Masih sambil menggenggam tanganku, Sebastian membawaku melewati lorong merah yang baru saja kulalui satu jam yang lalu.
"Manajermu bilang biasanya kau hanya mengunjungi Magnus saat akhir pekan." kataku sambil berusaha menarik tanganku dari genggamannya yang terasa hangat. "Mr. Moran, aku datang bukan untuk bertemu denganmu."
"Aku tahu, karena itu aku yang datang... untuk bertemu denganmu." balasnya sebelum meletakkan jas dan tas ku di sofa hitam.
Dasar bohong, pikirku sambil mendengus kesal. Ia datang karena manajernya memberitahunya aku ada di Magnus. Sebastian akhirnya melepaskan tanganku setelah memastikan aku tidak bisa kabur. Ia memintaku duduk di sofa lalu berjalan menuju telepon yang terpasang di dinding.
"Aku tidak akan tidur denganmu malam ini." celetukku dengan agak ketus.
Sebastian yang hendak mengambil gagang telepon berhenti lalu membalikkan badannya sambil tertawa dengan suara dalamnya. "Aku tahu." balasnya dengan ekspresi geli yang baru pertama kali ini kulihat. "Aku hanya ingin mengajakmu makan malam, bukannya kau ingin tahu tentang Bill Kovach?" timpalnya sebelum kembali menarik gagang telepon dan menghubungi bagian dapur untuk memesan makanan dan wine.
Kugigit bibirku untuk menahan rasa maluku. Pandanganku tertuju pada punggungnya yang lebar, berotot, dan keras... aku tahu karena aku sempat merabanya saat itu.
Ah, Ludmila dan pikiran cabulnya... pikirku sambil memejamkan mataku dengan erat selama beberapa detik untuk mengusir bayangan ingatan malam itu yang berkelebat di dalam kepalaku. "Dasar cabul." gumamku pada diriku sendiri dengan suara rendah. Tiba-tiba Sebastian yang masih menelepon, menoleh ke arahku lalu mengangkat salah satu alisnya dengan ekspresi bertanya.
Kubalas tatapannya dengan pandangan bertanya juga. Salah satu sudut bibirnya berkedut ke atas lalu Ia kembali fokus menelepon. "Aku memesan steak dan pasta, kuharap kau menyukai menu itu?" tanyanya setelah selesai menelepon lalu mengambil tempat di sebelahku.
"Aku suka semuanya."
"Untuk apa kau datang hari ini?" lanjutnya tanpa berbasa-basi lagi.
Oh, aku sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. "Aku hanya ingin mencoba kartu yang kau berikan." balasku sambil menarik kedua sudut mulutku ke bawah, "Mengapa kau memberiku kartu milikmu? Sekuritimu berpikir aku mencuri kartu itu."
"Oh ya? Aku akan menegurnya nanti." jawabnya dengan suara rendah sementara kedua matanya abu-abunya menatapku dengan seksama. Aku baru menyadari Sebastian selalu memberikan seluruh perhatiannya saat berbicara padaku, Ia tidak pernah memegang handphonenya atau mengalihkan perhatiannya saat bersamaku.
"Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanyaku sebelum aku bisa mencegahnya.
Sudut bibirnya kembali berkedut menahan senyuman. "Seperti apa? tanyanya balik.
"Aku tidak tahu... Tapi tatapanmu membuatku seperti... seperti rubah yang sedang diamati di kebun binatang." balasku dengan penjelasanku yang belepotan. Aku ingin menjawab tatapannya terlalu intens hingga membuatku salah tingkah, tapi jawaban seperti itu hanya akan meningkatkan rasa egonya. Pria seperti Sebastian Moran tidak membutuhkan sokongan ego lebih banyak.
"Karena kau aneh." jawabnya dengan cepat tanpa rasa bersalah. "Ini pertama kalinya aku tertarik pada manusia."
Jawabannya yang janggal membuat keningku berkerut, "Kau lebih aneh dariku."
Ia kembali tertawa kecil. "Aku tahu."
"Dan berhenti mengirimiku buket bunga Daisy." sambungku dengan tegas, "Semua rekan kerjaku mulai menatapku dengan aneh setiap kali bunga itu datang ke mejaku."
Ia mengangguk singkat, "Kalau begitu aku hanya akan mengirimkan bunga Daisy saat sedang teringat padamu."
Aku ingin melarangnya juga tapi suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami. Salah seorang staff membawakan beberapa piring berisi makanan kami serta sebotol wine putih dingin. Oh, cepat juga, pikirku sambil menatap spaghetti carbonara panas dengan saus creamy yang dihiasi dengan bintik-bintik telur ikan berwarna oranye. Setelah staff keluar, Sebastian membuka penutup piring lain yang berisi steak besar yang mengeluarkan aroma butter dan rempah yang lembut. Kutelan air liurku sementara Sebastian mengiris steak itu menjadi potongan sekali makan. Ia mengambil piring salah satu spaghetti carbonara lalu meletakkan beberapa potongan steak di pinggirnya, setelah itu menaruhnya di depanku dan mengambil porsinya sendiri.
