Mungkin ini memang sudah takdirku. Saat aku sedang sial maka hal-hal menyebalkan dan menyusahkan akan menimpaku sepanjang hari. Tapi saat aku sedang beruntung, semua hal baik seakan mengiringiku sepanjang hari.
Apa ini karma baik karena bersedia menyerahkan keperawananku demi keselamatan warga San Fransisco dari cengkeraman Bill Kovach? Pikirku sambil berjalan dari kantor Mr. Rochester dengan langkah ringan.
Ah, tidak... memberikan V-cardku pada Sebastian Moran bukan termasuk perbuatan martir. Mungkin lebih tepat jika disebut membuat kesepakatan dengan iblis? Aku mengangguk kecil pada diriku sendiri lalu kembali melanjutkan langkahku.
Walaupun hari ini sudah hari Sabtu, tapi hingga siang ini aku belum merasa gugup atau panik sedikitpun. Hal itu membuatku merasa agak sedikit bangga pada diriku sendiri, melewati malam bersama Sebastian Moran bukan hal besar yang harus kutakuti. Lagipula pada akhirnya semua orang akan kehilangan keperawanan dan keperjakaan mereka kan?
Mr. Rochester baru saja memanggilku ke kantornya untuk memberikan dukungan penuh pada laporan investigasiku mengenai korupsi Bill Kovach. Ia juga menunjukku untuk menjadi reporter eksklusif yang akan melaporkannya di The Daily Wire. Jika semuanya berjalan lancar Ia juga akan merekomendasikanku sebagai reporter senior yang memiliki hak menentukan editorial dan liputan khusus di The Daily Wire.
Ludmila Benson, reporter senior The Daily Wire.
Aku tidak sabar lagi menyelesaikan semua ini. Semangat baru dan rasa antusiasku membuatku bisa bekerja dengan fokus sepanjang siang tanpa jeda sedikitpun. Aku bahkan hampir tidak memikirkan janji malam ini jika bukan karena tiba-tiba teringat bunga Daisy.
Hari ini Sebastian tidak mengirimkan buket bunga Daisy ke kantorku lagi. Apa akhirnya Ia sadar hanya membuang-buang uangnya? pikirku sekilas sebelum melanjutkan pekerjaanku.
Handphoneku yang bergetar mengalihkan perhatianku. Nomor tidak dikenal yang sama kembali muncul di layarnya. Sudah hampir sepuluh kali nomor itu menghubungiku dalam tiga hari terakhir, dan saat kuangkat tidak ada suara yang membalasku. Sebenarnya aku berencana mem-bloknya tapi aku selalu lupa. Kubiarkan nomor itu berkedi-kedip di layar handphoneku hingga berhenti sendiri.
Sekitar pukul tiga sore terdengar gumaman dan bisik-bisik antusias dari rekan kerjaku, karena aku sedang menyelesaikan artikel hari ini jadi aku meneruskan pekerjaanku di dalam bilikku.
"Ludy..." suara Zoey memanggilku dari belakangku.
"Ada apa?" balasku tanpa menoleh padanya.
"Ludy, ah itu... buket bunga Daisy..." sambung Zoey dengan agak bingung.
"Oh... tolong buang bunga itu untukku, Zoey. Aku sedang mengejar deadline hari ini." sahutku sambil terus menyelesaikan ketikan artikelku.
Keheningan menyelingi selama beberapa saat sebelum Zoey membalasku lagi, "Aku tidak bisa... hari ini buket bungamu datang dengan pengirimnya langsung."
Butuh waktu beberapa detik untuk otakku memproses apa yang baru saja dikatakan Zoey, "Apa?" tanyaku dengan kening berkerut sambil memutar kursiku.
Sebastian Moran berdiri di belakang Zoey membawa buket bunga Daisy berwarna putih di tangannya. Ia mengenakan setelan jas biru tua bergaris dan coat berwarna abu-abu, rambut hitamnya disisir rapi ke belakang seperti saat kami bertemu di hotel Langham beberapa hari yang lalu.
