(POV - Sebastian Moran)
Aku tahu waktuku tidak banyak.
Ludmila mulai kehilangan kesadarannya dengan sangat cepat, mungkin karena kehilangan darah terlalu banyak. Artinya luka tembakan barusan mengenai organ vitalnya.
Bill masih berdiri membeku di tempatnya, pistolnya tergeletak di lantai dekat kakinya. Sepertinya Ia sedang shock karena pistolnya betul-betul meletus dan mengenai Ludmila.
"Aku akan membunuhmu setelah ini. Jadi jangan kemana-mana." kataku dengan amarah yang tidak bisa teredam lagi.
Tapi saat ini ada hal yang lebih penting dari amarahku.
Kuangkat Ludmila lalu menggendongnya ke kamarku. Aku membaringkannya di atas ranjang lalu mulai melepaskan jubah tidur yang Ia kenakan. Darah merembes hingga ke seprai di bawah tubuhnya, dan setiap detik yang berlalu wajahnya terlihat semakin pucat.
Luka tembakan di atas dada kirinya terus mengeluarkan darah segar. Sebagian dadaku dan kedua tanganku juga masih dilumuri darahnya.
Aroma darahnya sangat menggoda, aku harus menahan nafasku beberapa kali untuk mengendalikan diriku.
Aku berlutut di sebelah ranjang untuk mengecek nadi di lehernya yang mulai terasa lemah.
"Kau mungkin akan membenciku setelah ini, tapi aku tidak punya pilihan lain." kataku di sebelah telinganya walaupun aku tahu Ia tidak bisa mendengarku.
"Setelah ini semua selesai, kau milikku seutuhnya, Ludmila."
Kalimatku mungkin terdengar seperti ancaman, tapi aku tidak peduli lagi. Ludmila adalah milikku sejak Ia menginjakkan kakinya di Magnus pertama kali.
Kutelan ludahku sebelum memandang wajah pucatnya yang masih terlihat cantik. Anehnya aku tidak merasa ragu atau bersalah sedikitpun atas apa yang akan kulakukan padanya.
Kuraba kulitnya untuk mencari tempat terbaik lalu membungkuk di atasnya. Kuhirup dalam-dalam aroma tubuh dan darahnya yang bercampur lalu menggigitnya.
***
Kejadian penembakan itu berakhir dengan kekacauan baru yang harus aku dan Devlin bereskan.
Setelah puas menghajarnya setidaknya satu kali, Devlin yang sadar bahwa ini kesalahannya juga akhirnya menawarkan bantuannya untuk mengurus Bill Kovach.
Awalnya aku ingin membunuhnya saat itu juga tapi Devlin mencegahku.
Membunuh politisi akan menarik terlalu banyak perhatian, jadi kami menghapus pikirannya dan menyuruhnya pulang.
Tapi bukan berarti aku akan melupakan kejadian ini. Karena tidak bisa mencabut nyawanya paling tidak aku akan memastikan Bill membusuk di penjara hingga Ia mati.
Devlin di lain pihak tidak mengomentari perbuatanku yang mengubah Ludmila menjadi Leechku. Sepertinya Ia merasa bersalah karena mengirim memberitahu Bill tanpa persetujuanku. Ia datang hampir setiap hari untuk membantu proses transisi Ludmila agar tidak terlalu menyakitkan.
Leech adalah manusia yang sudah diubah. Mereka menyerap kekuatan Volder yang sudah mengubahnya. Ini adalah ketiga kalinya aku memiliki Leech, tapi Leech-Leech yang sebelumnya sudah mati karena aku tidak membutuhkan mereka lagi.
Leech adalah makhluk yang berbahaya, mereka memiliki karakteristik yang mirip seperti Volder tapi sulit untuk dikendalikan. Karena itu Volder tidak bisa mengubah manusia menjadi Leech dengan sembarangan.
Di hari terakhir proses transisinya keadaan Ludmila semakin membaik. Tubuhnya sudah tidak menggeliat kesakitan lagi, dan wajahnya tidak terlihat pucat lagi.
Setelah Ia bangun nanti aku harus mengurung Ludmila selama beberapa minggu hingga Ia bisa mengendalikan insting memburu darahnya.
