Setelah segelas darah yang kuhabiskan pagi ini, aku belum meminum apa-apa lagi hingga sore harinya.
Sebastian berusaha membujukku untuk minum. Ia bahkan mencampurnya dengan wine merah, katanya mencampur wine dengan darah akan meningkatkan kualitas rasanya.
Tapi tetap saja, bagiku darah adalah darah, bahkan jika dicampur dengan jus semangka sekalipun.
Tentu saja efeknya terasa langsung di tubuhku, Sebastian juga bilang bahwa Leech yang baru saja diubah memerluka asupan darah yang cukup banyak dalam tiga hari pertamanya.
Selama beberapa jam terakhir, tenggorokanku terasa seperti terbakar. Rasa perih dan kering yang sangat tidak nyaman hampir membuatku tidak bisa berbicara.
Aku mencoba untuk minum segelas air, tapi baru satu teguk aku kembali memuntahkannya lagi. Sekarang, air putih yang biasanya menyegarkan malah terasa menjijikan bagiku.
Tapi aku harus berterima kasih pada Sebastian, Ia tidak memaksaku saat aku menolak segelas darah yang Ia berikan.
Ia juga menemaniku setiap kali aku memuntahkan air putih yang berusaha kuminum, tapi tidak sekalipun Sebastian mengomentari perbuatan bodohku.
Saat Devlin datang sore harinya untuk mengecek proses transisiku, entah kenapa rasa marahku juga ikut muncul.
Melihat wajah serius dan arogannya membuatku ingin melemparkan sesuatu yang berat ke kepalanya lagi. Kalau tidak salah dengar, Bill Kovach datang ke rumah ini dengan pistolnya setelah mendengar kabar dari Devlin.
Karena tubuhku terasa lemah dan tenggorokanku masih sangat perih, aku hanya bisa duduk di atas tempat tidur sementara Devlin mengecekku.
Kedua mataku memandang Devlin dengan tatapan tajam yang berapi-api. Sepertinya Sebastian menyadari amarahku, karena Ia berjalan semakin mendekat ke arah tempat tidur. Sesekali pandangannya juga melihat ke sekitar kami, mungkin untuk memastikan tidak ada barang yang bisa kulemparkan pada adiknya.
Kutarik nafasku dalam-dalam untuk mengendalikan emosiku.
Devlin mendongak lalu menarik kacamatanya yang agak merosot dari hidungnya. "Kau harus minum darah. Tubuhmu tidak akan bisa menyesuaikan diri tanpa darah."
Aku tidak membalas ucapannya.
Devlin akhirnya menyadari amarahku, Ia membalas tatapan tajamku dengan menaikkan kedua alis matanya.
"Apa kau tahu Sebastian sudah menyelamatkanmu dari kematian? Seharusnya kau berterima kasih padanya dengan minum darah dan merawat tubuh ini," ucapnya keheranan.
Tiba tiba gusi mulutku terasa gatal. "Apa katamu?" amarahku tidak bisa dibendung lagi. Apa Ia berpikir aku amarahku disebabkan karena Sebastian mengubahku menjadi Leechnya?
Dasar idiot!
"Ia mulai berubah," gumam Devlin pada Sebastian. Ia berdiri dari pinggir tempat tidur lalu mundur menjauhiku. Keduanya berdiri bersebelahan sambil mengamatiku, Sebastian dengan ekspresi khawatir di wajahnya, sedangkan Devlin dengan ekspresi keheranan.
"Kenapa Ia pemarah sekali?" tanyanya masih dengan nada heran.
Saat itulah aku tidak bisa menahan diriku lagi. Sepertinya amarahku memberikan kekuatan baru pada tubuhku, karena aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk menggigit leher Devlin saat ini.
Aku turun dari tempat tidur lalu melompat ke arahnya, tapi sebelum aku bisa menyentuh Devlin, Sebastian menarik pinggangku dan membawaku menjauh dari adiknya.
"Devlin, pergi dari sini," perintah Sebastian dengan tenang sementara aku berusaha melepaskan diriku darinya sambil melemparkan sumpah serapah ke arah Devlin.
Ia hanya menatapku dengan pandangan heran sambil menggelengkan kepalanya.
"Dasar gila," gumamnya sebelum berjalan keluar dari kamar.
Rasanya kedua mataku tertutup kabut berwarna merah yang membuatku ingin menghajar Devlin hingga babak belur. Walaupun begitu sebagian dari diriku masih sadar, kemarahan yang kurasakan saat ini tidak wajar.
"Ludmila." Suara Sebastian yang memanggil namaku membuat perhatianku teralih selama beberapa detik.
"Kau marah karena tubuhmu sedang merasa haus," ungkapnya dengan tegas. Padahal suaranya tidak terdengar menantang atau menyinggung sedikitpun, tapi seketika amarahku berpindah pada Sebastian.
Aku berbalik dalam pelukannya hingga kini kami saling berhadapan. Lalu dengan kekuatanku yang entah muncul darimana, aku mendorongnya dengan sangat keras hingga kami sama-sama terjatuh di atas ranjangnya.
