Kedua kakiku terasa agak lemas saat mendengar ucapan Sebastian. Ia terlihat sangat menikmati perubahan ekspresiku saat ini. Kutarik daguku dari tangannya lalu mundur satu langkah menjauh darinya. "Mengapa kau melakukan ini padaku? Apa kau sedang mempermainkanku?"
Salah satu alis hitamnya terangkat saat mendengarku. "Bukannya seharusnya aku yang menanyakan pertanyaan itu padamu?"
Sial, Ia ada benarnya juga... aku yang sudah menipunya lebih dulu. Kulipat kedua tanganku di dadaku lalu memasang wajah berani untuk menggertaknya, "Lalu apa yang kau inginkan dariku?"
"Satu malam bersamamu." jawabnya tanpa ragu sedikitpun. "Berapapun tarifnya, aku akan membayarnya."
Aku terhenyak saat mendengar ucapannya barusan, "Apa kau tidak tahu siapa aku sebenarnya?" tanyaku untuk memastikan.
"Ludmila Benson, umur dua puluh lima tahun, reporter junior di The Daily Wire dan Majalah Glamour." balasnya dengan nada datar seolah-olah Ia sedang membaca teks.
"Benar." balasku sambil mengangguk tegas, aku yakin Ia sudah mencari tahu tentangku sebelum mengirim bunga Daisy ke kantorku pagi ini. "Mr. Moran, aku bukan escort, jadi berhenti memintaku tidur denganmu!"
"Jadi... Daisy yang seorang escort hanya samaranmu?"
Aku mengangguk lagi. "Aku bukan escort." ulangku.
Ia terdiam sesaat, tapi di tengah cahaya remang-remang aku masih bisa merasakan tatapan intensnya. "Lalu... untuk apa kau menyamar sebagai escort yang dikirim oleh Nicholas Shaw? Nicholas tidak ingat Ia sudah mengirimmu malam itu." tanyanya dengan suara rendah yang terdengar mengancam.
Badanku membeku saat menyadarinya... Aku baru saja jatuh ke dalam jebakannya. Sebastian Moran kembali membungkuk lalu berbisik di telingaku. "Jadi apakah malam ini aku akan pergi ke kantor polisi bersama Miss Benson... atau pulang ke rumah bersama Daisy?" nafasnya yang hangat membuatku bergidik karena terasa kontras dengan hembusan dingin AC yang menyentuh kulitku.
"Apa kau baru saja mengancamku?" bisikku balik.
"Iya." balasnya dengan terang-terangan lalu menarik wajahnya. "Karena kuharap aku bisa pulang bersama Daisy malam ini." tambahnya dengan sebuah senyuman dingin.
"Lebih baik aku tidur di penjara daripada tidur bersamamu." desisku.
"Apa kau yakin, Daisy?" tanyanya lagi.
"Aku bukan seorang escort!" bentakku dengan suara yang cukup keras, tapi untungnya tidak ada siapa-siapa di sekitar kami. Semua perhatian tamu undangan masih tertuju pada panggung utama. "Kenapa harus aku? Bukankah pria sekaliber dirimu seharusnya bisa mendapatkan wanita manapun?" tanyaku dengan heran sekaligus takjub.
"Kau benar." balasnya dengan anggukan samar, "Pria sepertiku seharusnya bisa mendapatkan wanita manapun yang kuinginkan... Karena itu aku harus mendapatkanmu."
Jawabannya yang tidak tahu malu membuatku tercengang.
"Lagipula jerih payahmu mengejar Bill Kovach selama ini hanya akan menjadi sia-sia jika aku melaporkan perbuatanmu ke polisi." sambungnya.
Bahkan Sebastian sudah tahu aku sedang melakukan investigasi tentang Bill Kovach, pikirku dengan sedikit rasa takut. Siapa Ia sebenarnya hingga bisa menutup mulut koran independen sebesar The Daily Wire? Sebastian Moran sepertinya bukan pria yang bisa dipermainkan begitu saja, aku sudah salah mencari musuh. Hanya ada satu cara untuk menghadapi pria sepertinya.
"Aku akan tidur denganmu jika kau menyerahkan Bill Kovach padaku." ucapku dengan sedikit nada bergetar, "Aku ingin bukti jejak penggelapan dananya, skema korupsinya... semuanya."
Sebastian pasti tidak akan bisa menyanggupi syarat gilaku.
