"Tenang saja aku masih akan memberimu informasi mengenai Bill." gumamnya, kedua tangannya berpindah ke pinggangku, menahanku untuk kabur.
"Lepaskan... aku." ulangku lagi sementara berusaha menarik tangannya dariku. Tasku merosot jatuh ke lantai tapi aku tidak menghiraukannya.
"Perjanjian kita masih berjalan, Miss Benson." Sebastian melepaskanku tapi detik berikutnya tangannya mencengkeram pergelangan tanganku dan menarikku mengikutinya.
"Mr. Moran, lepaskan aku!" teriakku dengan marah, rasa gugup mulai tumbuh di perutku. Sebastian berjalan dengan langkah tegas, seluruh tubuhnya terlihat menegang dari belakang. Aku tidak tahu karena Ia sedang marah atau sedang horny. "Mr. Moran apa kau pikir akan lolos begitu saja setelah memaksaku tidur denganmu? Ini sama saja dengan pemerkosaan!" sambungku sambil terus berusaha menarik tangannya dari pergelangan tanganku. Tiba-tiba Ia menghentikan langkahnya hingga membuatku hampir menabrak punggungnya.
Ia menoleh padaku, aku hampir tidak mempercayai mataku saat melihat kedua matanya yang biasanya berwarna abu-abu terang kini sudah hampir menghitam. "Memaksa?" ulangnya dengan nada rendah. "Miss. Benson, jangan khawatir... aku akan membuatmu memohon padaku." janjinya terdengar seperti ancaman halus di telingaku dan efeknya membuat kedua lututku terasa agak lemas.
Tapi aku tidak akan terlena dengan ucapannya! "Jika kau punya masalah dengan perbuatanku, bawa aku ke kantor polisi." tantangku dengan keberanian yang sebenarnya tidak kumiliki.
Sebastian menarik salah satu sudut bibirnya membentuk setengah senyuman yang membuat wajahnya terlihat lebih muda. Tapi ekspresi marahnya masih terpampang jelas. "Tidak perlu... karena aku sendiri yang akan menghukummu." ucapnya sebelum kembali melanjutkan langkahnya menaiki tangga.
"Mr. Moran... maafkan aku, perbuatanku memang tidak bisa dibenarkan... tapi apa kau tidak ingin mendengarkan penjelasanku lebih dulu?" Kuubah taktikku menjadi wanita yang sedang putus asa.
"Bicara di ranjangku." sergahnya, "Walaupun aku tidak yakin kita akan berbicara banyak di sana."
Perutku terasa bergelenyar saat mendengarnya. Sial, taktikku tidak berhasil. Sebenarnya aku tidak memiliki masalah tidur dengannya, lagipula aku sudah mempersiapkan mentalku selama beberapa hari terakhir. Tapi saat ini kelihatannya Ia sangat marah... dan aku tidak tahu apa yang Ia maksud dengan 'hukuman'. Tidak bisa menguasai situasi ini juga membuatku gugup.
Kamarnya berada di lantai dua, Sebastian membuka pintu kamarnya lalu mendorongku masuk ke dalam. Aku mendengar bunyi 'klik' terkunci setelah Ia menutupnya.
"Mr. Moran, kumohon... kita bisa membicarakannya baik-baik." ulangku dengan lebih tenang, berharap nada suaraku bisa mengembalikan akal sehatnya.
Kakinya maju selangkah yang membuatku terpaksa mundur dua langkah. Aku tidak sempat memperhatikan isi kamarnya, tapi ruangan ini sudah pasti lebih luas dibanding ruangan kamar di lantai tiga tadi. Tirai kamarnya tertutup sebagian hingga membuat suasana kamar agak lebih gelap tapi masih jelas untuk melihat.
"Aku sudah mengatakannya padamu, kau boleh berbicara di atas ranjangku." Jari-jarinya mulai melepas kancing kemeja birunya satu per satu dengan perlahan, rambutnya yang sebelumnya rapi dan disisir ke belakang kini sudah mulai berantakan. Beberapa helainya jatuh menutupi keningnya, saat melihatnya jantungku berdebar kencang di dalam dadaku hingga dentumannya terasa di telingaku. Aku pasti sudah gila, entah kenapa melihatnya bersiap menerkamku seperti ini membuat nafasku tertahan.
