjub.
"Kau pasti sedang bercanda," kataku sambil tertawa, tapi aku tidak terdengar geli sedikitpun, tawaku barusan adalah tawa gugup.
"Ia sedang mengambilkannya." Sebastian menatapku dengan senyuman lembut di wajah galaknya. Okay, aku harus merevisinya... maksudku, senyum lembut di wajah tampannya. Setelah tidur dengannya aku tidak menganggap wajahnya terlihat galak lagi.
"Sebastian..." panggilku sambil menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk sabar menghadapinya. "Apa kau sadar Mr. Rochester adalah bosku?"
"Ludmila," panggilnya dengan meniru nada sabar yang kugunakan barusan. "Apa kau sadar aku adalah bos dari bosmu?"
Aku tahu Ia mengatakannya untuk bercanda... tapi apa yang baru saja diucapkan Sebastian memang fakta. Saat ini Ia adalah bos dari bosku.
Dasar. Selain tampan dan punya tubuh yang bagus, ternyata mulutnya pintar juga. Karena sudah kalah telak jadi aku tidak mendebatnya lagi. Kami duduk di dalam mobil Range Rover hitamnya. Aku memandang ke jalanan ramai di depan kami, karena ini weekend jadi banyak orang yang keluar untuk makan di restoran sekitar gedung kantorku.
"Aku tidak bisa membiarkanmu masuk ke dalam," kata Sebastian tiba-tiba, membuatku menoleh ke arahnya lagi. "Kau adalah Leech baru, jadi aku tidak bisa mengambil risiko walaupun kau baru saja minum darah barusan."
Ah.
Aku benar-benar lupa saat ini aku adalah mahkluk penghisap darah, sama sepertinya. Pantas saja Ia menyuruh Mr. Rochester untuk mengambilkan barang-barangku, kupikir Sebastian hanya ingin mengerjai bosku. Aku kembali memandang pemandangan di luar mobil ini, kali ini dengan perasaan ngeri.
Bisa saja aku kehilangan kendali dan membunuh orang-orang tidak berdosa yang sedang menikmati hari Minggu mereka. Aku bergidik saat membayangkannya. Pikiranku kembali ke rekaman obrolan Sebastian dengan Nicholas Shaw, katanya mereka harus membunuh Leech yang menyerang penduduk Detroit.
Apa Sebastian akan membunuhku juga jika aku menyerang orang-orang di luar sana? Karena penasaran aku menoleh lagi padanya. Kedua mata abu-abunya sedang fokus menatapku sejak tadi, sesaat aku jadi salah tingkah.
"Aku punya pertanyaan," ucapku padanya. Ia hanya menarik kedua alisnya dengan pandangan bertanya.
"Aku sudah mendengar rekaman tentang Leech di Detroit. Apa kalian benar-benar membunuhnya?"
Ekspresinya berubah muram tiba-tiba. "Ludmila, apa kau baru saja mengakui perbuatanmu sendiri?"
Eh, bukannya Ia sudah tahu aku merekam kantornya? Kubuka mulutku untuk menjawabnya tapi akhirnya menutupnya lagi karena aku bingung harus mengatakan apa.
"Leech itu sudah mati. Nicholas sendiri yang membunuhnya, menyerang orang lain apalagi hingga membahayakan eksistensi kita adalah perbuatan yang tidak bisa dimaafkan. Walaupun pelakunya Leech yang belum bisa mengendalikan dirinya sekalipun," jelasnya padaku.
Aku mencerna penjelasannya selama beberapa saat sebelum melanjutkan pertanyaanku. "Jadi kalau aku keluar dan menyerang seseorang karena rasa hausku... artinya kau akan membunuhku juga?"
Sepertinya Ia tidak menyangka aku akan bertanya seperti itu, Sebastian terdiam selama beberapa saat dan semakin lama ekspresinya terlihat semakin marah.
Tentu saja jawabannya iya, bodoh, pikirku dengan agak menyesal. Bagaimanapun juga jika aku sampai menyerang apalagi membunuh orang lain, Sebastian lah yang harus bertanggung jawab.