Mengurungnya di rumah ini bukan masalah besar...
Aku hampir bisa membayangkan responnya saat aku memberitahunya nanti. Mungkin Ia akan melempar vas bunga padaku? pikirku sambil tersenyum. Tanganku berusaha merapikan ikal rambutnya yang terbelit-belit.
"Kau menyukainya?" tanya Devlin dari belakangku. Aku berbalik ke arahnya, Ia sedang bersandar di pintu kamarku sambil mengamati kami.
"Iya." jawabku pendek sebelum menatap Ludmila lagi.
"Jangan bilang padaku kau jatuh cinta pada Miss Benson." ucap Devlin dengan nada skeptis yang membuatku merasa kesal.
"Devlin. Bukannya dokter seharusnya sibuk?" tanyaku sambil tetap memunggunginya.
"Katamu Bill ingin menembakmu... Lalu kenapa Miss Benson yang terkena? Apa Ia berusaha melindungimu?"
Beberapa malam terakhir aku dihantui oleh pertanyaan yang sama... Mengapa Ludmila melindungiku? Jelas-jelas Bil mengarahkan pistolnya padaku, bukan dirinya.
"Aku tidak tahu..." jawabku sejujurnya.
Devlin berdeham sebelum berusaha melanjutkan obrolannya lagi. "Sebastian... kau sadar kan suatu saat nanti kau harus membunuh Miss Benson jika ingin mengambil kekuatanmu lagi?"
Volder memang bisa mengambil kembali kekuatannya yang sudah dihisap oleh Leech... dengan cara membunuhnya, itu lah yang kulakukan saat aku mengambil kekuatanku dari tiga Leechku yang sebelumnya.
"Devlin... pergi, sebelum aku menghajarmu."
"Nicholas akan tertawa saat mendengarnya." lanjutnya sebelum berjalan keluar menuju tangga.
Aku mengerti mengapa Ludmila melempar Devlin dengan vas bunga kristal. Dan aku tidak menyalahkannya, karena saat ini aku juga sangat ingin melakukannya.
***
Ludmila membuka matanya keesokan paginya. Kedua mata hazelnya menatapku dengan ragu dan bingung.
Aku tidur di sebelahnya setiap malam untuk menenangkannya setiap Ia merasa kesakitan.
"Apa aku sudah mati?" suara seraknya bertanya padaku.
Sudut mulutku berkedut saat mendengarnya. "Belum."
Salah satu tangannya meraba bagian dadanya yang tertembak, saat ini luka itu sudah sembuh dengan sempurna. Devlin juga sudah mengeluarkan sisa peluru yang bersarang di dalamnya.
"Bill Kovach... Ia menembakku." gumamnya, keningnya masih berkerut bingung. Ludmila memandang tubuh telanjangnya yang tertutup selimut lalu kembali menatapku. "Seharusnya aku sudah mati saat ini."
Kutarik beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajahnya. "Miss Benson, bagaimana mungkin kau bisa mati? Kau masih memiliki hutang padaku."
"Apa?" tanyanya dengan nada yang terdengar semakin bingung.
Tiba-tiba kedua matanya terpejam seperti kesakitan. "Urgh, tenggorokanku sakit sekali..."
Aku membantunya duduk di atas ranjang sebelum turun dari tempat tidur lalu mengambil segelas darah murni dari lemari pendingin yang berada di kamarku.
Ia menggumamkan terima kasih sebelum meneguknya hingga habis dengan sangat cepat.
Mungkin karena rasa hausnya Ia belum menyadari yang diminumnya adalah darah.
Beberapa tetes darah mengalir dari sudut mulutnya, Ludmila menjilat ujung bibirnya sambil memandangku. Karena aku tidak bisa menahan diriku aku membungkuk ke arahnya lalu menjilat sisa darah yang kini berada di dagunya.
Ia terlihat agak terkejut saat aku menarik diriku menjauh.
"Mi—Minuman apa ini?"
Tangannya meletakkan gelas itu ke meja di sebelah tempat tidur. "Rasanya sangat enak."
Sepertinya aku tidak bisa menunda memberitahunya lagi.
"Ludmila... yang baru kau minum adalah darah."