Aku menunggunya selesai menuangkan dua gelas wine dingin sebelum akhirnya mengambil garpuku dan mulai menyantap makananku. Tekstur pasta spaghetti yang masih al dente terasa nikmat saat menyatu dengan saus creamy carbonara, samar-samar rasa gurih dari telur ikan juga terasa di lidahku. Kutusuk satu potong steak lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Ini benar-benar gawat... rasanya sangat enak hingga membuatku ingin menangis. Setiap aku mengunyah ledakan rasa daging panggang yang gurih beserta butter yang harum memenuhi seluruh rongga mulutku. Selama lima menit penuh seluruh perhatianku hanya terfokus pada makananku hingga akhirnya aku tersadar kami belum berbicara sama sekali.
Saat aku menoleh ke sebelahku, Sebastian juga makan dari piringnya tapi pandangannya sedang tertuju padaku.
"Apa?" tanyaku dengan heran sekaligus kesal karena Ia membuatku salah tingkah dengan pandangannya. Apa Ia memandangku karena aku terlihat rakus? "Aku agak lapar." lanjutku dengan nada membela diri walaupun Sebastian tidak mengatakan apapun.
"Apa kau baru saja pulang kerja?" tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya dari kerakusanku.
"Tidak, aku harus..." Ia mengecek jam tangan titaniumnya sekilas, "...kembali sekitar tiga puluh menit lagi."
"Lalu kenapa kau datang ke Magnus?" sahutku dengan heran.
"Untuk makan malam?" jawabnya dengan ekspresi polos. Aku yakin Ia tidak bolak-balik dari Magnus ke gedung Bank Barclays hanya untuk makan malam, tapi aku tidak mood untuk mendesaknya karena saat ini waktuku hanya tersisa tiga puluh menit untuk bertanya padanya tentang Kovach. Tapi sebelum itu ada hal yang sangat membuatku penasaran sejak beberapa hari yang lalu...
"Apa kau yang menghentikan investigasi yang dilakukan The Daily Wire?"
Sebastian menelan steak yang baru dikunyahnya sambil menatapku sekilas, "Iya."
Kuambil gelas wineku lalu menyesapnya, "Bagaimana caranya?"
"Aku membeli koran tempatmu bekerja."
"Uhuk!" Tenggorokanku tersedak yang wine yang sedang kuminum. Aku memandangnya dengan bibir yang sedikit menganga sementara beberapa tetes wine mengalir dari sudut mulutku. Sebastian meletakkan garpunya lalu mengusap ujung bibirku dengan ibu jarinya, kedua mata abu-abunya menatap intens ke kedua bibirku. Setelah bekas jejak aliran wine menghilang dari bibirku Ia menarik ibu jarinya lalu menjilatnya perlahan, sebelum kembali mengambil garpunya dan melanjutkan makan malamnya.
"Pertanyaan selanjutnya?" tanyanya dengan sangat santai.
Dasar gila... Ia membeli koran The Daily Wire hanya untuk menghentikan investigasi Bill Kovach? Bagaimana dengan koran lain yang menghentikannya juga...? Kutelan ludahku dengan sedikit perasaan gugup. Aku tidak ingin lagi bertanya padanya tentang topik itu. "Mengapa kau mensponsori Kovach? Semua orang tahu Ia punya banyak skandal yang akan menjegalnya jika Ia mencalonkan diri sebagai walikota."
"Hanya ambisi pribadiku. Kebetulan saja Kovach adalah orang yang tepat untuk mewujudkannya."
"Lalu... kenapa kau berhenti tiba-tiba dan menyerahkan Kovach padaku begitu saja?" berondongku.
Sebastian meletakkan garpunya setelah potongan steak terakhirnya habis. Ia tersenyum samar sebelum menjawabku, "Ambisi pribadiku... kebetulan baru saja berubah."
Jawabannya yang ambigu membuatku agak kesal. "Aku tidak ingin terdengar menggurui, tapi jika kau ingin merayu wanita seharusnya kau tidak menggunakan ancaman."
"Aku yakin kau sendiri sadar, kau bukan wanita yang bisa dirayu hanya dengan bunga dan kencan." jawabnya dengan diplomatis.
Dasar, mulutnya pintar sekali.
"Bukankah kau juga bilang sendiri, menyerahkan Bill Kovach untuk tidur denganku adalah harga yang sangat mahal?" sanggahku, "Kenapa... kenapa aku?" hingga saat ini aku masih tidak mengerti. Kami hanya pernah bertemu sekali sebelum Ia menawarkan menyerahkan Kovach di acara amal itu.
"Daisy, aku adalah pengusaha. Anggap saja aku sedang berinvestasi padamu." jawabnya pendek. "Seharusnya kau menggunakan kesempatan ini untuk bertanya tentang Bill, bukan tentangku." sambungnya lagi.
"Aku hanya ingin tahu pria macam apa yang akan tidur denganku Sabtu nanti." balasku dengan berani. Sebastian tersenyum lagi, tapi ekspresinya terlihat seperti seseorang yang sedang menikmati gonggongan anak anjing yang imut. Kenapa aku merasa kesal sekali melihatnya?
"Aku harus segera kembali ke kantor." katanya tiba-tiba sambil mengecek jam tangannya sekilas. "Apa kau mau kuantar pulang?"