"Kenapa kau menanyakan hal seperti itu?" tanyanya dengan ketus.
"Maaf, aku hanya penasaran," jawabku sambil menyengir malu lalu kembali menatap ke gedung kantorku untuk menunggu Mr. Rochester membawakan barang-barangku.
"Aku tidak akan membunuhmu," gumamnya setelah keheningan yang cukup lama. Mau tidak mau aku kembali menatap ke arahnya. Sebastian mengerutkan keningnya tapi Ia menatapku dengan serius.
"Oh, terima kasih kalau begitu," balasku dengan tawa kecil. Aku tahu Ia hanya ingin membuatku tenang. Setelah perjanjian kita selesai, Sebastian dan aku akan kembali ke kehidupan kami masing-masing. Aku akan merindukannya tentu saja, tapi—
"Kurasa aku tidak bisa melihatmu terluka lagi." Ucapannya mengalihkanku dari pikiranku sendiri.
"Apa?"
"Aku ingin melihatmu setiap saat... Apa menurutmu itu aneh?" Keningnya masih berkerut bingung. Jika Ia sendiri bingung dengan ucapannya sendiri... apalagi aku?
"Melihatku... setiap hari?" ulangku.
Sebastian mengangguk, ekspresinya benar-benar terlihat serius dan Ia bukan tipe orang yang senang bercanda. "Setiap hari, selamanya. Pagi saat aku membuka mataku dan malam sebelum aku memejamkannya. Aku juga ingin mendengarmu suaramu setiap saat. Lalu tidur denganmu setiap malam, baik dalam arti harafiah dan kiasan."
Aku kembali tertawa gugup. "Apa kau baru saja... mengaku kau menyukaiku?" tanyaku dengan canggung sekaligus malu.
Sebastian berkedip sekilas saat mendengar pertanyaanku. "Ah... jadi ini yang dinamakan menyukai seseorang," balasnya dengan anggukan kecil. "Kalau begitu aku memang menyukaimu."
Aku masih tidak mengerti apa maksudnya. "Errr... terima kasih?" jawabku tidak yakin.
Pembicaraan kami terpotong karena Mr. Rochester menghampiri mobil ini. Ia menyerahkan barang-barangku sambil melempar tatapan tajam ke arahku dari luar jendela, karena aku tidak boleh keluar jadi Sebastian yang mengambilkannya. Aku hanya membalasnya dengan kernyitan malu di wajahku. Ia pasti sangat membenciku.
Kami langsung kembali ke rumah Sebastian lagi karena aku harus segera memulai menyusun laporanku. Sebastian sendiri sibuk menelepon di ruang kerjanya, tadinya aku mau menguping karena sepertinya Ia sedang menelepon Nicholas Shaw. Tapi aku sadar diri, jadi aku mengurungkan niatku dan mengerjakan laporanku.
Selama tiga hari berikutnya aku tenggelam dalam artikel dan laporan investigasi serta menyalin dokumen bukti yang akan kumasukkan ke dalam editorial. Tentu saja bukti-bukti ini nantinya akan diserahkan ke kantor kejaksaan setelah aku selesai.
Sebastian pergi ke kantornya seperti biasa, tapi Ia meneleponku beberapa kali sehari untuk memastikan aku baik-baik saja. Ia bahkan menawarkan agar Devlin datang untuk mengecekku, tapi aku menolaknya mentah-mentah.
Sebastian juga pulang tepat waktu setiap pukul lima sore, padahal kupikir dengan jabatan setinggi Chief Financial Officer Bank Barclays, Ia punya banyak pekerjaan dan sering lembur. Tapi nyatanya Ia sudah duduk manis di depanku dengan makan malam kami pukul enam sore setiap harinya. Sesekali Ia membantuku saat aku merasa buntu.
Kami tidak tidur bersama (secara kiasan) lagi setelah yang terakhir kalinya. Mungkin Ia tahu aku terlalu lelah mengerjakan artikelku yang deadlinenya semakin dekat. Aku merasa agak sedih, tapi tubuhku merasa bersyukur karena itu artinya aku tidak kekurangan waktu tidurku.
