"Ke—Kenapa kau melakukannya?" Aku bisa merasakan seluruh tubuhku yang terasa panas karena malu, untungnya keadaan saat ini gelap total, Sebastian tidak bisa melihat wajah memerahku. Bukankah kadang keluar darah saat... saat pertama kali wanita melakukannya? pikirku dengan ngeri karena membayangkan Sebastian menjilatnya.
Ia kembali memposisikan dirinya di antara kakiku. Nafasnya menderu keras di telingaku, "Seharusnya kau memberitahuku kau masih perawan." bisiknya dengan desisan marah sekaligus gairah, "Tapi sudah terlambat, sekarang ini semua menjadi milikku."
Ereksinya yang sangat keras kembali mencoba memasukiku, tapi kini dengan berhati-hati. Walaupun tidak seburuk sebelumnya tapi aku masih bisa merasakan nyeri dan sedikit rasa perih. Kugigit bibirku untuk menahan rintihan sekaligus desahan, berat dan hangat tubuhnya di atas tubuhku membuat gairahku semakin terasa intens.
Nafas Sebastian terdengar agak terputus-putus saat sudah berada di dalamku sepenuhnya. Beberapa kali aku merasakannya berdenyut di dalamku.
Aku merasa sangat penuh dan... aneh.
"Kau..." Ia berhenti sejenak untuk menelan ludahnya, "Kau sangat sempit." ucapnya dengan suara yang agak bergetar. Lalu setelah beberapa saat berusaha mengendalikan dirinya Ia berbisik lagi, "Sialan." umpatnya entah kepada siapa. Keringat melapisi tubuh kami saat Sebastian mulai bergerak di dalamku.
Oh.
Sebastian bergerak mundur hingga hampir terlepas dari diriku lalu Ia kembali mendorong pinggulnya perlahan dengan sensual hingga bibirku terbuka karena terkejut. Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang sangat meributkan seks. Aku tidak bisa menahan desahanku saat Ia mengulangi gerakannya, dadanya yang berbulu halus menggesek kedua putingku saat Sebastian bergerak. Kedua tanganku mencengkeram pundaknya saat kenikmatan duniawi yang baru pertama kali kurasakan ini mengambil alih tubuhku. Kali ini giliran bagian terdalamku yang berdenyut nikmat. Sebastian menarik nafasnya dengan tajam lalu membenamkan wajahnya di leherku.
"Kau sangat responsif." gumamnya sambil mencium leherku dengan intim sementara pinggulnya bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Sekali lagi aku merasakan sesuatu yang tajam menggesek kulit leherku tepat di atas nadiku yang berberdenyut kencang. "Ludmila..." panggilnya dengan suara yang terdengar putus asa dan bergairah. "Kau milikku."
***
Aku baru bisa membuka mataku saat matahari sudah membumbung tinggi di langit San Fransisco. Sebastian sepertinya membuka sebagian tirai kamarnya agakrtidak mengganggu tidurku. Kelihatannya Ia sudah bangun jauh sebelum aku karena tempat tidur di sisinya sudah rapi.
Ouch, kupejamkan kedua mataku sejenak saat bagian intim di antara kedua kakiku terasa nyeri. Aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama lagi, pikirku dengan perasaan canggung. Bagaimanapun juga seks ini hanyalah transaksi bisnis. Sebastian pasti juga berharap aku segera keluar dari rumahnya.
Sambil menarik nafas aku turun dari tempat tidurnya lalu ke pergi ke kamar mandinya yang super besar untuk mandi kilat. Dengan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhku aku berdiri di depan cermin kamar mandinya. Rambut coklat gelapku yang basah masih meneteskan air, beberapa bekas cupang menghiasi leher dan dadaku. Ergh, lain kali aku harus memberitahunya untuk tidak meninggalkan bekas di tempat yang mudah terlihat seperti leherku.
Tiba-tiba kedua mataku menangkap bekas luka baru yang ada di leherku juga, walaupun kecil tapi aku yakin luka ini tidak ada kemarin. Jari-jariku menyentuh dua titik berdampingan yang masih terlihat kemerahan. Aneh, pikirku sambil mengusapnya walaupun terasa perih. Luka ini terlihat seperti bekas gigitan ular.
Hal aneh lain yang muncul di dalam kepalaku adalah tentang kejadian semalam. Aku tidak bisa mengingat apapun lagi setelah orgasmeku yang terakhir. Dengan wajah memerah kutarik nafasku dalam-dalam, mungkin efek seks memang sedahsyat itu?
Sambil menggelengkan kepalaku aku keluar dari kamar mandinya lalu mencari pakaianku. Selama beberapa menit lamanya aku mengitari kamarnya yang luas, aku tidak sempat melihat-lihat karena situasi semalam. Kamarnya yang didominasi warna putih dan abu-abu gelap yang maskulin sekilas terlihat seperti display rumah mewah. Aku mengitari kamarnya untuk kedua kalinya dengan sedikit cemas.
Masalahnya adalah... aku tidak bisa menemukan pakaianku dimanapun. Apa Sebastian melaundry pakaianku? Aku tidak bisa kemana-mana hanya mengenakan handuk saja.