Ia kembali berjalan dua langkah dan kubalas dengan mundur empat langkah ke belakangku. Saat Ia berjalan beberapa langkah sekaligus, kakiku yang panik juga mengikuti mundur hingga tiba-tiba betisku menabrak tempat tidurnya yang tidak kusadari sudah berada di belakangku. Tubuhku terjatuh ke atas ranjangnya, dan Sebastian menatapku dengan senyuman samarnya sementara ekspresi marahnya sudah memudar.
"Awalnya aku berharap bisa melihatmu mengenakan dress merah itu lagi. Kau tidak tahu berapa kali aku bermasturbasi sambil membayangkan menarik ujung dress itu ke atas, menggeser pantiesmu, lalu memasuki dirimu malam itu di Magnus." gumamnya sambil melepaskan kancing terakhir mejanya lalu menariknya dari celana panjangnya. Gundukan ereksinya terlihat jelas di balik resletingnya."Tapi kita masih punya kesempatan lain."
Ya Tuhan, apa yang keluar dari mulutnya sangat... sangat kotor dan membuatku terangsang. Apa ini normal? pikirku samar-samar sementara memandang Sebastian melepaskan kemejanya lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya bergerak untuk melepas sabuknya selanjutnya.
Kutelan ludahku sambil menjelajahi dada telanjangnya dengan kedua mataku. Walaupun aku sudah pernah melihat tapi saat memandangnya lagi ternyata masih terlihat sama mengesankannya dengan yang pertama kali. Bulu halus berwarna hitam menghiasi dada dan perut six packnya yang aku yakin tidak dicapai hanya dengan jogging saja.
"Sudah kubilang kan, kau tidak akan bisa berbicara banyak di atas ranjangku." ucapannya membuatku tersentak dan kembali menatap wajahnya. Sebastian melemparkan sabuknya lalu membuka kancing celananya, tapi Ia tidak membuka resletingnya. Ia naik ke atas tempat tidur lalu merangkak ke atasku. "Jadi apa yang akan kita bicarakan, Miss Benson? Hmm?" tanyanya dengan senyuman arogan di wajahnya.
Lidahku terasa kelu. Sebagian rambutnya kini jatuh menutupi keningnya, aku tidak tahu versi mana yang lebih kusukai, yang rapi atau yang berantakan seperti ini. "Mr. Moran, tolong minggir sebelum aku menendang selangkanganmu." ucapku dengan lebih tenang.
Sebastian terlihat terkejut dengan ucapanku, Ia pasti tidak menyangka aku berani mengatakan itu. Sudut mulutnya berkedut untuk menahan tawa.
"Aku serius." sambungku dengan sedikit nada ancaman.
"Oh ya?" Seakan menantangku, Sebastian tiba-tiba menduduki kakiku. Aku berusaha menyeret tubuhku menjauh tapi ternyata hanya bergerak beberapa senti di atas ranjangnya. Ia terlihat sangat puas saat melihatku berusaha melepaskan diri.
"Aku tidak menginginkan ini." kataku dengan ketus walaupun tubuhku mengatakan yang sebaliknya.
Sebastian membalasku dengan menarik kedua tanganku dan menguncinya di atas kepalaku dengan mudah. Sekarang tubuh kami menempel hampir dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dan aku bisa merasakan betapa keras tubuhnya.
"Tubuhmu sangat lembut." bisiknya dengan nafas tertahan, sepertinya Ia memikirkan hal yang sama denganku. Ereksinya terasa menonjol di perutku. Sebastian mencium rahangku perlahan, nafas memburunya bercampur dengan nafasku. Ia mengecup daguku lalu menyusuri bibirku dan menciumku dengan sangat dalam hingga aku terengah-engah sendiri. Beberapa kali ereksinya mendorong perutku yang hanya tertutup blus hitam yang hari ini kukenakan.