Ia hanya terdiam tapi senyuman dingin di wajahnya memudar dan berganti dengan pandangan tertarik. "Bukankah harganya terlalu mahal? Bill Kovach ditukar dengan satu malam bersamamu?"
Lihat, kan? Ia tidak akan bisa mengkhianati partner bisnisnya hanya untuk tidur bersamaku. Kali ini aku yang menangβ
"Tujuh malam." katanya tiba-tiba, "Seluruh rahasia Bill Kovach ditukar dengan tujuh malam bersamamu. Kau harus datang padaku setiap aku memanggilmu."
Aku terlalu shock hingga tidak bisa membuka mulutku untuk membalasnya. Selama beberapa menit lamanya kami hanya berpandangan tanpa bersuara.
"Mr. Moran, sebentar lagi waktunya untuk anda memberikan pidato." tiba-tiba dari sampingnya muncul seorang wanita berpakaian setelan jas hitam.
"Aku akan menyusul sebentar lagi." jawab Sebastian pendek, lalu menunggu wanita itu pergi sebelum melanjutkan berbicara padaku. "Karena sekarang kita sudah mencapai kesepakatan, aku akan menghubungimu lagi untuk jadwal kita selanjutnya." katanya sebelum melangkah pergi.
"Ah!" celetuknya sebelum berbalik lagi, "Jangan lupa pakai gaun merahmu yang kau kenakan di Magnus malam itu, aku sangat menyukai gaun itu..." Ia berhenti sejenak untuk menatap wajahku dengan seksama, "Kuharap tujuh malam kita nanti sebanding dengan harga mahal yang kau pasang, Daisy." ucapnya sambil tersenyum lalu kembali melangkah meninggalkanku yang masih belum bisa berkata-kata, sendirian di pojok ballroom yang gelap.
***
Aku langsung kembali ke apartemenku setelah Sebastian Moran menyelesaikan pidatonya. Persetan dengan liputan itu, pada akhirnya aku hanya mengirimkan laporan seadanya saja. Pantas saja Mr. Rochester memintaku secara langsung untuk meliput acara amal itu, pasti Sebastian Moran ada sangkut pautnya dengan permintaan itu.
Sebuah buket bunga Daisy berwarna putih muncul di mejaku pagi berikutnya, walaupun ukurannya lebih kecil dari sebelumnya. Memandang buket itu di pagi hari berhasil membuat moodku terjun bebas. Kubuang bunganya setelah mengambil amplop berwarna putih yang tersemat di antara bunganya. Zoey menatapku dengan pandangan takjub saat melihatku melempar bunga itu ke tong sampah, tapi begitu melihat ekspresiku Ia tidak berani mengucapkan apa-apa.
Setelah kembali ke kubikku kubuka amplop putih itu, di dalamnya hanya ada sebuah kartu berwarna hitam dengan logo Magnus dan secarik kertas.
'Sabtu. 21:00' βS.
Tidak ada tulisan lain atau ucapan basa-basi, hanya ada sebaris kalimat berisi jadwal pertemuan kita. Kuremas kertas itu ditanganku lalu melemparnya ke tempat sampah kertas di kubikku lalu mengalihkan perhatianku pada kartu membership Magnus yang berwarna hitam. Kartu membership yang kupinjam dari wanita yang kutemui di toilet saat itu berwarna merah, berbeda dengan yang kupegang saat ini.
Tujuh malam... pikirku sambil menatap kartu hitam di tanganku yang terlihat simpel tapi juga sangat mewah. Tujuh malam bersama Sebastian Moran... jantungku berdebar kencang setiap aku mengingat malam yang kuhabiskan di pangkuannya saat itu.
Sepertinya Sebastian mengira aku wanita yang berpengalaman. Kugigit bibirku lalu menyandarkan punggungku di kursi. Apa sebaiknya aku mengatakan padanya bahwa aku masih perawan? Tapi itu artinya kesempatanku untuk mengungkap skandal korupsi Bill Kovach kemungkinan akan menghilang. Seperti apa rasanya memberikan keperawananku pada pria seperti Sebastian Moran? Aku bahkan baru bertemu dengannya dua kali.
Tapi aku tidak bisa menyangkal... aku juga sedikit tertarik padanya.
Kuhela nafasku dengan berat, "Aku pasti sudah gila." gumamku pada diriku sendiri sebelum menyalakan komputerku dan larut di dalam pekerjaanku.