Saat artikel investigasi Bill Kovach akhirnya keluar, publik San Fransisco digemparkan oleh serentet tuduhan lain yang dijatuhkan kepadanya. Ternyata Sebastian dan Nicholas Shaw memutuskan untuk membongkar setiap dosa dan perbuatan busuk Kovach. Mulai dari pemerkosaan sekretarisnya lma tahun lalu hingga bisnis penjualan organ yang disponsori olehnya saat Ia masih bekerja di Bank Barclays.
Bill Kovach terancam total hukuman enam puluh tahun penjara, dan seumur hidup di neraka saat Ia mati nanti. Editorial dan artikel yang kutulis berhasil membuat penjualan surat kabar dan newsletter online The Daily Wire melonjak hampir seribu persen. Bahkan surat kabar saingan mulai mengontakku untuk merekrutku.
Tapi aku hanya bisa menyaksikan hasil karyaku dari Tv dan internet di rumah Sebastian. Ia belum mengijinkanku keluar hingga aku benar-benar bisa mengontrol rasa haus darahku. Padahal aku sudah melewati tes puasa minum darah selama dua hari penuh.
Tentu saja aku tidak keberatan tinggal di rumahnya yang nyaman, tapi aku takut terbiasa lalu harus merasa sedih saat kembali ke apartemen miniku nanti. Aku sudah bertanya padanya beberapa kali kapan aku bisa kembali ke apartemenku lagi, dan kapan perjanjian kita harus berkahir.
Tapi Sebastian terus menghindariku. Moodnya langsung berubah drastis saat aku membahas topik itu. Apa Ia akan menahanku disini sampai Ia merasa jenuh denganku? pikirku di suatu pagi yang membosankan.
Mr. Rochester memaksaku mengambil cuti berbayar, katanya karena aku sudah bekerja sangat keras. Tapi aku tahu Sebastian lah yang menyuruhnya. Jadi di hari pertama liburku aku hanya mengelilingi rumah besar ini, berenang selama setengah jam, lalu mengelilinginya lagi karena aku tidak punya pekerjaan lain.
Berita tentang Bill Kovach masih terus diliput dan namaku disebut-sebut sebagai orang yang berhasil membongkarnya. Yah, mereka tidak salah juga sih... Aku sampai menjual tubuhku untuk membongkar semua dosa Kovach. Mungkin karena itu juga Sebastian ingin aku mengambil cuti, orang-orang dari TV juga mulai menghubungiku untuk di wawancarai.
Tapi sayangnya aku tidak bisa keluar dari sini, apalagi bertemu banyak orang sekaligus.
Tiba-tiba handphoneku bergetar dari atas meja. Nomor Sebastian berkelip dari layarnya.
"Halo? Sebastian, ada apa?" tanyaku padanya setelah mengangkat panggilannya.
"Aku butuh bantuanmu, apa kau bisa datang ke kantorku satu jam lagi?" tanyanya dengan suara mendesak.
Keningku berkerut bingung, lalu aku duduk di atas sofa ruang TVnya. "Apa ada dokumen yang tertinggal?"
"Tidak, aku butuh bantuanmu untuk mengecek sesuatu... di kantorku."
Suaranya yang rendah dan dalam benar-benar terdengar mendesak.
"Okay. Tapi aku sudah boleh keluar sendiri?" tanyaku lagi sambil berdiri dari sofa lalu berjalan menuju tangga.
"Kau boleh menggunakan salah satu mobilku, kuncinya ada di garasi. Ambil yang mana saja. Dan pakai salah satu gaun yang ada di lemari kamar lantai tiga."
Aku berusaha mengingat instruksinya di dalam kepalaku. "Apa ada yang harus kubawa?"
"Tidak. Tidak ada. Hanya dirimu saja sudah cukup," balasnya masih dengan nada anehnya. Ia menutup teleponnya setelah itu.
