"Apa aku melakukan kesalahan?" tanyaku dengan tidak yakin.
Sebastian menghentikan langkahnya lalu membalikkan tubuhnya hingga Ia bisa menatapku lagi. Tidak ada ekspresi yang dapat terbaca dari wajahnya, tapi aku yakin aku tidak salah mendengar nada ancaman dari suaranya barusan.
"Apa kau melakukan sesuatu yang kau anggap sebagai kesalahan?" tanyanya balik dengan nada dingin.
Sekarang aku yakin Ia benar-benar sedang marah. "Apa aku datang di saat yang tidak tepat? Kita bisa menggantinya dengan hari lain kalau kau sedang banyak... urusan." tawarku padanya.
"Tidak." balasnya dengan suara rendah, "Urusanku saat ini hanya denganmu."
Pasti ada sesuatu yang sedang mengganggunya saat ini.
"Aku akan menunjukkan kamarmu." sambungnya lagi.
Kamarku? Pikirku dengan kening berkerut tapi aku tetap mengikutinya naik ke lantai tiga. Karena sebagian dinding rumahnya yang menghadap halaman belakang adalah kaca, aku bisa melihat taman belakangnya yang sama terawatnya dengan yang depan, di salah satu pojoknya ada tempat untuk barbeque dilengkapi oleh alat-alatnya. Yang paling menarik perhatianku adalah infinity pool yang menghadap ke pemandangan kota San Fransisco di bawah sana.
Rumah ini benar-benar luar biasa.
"Ini kamarmu." ucapnya pendek sambil membuka sebuah kamar besar yang bercat biru muda dan putih. Di dalamnya ada sofa, rak buku, set meja dan kursi rias, serta sebuah ranjang queen size yang terlihat nyaman. Jendela dan sebuah pintu menuju balkon juga full dari kaca hingga aku bisa melihat langsung ke arah taman.
"Kamarku?" ulangku padanya karena Sebastian mengatakannya seakan aku akan pindah ke rumahnya.
Ia tidak menggubris pertanyaanku, "Yang disana kamar mandi, sedangkan pintu satunya lagi walk-in-closet." Saat Ia menoleh padaku kembali, kedua mata abu-abunya terlihat lebih gelap dari biasanya. "Kau bisa istirahat dulu, aku ada di bawah jika kau membutuhkanku."
"Apa kau marah padaku?" tebakku dengan kerutan di keningku.
"Tidak..."
Harus kuakui kadang ekspresinya susah ditebak. "Oh... okay." balasku, masih merasa tidak yakin. Sebastian meninggalkan ruangan ini segera setelahnya. Cahaya sore yang hangat membanjiri tempat ini, kulempar tas ku ke atas ranjang lalu mengecek salah satu pintu yang ditunjuknya tadi. Kamar mandinya juga lumayan besar dengan bathup, shower, dan kloset modern, lantainya pun full marmer.
Pintu satunya menuju walk-in-kloset, aku tidak tahu mengapa orang kaya butuh ruangan tersendiri untuk menyimpan pakaian mereka. Hmmm... aneh, pikirku sambil menatap deretan pakaian yang mengisi walk-in-kloset, walaupun sebenarnya lebih banyak night gown dan lingerie daripada pakaiannya. Sebastian bilang Ia tinggal sendirian, staff yang merawat dan membersihkan rumah ini biasanya datang setiap beberapa hari sekali.
Lalu baju milik siapa ini?
Anehnya seluruh pakaian dan lingerie ini sepertinya sama dengan size yang kupakai. Apa jangan-jangan ini punya pacarnya? Setelah dipikir-pikir lagi mana mungkin pria seperti Sebastian tidak memiliki pasangan...
"Dasar laki-laki brengsek." gumamku sambil menyetuh salah satu night gown berbahan satin, pandanganku menangkap label harga yang masih terpasang di bagian dalamnya. Kutarik hangernya satu per satu untuk mengecek, dan semuanya masih memiliki label harga.
Aku berjalan keluar dari walk-in-closet dengan perasaan tidak enak, lalu membuka laci meja rias untuk mengeceknya juga. Dan sesuai dugaanku terisi penuh oleh make up mewah dan segala kebutuhan wanita. Semuanya juga masih baru dan tersegel.
Situasi ini sangat... sangat aneh bagiku, alarm peringatan di dalam kepalaku berbunyi untuk memperingatkanku agar pergi dari tempat ini secepatnya.
Kuambil lagi tasku lalu turun ke lantai satu dengan agak terburu-buru. Sebastian sedang berdiri di balik counter marmer dapurnya, kelihatannya Ia sedang menyiapkan makan malam. Ia sudah melepaskan jasnya, lengan kemeja birunya dilipat hingga ke sikunya.