Dengan terpaksa aku mengendap-endap ke lantai tiga untuk mengambil pakaian di walk-in-closet yang kulihat kemarin. Sebagian besar pakaian di sini hanya lingerie dan night gown seksi yang tidak lebih baik dari handuk yang kukenakan sekarang. Deretan gaun dan dress mini juga digantung dengan rapi, tapi untungnya masih ada satu celana jeans dan sebuah hoodie yang bisa kupakai. Aku sengaja tidak mencopot label harganya, karena aku hanya akan meminjamnya sampai pakaianku kembali.
Setelah rambutku setengah kering kubereskan kamar Sebastian lalu turun ke bawah untuk mengambil tasku. Kuharap Ia sedang pergi, bukankah CFO Bank seharusnya super sibuk? Aku tidak bisa menahan rasa canggung dan maluku saat merasakan sedikit nyeri dalam setiap langkahku.
Tapi harapanku musnah ketika melihatnya sedang memasak di dapurnya. Sebastian sedang membuat omelet dengan bertelanjang dada, dengan ahli Ia membalik omelet di pan lalu membubuhkan parsley kering di atasnya.
Ergh. Aku bisa merasakan perutku yang mulai terasa gugup.
"Aku sudah membuat sarapan." ucap Sebastian tanpa membalikkan punggungnya, sepertinya Ia sudah menyadari keberadaanku di dasar tangga.
"Terima kasih. Tapi aku harus menyelesaikan deadline artikelku, kurasa aku akan sarapan nanti saja sekalian makan siang." kataku sambil berdeham canggung. "Oh iya, apa kau menyimpan pakaianku semalam?"
Sebastian fokus menata omelet panas di atas piring sebelum berbalik ke arahku, Ia menatapku dengan kedua alisnya yang terangkat. "Sepertinya kau masih belum menyadari situasimu, Miss Benson." balasnya dengan suara rendah yang membuat perutku bergelenyar. Entah kenapa aku jadi ingat suara seraknyanya saat berbisik di telingaku semalam.
Kugigit bibirku agak keras untuk mengalihkan perasaan maluku dengan rasa sakit. "Mr. Moran, aku tahu kita mempunyai perjanjian..." kataku dengan suara profesionalku, "Tapi aku juga punya tuntutan pekerjaan."
Ia mendengus saat mendengar suaraku, "Tuntutan pekerjaanmu saat ini adalah berada di atas ranjangku sampai aku puas."
"A—Apa?" kualihkan pandanganku dari tatapan intensnya, "Bagaimanapun juga... aku harus pergi sekarang." tambahku dengan sedikit terbata.
"Tidak..." suara rendahnya kembali lagi.
"Tidak?" ulangku dengan skeptis, "Lalu apa kau akan menyanderaku disini jika aku tidak mematuhimu?" tantangku sambil melipat tanganku di dada. Kedua matanya menggelap saat mendengarku, Sebastian meletakkan piring berisi omeletnya di atas counter granit dapurnya lalu berjalan ke arahku. Seluruh keberanianku menghilang seketika.
"Oh, sekarang kau bisa membaca pikiranku, Miss Benson?" tanyanya, Ia baru menghentikan langkahnya saat sudah berada sangat dekat di depanku hingga tubuh kami hampir menempel. "Aku akan mengikatmu di atas ranjangku jika kau berani keluar dari rumah ini." janjinya dengan sebuah senyuman samar yang membuatku merinding.
***
Situasi ini benar benar konyol!
Aku tidak mengira Sebastian Moran benar-benar menyanderaku di kamar lantai tiga rumahnya. Kupikir Ia hanya mengucapkan ancaman kosong untuk menakut-nakutiku. Saat aku berjalan keluar dari pintu rumahnya Ia kembali menyeretku ke dalam lalu mengunciku di tempat ini bersama omelet sialannya!
Aku tidak bisa menemukan tasku dimanapun, otomatis handphoneku juga ikut menghilang. Setelah beberapa jam berputar-putar dalam kamar dengan frustrasi akhirnya aku keluar ke balkon yang menghadap taman samping rumahnya. Sayangnya balkon ini berada di lantai tiga, aku tidak bisa meloncat ke bawah tanpa mematahkan kakiku.
Aku bisa mendengar suara deru mobil yang baru memasuki halaman rumah. Apa si sialan itu baru saja keluar rumah? pikirku dengan kesal. Pandanganku tertuju pada mobil yang ternyata berbeda dari yang biasa dipakainya. Mobil ini kelihatan seperti mobil sport yang berwarna biru metalik.
Seorang pria asing keluar dari kursi kemudinya, kontras dengan mobil sportnya, penampilan pria itu terlihat seperti seorang profesor... Ia mengenakan kemeja kotak bergaris biru dan celana berwarna khaki yang terlihat sangat rapi. Rambut hitam pendeknya disisir rapi, sedangkan wajah tampannya dihiasi kacamata bermodel simpel.
Rasanya aku pernah melihat pria itu di suatu tempat.
Seakan tahu sedang diamati, pria itu mendongak dan menangkap basah tatapanku. Wajahnya terlihat terkejut sesaat sebelum berganti dengan ekspresi gelap yang sedikit membuatku sedikit takut.
Tiba-tiba aku ingat dimana aku pernah melihatnya dan siapa pria itu. Ia adalah si dokter sekaligus saudara Sebastian... Devlin Moran.