Kubuka mulutku lalu menutupnya lagi karena rasa terkejutku. Zoey terlihat bingung sekaligus penasaran, kedua matanya sedikit melotot saat memandangku. "Terimakasih, Zoey..." ucapku padanya setelah menguasai diriku.
"Tentu saja." balasnya sebelum kembali ke biliknya, tapi matanya beberapa kali mengerling ke arah Sebastian. Untungnya tidak banyak rekanku yang masuk kantor karena ini hari Sabtu.
Aku memandang ke arah Sebastian yang sedang mengamati kubik sempitku dengan pandangan bertanya.
"Apa... yang kau lakukan disini?" tanyaku dengan heran.
"Menjemputmu. Aku baru pulang kerja, jadi kupikir sekalian saja menjemputmu karena lokasi tujuan kita hari ini sama." balasnya. "Apa bunga ini mau kubuangkan?" lanjutnya dengan tenang, tidak ada sedikitpun rasa marah atau tersinggung dalam suara atau eskpresinya saat ini.
"Jangan!" sahutku dengan agak kencang hingga aku kaget sendiri. "Aku... akan menyimpannya." sambungku dengan suara yang lebih rendah. Ia menyerahkan buket bunga Daisy yang sejak tadi dipegangnya kepadaku. "Mr. Moran, kau tidak perlu menjemputku... paling tidak beritahu aku sebelum melakukan hal seperti ini."
"Aku memang bermaksud meneleponmu, tapi sayangnya aku belum tahu nomormu." akunya dengan senyuman kecil.
Ugh. Karena rencananya aku bermaksud pulang lebih dulu sebelum pergi ke Magnus jadi aku tidak membawa dress mini merahku. "Apa aku boleh pulang dulu?" tanyaku padanya.
"Tidak. Kau tidak perlu pulang." suaranya berubah drastis, senyuman kecil di wajahnya sebelumnya juga memudar. "Sebaiknya kita berangkat sekarang." tambahnya sebelum mengulurkan tangan kanannya padaku.
Apa Ia bermaksud berjalan sambil menggenggam tanganku di depan rekan kerjaku? pikirku sambil memandang tangannya yang besar. "Mr. Moran... sebenarnya aku belum menyelesaikan pekerjaanku hari ini. Apa kau keberatan aku menyusul ke Magnus nanti malam?"
"Aku keberatan." jawabnya dengan tatapan intens yang membuatku tidak berkutik. "Jika memang harus, aku yang akan bicara pada Mr. Rochester agar kau diijinkan pulang lebih awal."
"Jangan!" selaku dengan agak panik, aku tidak ingin Mr. Rochester berpikiran yang tidak-tidak tentang hubungan kami. "Kau tidak perlu melakukannya." ucapku sambil mematikan komputerku lalu mengambil tas kecilku dan berdiri dari kursi. "Ayo." ajakku sementara aku berjalan lebih dulu. Beberapa rekan kerjaku mendongak dari kubik mereka saat Sebastian lewat di belakangku. Pria itu memang agak menarik perhatian tapi aku tidak akan memasukkannya ke dalam kategori tampan yang klasik. Sebastian Moran memiliki kharisma yang mendominasi, jika Ia berdiri di sebuah ruangan semua orang tahu Ia adalah orang yang penting... kharisma yang seperti itu.
Wajahnya juga tidak buruk. Luka di pipinya malah membuatnya terlihat semakin jantan... omong-omong tentang luka, aku penasaran bagaimana Ia bisa mendapatkannya. Kami berjalan menuju halaman parkir gedung kantorku, karena aku tidak tahu yang mana mobilnya jadi aku hanya mengikutinya dari belakang.