Wajahnya terlihat terkejut saat mantapku.
"Ludmil—"
Aku memotong ucapannya dengan membenamkan kedua taringku di lehernya.
Mungkin ini yang dinamakan kenikmatan surgawi. Darahnya yang hangat dan manis membanjiri tenggorokanku yang terasa haus sejak tadi. Setiap tegukan meredakan rasa perih dan terbakar di seluruh tubuhku.
Samar aku mendengar entah erangan tertahan atau lenguhan dari Sebastian yang berada di bawahku. Kedua mataku terbuka lebar, dan bersamaan dengan itu seluruh sensasi baru mulai membanjiri tubuhku.
Saat ini aku hanya mengenakan jubah tipis yang menutupi seluruh tubuh telanjangku. Posisi menindihku membuatku dapat merasakan seluruh bentuk tubuh Sebastian yang keras. Kedua kakiku mengapit pahanya yang keras dan berotot, sedangkan kedua tangannya menekan pinggulku agar tubuh kami semakin menempel lebih dekat lagi.
Aku baru menyadari pose kami saat ini sangat... berbahaya.
Kutarik wajahku dari lehernya bersamaan dengan tegukan terakhirku. Beberapa tetes darah menetes dari lehernya ke seprai di bawah tubuhnya.
Dengan nafas terengah aku menatap wajah Sebastian. Kedua mata abu-abunya yang gelap setengah terpejam tapi langsung terbuka lebar saat membalas tatapanku.
"Maaf— Maafkan aku!"
Aku bermaksud turun dari atas tubuhnya tapi kedua tangannya masih menahan pinggulku.
"Jangan," perintahnya dengan nafas tertahan dan ekspresi yang terlihat agak kesakitan.
"A—Apa aku menyakitimu?" tanyaku sambil menyentuh wajahnya untuk memastikan. Aku ingat aku sudah menggigitnya sangat keras.
"Iya— Tidak."
Jawabannya membuat keningku berkerut kebingungan.
"Memang menyakitkan, tapi bukan leherku yang terasa sakit," jelasnya dengan ambigu.
"Ludmila, bagi Volder kegiatan menggigit darah langsung dari leher kami adalah perbuatan yang sangat... intim. Mungkin hampir seperti foreplay."
Bibirku mengerucut membentuk 'o' kecil saat mendengar penjelasannya. Dan saat itu juga aku menyadari ereksinya yang keras di sebelah pahaku.
"Oh... Maaf..."
Aku tidak tahu harus meresponnya seperti apa, situasi ini benar-benar terasa canggung.
Tapi di luar dugaanku Sebastian menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga membuat wajahnya terlihat lebih tampan.
"Maaf?" ulangnya sambil mengangkat salah satu alisnya. Sebastian mendorog pinggulnya hingga ereksinya menggesek sisi pahaku, walaupun kami masih mengenakan pakaian tapi aku bisa merasakan gairahnya dengan jelas.
Ia mendorong tubuhku hingga kami berguling di atas ranjang, dan kini gilirannya berada di atasku.
"Ludmila," bisiknya lalu mendekatkan wajahnya padaku. "Maaf saja tidak cukup untuku."
Akhirnya bibirnya yang hangat menyapu bibirku, aliran listrik erotis ikut menyapu seluruh tubuhku saat Sebastian menciumku. Kupejamkan kedua mataku sambil mengalungkan kedua tanganku di lehernya.
Lidahnya menekan bibirku memaksaku untuk membuka diriku sementara kedua tangannya menyusuri tubuhku, lalu perlahan menarik tali jubah yang kukenakan.
Tangannya yang besar menyusuri kulitku, meninggalkan jejak panas di seluruh tubuhku. Sebastian menciumku seperti seseorang yang sedang putus asa, Ia menciumku dengan penuh gairah yang membuat setiap sel di tubuhku terbangun dan merasakan sensasi erotis yang Ia berikan.
Suara desahanku teredam lidahnya yang menjelajahiku. Tanpa kusadari kedua tangannya sudah membuka jubah yang kukenakan hingga kini aku telanjang di bawah tubuhnya.
Tiba-tiba Ia menghentikan ciumannya lalu menarik tubuhnya hingga berdiri di pinggir ranjang. Dengan pandangan sayu kedua mata abu-abu gelapnya menjelajahi tubuh telanjangku. Bebrapa helai rambut hitamnya jatuh menutupi kening dan sebagian matanya.
Kedua tangannya menarik kaos yang Ia kenakan lalu melemparnya ke lantai dengan sembarangan. Lalu jari-jarinya membuka kancing celana jeans yang Ia kenakan, selama melucuti pakaiannya Sebastian tidak mengalihkan padangannya dariku sedikit pun. Ia bahkan tidak berkedip.
Gairah terpancar jelas dari seluruh tubuhnya yang menegang. Melihatnya sangat menginginkanku hingga seperti itu ikut membakar gairahku juga.
Menyadari perubahan ekspresiku, Sebastian melemparkan senyuman sensualnya. Ia melepaskan celana jeansnya sebelum bergabung denganku di atas ranjang.