Aku berjalan menuju kamar di lantai tiga lalu masuk ke walk-in-colset untuk memillih salah satu gaun yang ada. Karena aku akan mengunjungi kantornya tidak mungkin kan aku memakai dress super mini... Walaupun pilihannya tidak banyak, tapi akhirnya aku berhasil menemukan gaun yang menurutku paling sopan di antara yang lainnya.
Gaun suede ketat berwarna merah bata yang menempel di setiap lekukan tubuhku, tapi paling tidak gaun ini tidak terlalu pendek atau terbuka seperti yang lainnya. Aku hanya sempat memulaskan lipstik dengan warna yang senada karena aku takut Sebastian menunggu terlalu lama.
Setelah siap aku menuju garasinya yang berada di bawah tanah lalu menghabiskan waktu selama lima menit penuh untuk mencari kunci mobil yang berada di ujung garasinya, karena hanya mobil itulah yang paling mudah dikeluarkan.
Awalnya aku tidak tahu nama merk mobil sport berwarna merah darah itu, tapi di jok kulitnya tertulis McLaren. Semoga aku tidak menabrak atau melukai orang lain, doaku sebelum menyalakan mesin mobil. Raungan halus khas mobil sport terdengar saat aku menginjak gasnya.
Di sepanjang jalan, orang-orang menoleh saat aku melintas dengan mobil ini. Bahkan beberapa dari mereka mengeluarkan handphone dan memotret terang-terangan mobil ini saat berhenti di lampu merah. Untung saja kacanya berwarna hitam, jadi mereka tidak bisa melihatku langsung.
Aku memarkirnya dengan sangat hati-hati di basement gedung Bank Barclays. Saat memasuki lobbynya seorang wanita tinggi menghampiriku lalu tersenyum padaku. Rambut pirangnya digelung dengan sangat rapi hingga tidak ada sehelai rambut pun yang keluar.
"Miss Benson? Mr. Moran sudah menunggu anda," ucapnya tanpa berbasa basi.
"Oh, okay. Terima kasih," balasku dengan agak kikuk. Ia memanduku melewati orang-orang yang berlalu lalang lalu melintasi sederet petugas keamanan dan pemindai metal. Kami memasuki lift khusus yang berada paling ujung.
Saat kami beridir berdua di dalam lift, bau parfum feminimnya bercampur dengan bau lain yang awalnya tidak kukenali. Setelah beberapa saat aku baru menyadari bau yang kucium adalah bau darah hangat dari balik kulitnya.
Oh, mungkin ini tes dari Sebastian. Ia ingin melihatku meleati tantangan yang lebih besar dari berpuasa tidak minum darah selama dua hari. Untung saja aku baru saja minum sebelum pergi kesini.
Aku tersenyum bangga pada diriku sendiri.
Lift yang kami naiki berhenti di lantai dua puluh. Wanita tadi, yang sepertinya sekretaris Sebastian, memintaku menunggu sebentar sebelum Ia membuka pintu kaca di depan kami dengan kartu pegawainya. Stelah itu Ia memanduku melewati lobby kecil dan lorong panjang yang dikelilingi oleh jendela kaca.
Kami berhenti di ruang tunggu khusus CFO selama beberapa menit karena sekretaris Sebastian harus menelepon dari mejanya.
Akhirnya Ia memintaku masuk lalu membukakan pintu ganda kantor CFO sambil tersenyum ramah. "Sepertinya Mr. Moran sedang ke toilet, silahkan langsung menunggu di dalam," ucapnya dengan aksen British yang kental.
Aku mengangguk lalu mengucapkan terima kasihku padanya. Saat aku melangkah masuk ternyata kantor Sebastian jauh lebih besar dari perkiraanku. Kantornya dikelilingi oleh dinding kaca sehingga aku bisa melihat pemandangan gedung pencakar langit di luar dengan jelas.
"Ludmila." Suara Sebastian memanggilku dari ujung ruangan. Kubalikkan tubuhku menghadapnya, Ia baru saja keluar dari pintu toilet pribadinya. Sama seperti pagi ini Ia masih mengenakan setelan biru tua yang sama minus jasnya.