Kepalanya mendongak ketika menyadari kehadiranku lalu pandangannya beralih pada tas di lenganku. "Mau pergi?" tanyanya.
"Iya... aku... aku ada urusan mendadak." ugh, alasanku terdengar lemah.
Sebastian kembali mengalihkan perhatiannya pada jamur yang sedang Ia potong, "Aku sudah memberitahu Mr. Rochester kau akan bekerja dari rumah selama beberapa hari." sambungnya.
"Kau... apa?" bisikku dengan tidak percaya.
"Apa kau lupa aku sudah membeli The Daily Wire? Bisa dibilang secara tidak langsung kau bekerja padaku." balasnya, kini Ia memotong beberapa butir bawang putih dengan ahli.
"Kau pasti sudah gila..." geramku marah.
Sebastian kembali mendongak, kedua mata abu-abunya terlihat semakin menggelap walaupun cahaya sore menerangi dapurnya dengan sangat terang. "Ada apa dengan matamu?" lanjutku tanpa menghiraukan ekspresi dinginnya.
"Memangnya kenapa dengan mataku?" tanyanya balik. Aku baru menyadari tekniknya untuk menghindari menjawab topik yang tidak diinginkannya adalah dengan bertanya balik.
"Matamu kadang terlihat lebih gelap..." jawabku dengan agak ragu, "Apa kita bisa bertemu di Magnus saja nanti malam?" lanjutku.
"Tidak. Kau tidak akan pergi kemana-mana." Sebastian meletakkan pisaunya di atas telenan lalu mulai berjalan ke arahku, "Kau tidak bisa kabur, Miss Benson."
Ia tidak memanggilku Daisy lagi. "Aku tidak membawa dress merahku."
"Tidak perlu. Aku sudah menyiapkannya untukmu."
Dengan kening mengernyit aku membalas pandangannya, "Apa semua pakaian itu untukku?" tanyaku dengan heran.
"Iya." jawabnya pendek lalu Sebastian berhenti di depanku. Postur tingginya membuatku harus mendongak untuk membalas tatapannya.
"Untuk apa semua pakaian itu? Aku hanya akan tinggal semalam."
Ia menarik salah satu sudut mulutnya membentuk setengah senyuman. Aneh sekali, pikirku lagi, semakin lama kedua matanya semakin gelap. Rahangnya berkedut marah sebelum menjawabku.
"Perjanjian kita memang awalnya hanya menukar informasi mengenai Bill Kovach dengan tujuh malam bersamamu... Tapi setelah tahu apa yang sedang kau rencanakan, rasanya tujuh hari tidak akan cukup untuk menebusnya."
"Huh? Rencana apa?" tanyaku benar-benar bingung. Tangan kanannya menyentuh wajahku lalu menyusup ke rambutku, sedangkan tangan satunya mengangkat daguku. "Apa kau pura-pura tidak tahu, Miss Benson?" wajahnya mendekat hingga bibir kami hampir bersentuhan. "Perbuatanmu di kantor Magnus terekam kamera CCTV."
Tubuhku menegang saat mendengarnya, Sebastian menarik kedua sudut mulutnya membentuk senyuman marah sebelum akhirnya menciumku dengan paksa. Aku berusaha mendorong dadanya menjauh, tapi Ia tidak bergeming sedikit pun.
Sebastian menciumku seakan Ia sedang menghukumku. Ia menggigit bibir bawahku hingga bibirku terbuka lalu mengulumnya, setelah agak bengkak bibirnya menyusuri setiap sudut mulutku dengan intens. Tangan kanannya masih mencengkeram rambutku agar aku tidak bisa kabur.
Nafasnya yang memburu terasa panas di wajahku. Sesekali pinggulnya menekan ke arahku, aku bisa merasakan ereksinya yang keras menyentuh perutku dari balik celananya.
Sesaat aku hampir terlena dengan ciumannya tapi akal sehatku kembali lagi saat mengingat pembicaraan kami barusan. Kini giliranku menggigit bibirnya, tapi berbeda dengannya aku menggigitnya dengan cukup keras. Sebastian sepertinya menyadarinya jadi Ia memindah ciumannya ke rahangku lalu turun ke leherku.
"Lepaskan aku." desisku dengan marah sekaligus panik karena perbuatanku di kantornya sudah ketahuan.
Sebastian menarik kepalanya saat mendengarku, senyuman marahnya kembali lagi di wajahnya, "Melepaskanmu? Miss Benson, kita baru saja akan memulainya."