Sebastian berjalan ke sebuah sedan berwarna hitam yang mengkilap. Karena selalu menggunakan transportasi umum, aku tidak familiar dengan merk mobil. Tapi sekali melihat saja aku yakin mobilnya adalah mobil mewah. Ia membuka pintu penumpang mobilnya dan mempersilahkanku masuk sebelum menutupnya dan berjalan ke arah kemudi. Telapak tanganku menyentuh jok mobilnya yang terasa sangat halus. Apa ini kulit asli? pikirku sambil mengelus jok yang kududuki.
Kami berkendara tanpa berbicara. Sebagai seorang reporter aku sudah mengasah intuisiku untuk tahu mood orang-orang yang sedang kuwawancarai. Walaupun terlihat tenang tapi Sebastian Moran saat ini sepertinya sedang sangat... marah?
Aku bisa melihat kedua tangannya yang mencengkeram erat kemudinya. Apa alasan di balik mood buruknya hari ini?
Selang dua puluh menit kami berkendara dalam diam, aku baru sadar jalanan yang dilaluinya tidak menuju ke klub malam Magnus. "Kemana kita akan pergi?" tanyaku memecah keheningan.
"Ke rumahku." balasnya singkat. Dengan kening berkerut aku berusaha mengenali jalanan yang kami lewati. Saat ini kami berada di bagian lingkungan hunian orang-orang kaya San Fransisco, tepatnya Russian Hill. Deretan rumah mewah menghiasi sisi jalan yang menanjak. Mobil Sebastian terus melaju hingga jarak antar rumah kelihatannya semakin berjauhan. Tiba-tiba Ia membelokkan mobilnya masuk ke salah satu gerbang besar berwarna abu-abu yang terbuka otomatis. Bahkan jalan masuk menuju rumahnya terlihat jauh.
Aku tahu Ia pasti orang kaya karena bisa membeli koran tempatku bekerja dengan mudah. Tapi aku tidak menduga Ia juga memiliki properti sebesar ini di daerah paling mahal di San Fransisco. Rumahnya beserta halaman dan seisinya mungkin hampir sebesar sebuah stadion sepak bola. Bahkan jalan masuknya pun cukup jauh. Rasanya sangat kontras dengan apartemen studioku yang hanya berisi kamar mandi, dapur dan ruang tidurku bahkan menyatu menjadi satu ruangan.
Sebastian menghentikan mobilnya di pelataran parkir di depan rumah berlantai tiga. Desainnya terlihat modern dan sangat artistik, jika aku tidak tahu ini adalah rumahnya mungkin aku akan mengira tempat ini adalah museum. Taman pribadi yang sangat luas juga mengelilingi properti ini, seluruh tanaman dan pohon dirawat dengan sangat apik dan tertata.
Saat Sebastian keluar dari mobil, aku juga ikut keluar. "Kenapa... kau membawaku ke rumahmu?" tanyaku padanya saat kami berjalan masuk ke dalam.
"Di sini tidak ada orang, privasi kita akan terjaga." balasnya sebelum melempar kunci mobilnya ke salah satu mangkuk dekorasi yang menghiasi meja rumahnya. "Dan tidak ada yang akan ada yang bisa menolongmu disini." tambahnya dengan senyuman janggal yang membuatku merasa tidak enak.
"Aku tidak membawa dress mini merahku." kataku sambil terus mengikutinya melewati dapur terbuka yang cukup luas untuk menampung lima puluh orang sekaligus. Ya Tuhan, rumah ini sangat besar. Berbagai karya seni baik patung atau lukisan menghiasi setiap sudut ruangan. Dinding kaca yang sangat luas memberikan pemandangan San Fransisco dari atas Russian Hill.
"Kau tidak memerlukannya." jawabnya sambil lalu, "Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu." suaranya terdengar sangat rendah hingga aku hampir tidak mendengarnya, tapi bukan itu yang membuat bulu halus di seluruh tubuhku meremang... nada ancamannya yang terang-terangan lah yang membuat langkahku terhenti.