Kedua mata abu-abu Sebastian memandangku perlahan dari ujung kaki hingga ujung kepalaku. Pandangannya yang intens membuatku merasa seperti ditelanjangi.
"Jadi kau butuh bantuanku untuk apa?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya dari tubuhku.
Sebastian mendongak lalu menarik salah satu sudut mulutnya ke atas. "Untuk itu," ucapnya sambil menunjuk meja kerjanya lalu Ia berjalan mendekatiku.
Aku memandang mejanya yang luas dan rapi. Hanya ada sebuah tablet dan handphonenya di atas meja itu.
"Meja ini baru datang beberapa hari yang lalu," terangnya dari sebelahku. Kami sama-sama memandang meja kaca tebal yang terlihat mahal itu.
"Jadi kau butuh bantuanku untuk apa?" ulangku lagi, masih belum memahaminya.
"Untuk mengetes," balasnya singkat. Aku kembali menoleh padanya dengan pandangan bertanya. Tiba-tiba Ia menarikku mendekatinya lalu mengangkat pinggangku dengan kedua tangannya hingga bokongku kini duduk di pinggir mejanya.
Perasaanku jadi tidak enak saat melihat senyuman di wajahnya. "Sebastian... apa kau sudah gila?" tanyaku dengan hati-hati, takut aku salah memahami maksudnya saat ini.
Bibirnya menyusuri rahangku perlahan. "Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu untuk menguji kekuatan meja ini. Karena aku membelinya dengan harga sangat mahal."
"Apa kau tidak lihat matahari masih membumbung tinggi di luar sana?" tanyaku dengan keheranan. "Dan kantormu dikelilingi oleh jendela!"
"Tenang saja, semua dinding kaca ini tidak terlihat dari luar," bisiknya di telingaku.
"Kau pasti sudah gila," gumamku saat merasakan kedua tangannya yang menarik ke atas ujung gaun suede ketat yang kukenakan. Tapi aku tahu pertanyaan yang akan mengubah moodnya secara instan. "Apa ini akhir dari perjanjian kita?" tanyaku padanya.
Dan benar saja, Ia menarik wajahnya menjauh dariku dengan ekspresi heran sekaligus marah. "Bukannya aku sudah memberitahumu saat kita mengambil barang-barangmu dari kantormu minggu lalu?"
"Memberitahuku apa?" tanyaku balik dengan kening berkerut.
"Aku ingin kau berada disisiku setiap hari, selamanya."
Ucapannya membuatku terhenyak selama satu menit penuh. Aku berusaha mengingatnya... dan Ia memang pernah mengatakannya.
"Aku tidak tahu kau bersungguh-sungguh saat itu!" balasku dengan sama herannya. Kupikir Ia hanya berbasa basi.
Sebastian terlihat sangat jengkel hingga tangannya menyisir rambut hitamnya dengn frustrasi. "Kalau begitu kita akan memperbarui perjanjian kita," ucapnya tiba-tiba dengan mata berkilat.
"Tunggu! Tunggu dulu!" kataku sambil mengangkat kedua tanganku sebelum Ia menyerangku lagi. "Apa kau sadar apa yang baru saja kau katakan padaku? Selamanya sama dengan menikah di dunia manusia."
Sebenarnya aku hanya ingin menakut-nakutinya agar Ia memikirkan kembali ucapannya. Tapi Sebastian malah tersenyum saat mendengar ucapanku.
"Aku tidak peduli," katanya sambil melanjutkan menciumi leherku. "Menikah, atau apapun itu. Kalau kau mau kita bisa melakukannya besok. Yang jelas perjanjian kita sudah berubah."
Giginya menggigit lembut nadiku yang berdenyut kencang. Kupejamkan mataku untuk melawan gairahku yang tiba-tiba muncul.
Lidahnya menjilat bekas tempatnya menggigit tadi lalu Ia menggumamkan kalimat yang akan selalu terngiang di dalam kepalaku setiap Sebastian menciumku. "Sekarang kau milikku, selamanya, Ludmila."
*TAMAT*