Kegiatan amal yang diadakan di hotel Langham adalah penggalangan dana untuk anak-anak penderita kanker yang diadakan oleh Bank Barclays. Aku baru tahu saat membacanya di banner yang dipasang di depan ballroom acara.
Bank Barclays. Jantungku berdebar lebih kencang saat menyadari Sebastian Moran akan hadir di tempat ini juga. Kenapa hari ini aku sial sekali? Pikirku sambil melangkah masuk ke dalam ballroom setelah undangan dan barangku dicek oleh sekuriti.
Bagaimanapun juga malam ini aku harus menghindari bertatap muka langsung dengan Sebastian. Untungnya malam ini aku hanya harus membuat liputan acara penggalangan dana amal tanpa perlu menginterview siapa pun. Aku hanya perlu memilih meja yang paling belakang dan sepi, lalu berhati-hati untuk tidak menarik perhatiannya hingga acara ini selesai. Lagipula biasanya orang sepenting Sebastian Moran akan ditempatkan di meja terdepan bersama undangan penting lainnya. Ratusan tamu undangan datang berpakaian formal dan mewah karena mereka berasal dari kalangan pengusaha dan sosialita kelas kakap. Para laki-laki mengenakan tuxedo formal, sedangkan wanitanya memakai gaun malam.
Karena kehadiranku disini hanya sebagai wartawan, jadi aku mengenakan seragam standarku yang kupakai setiap menghadiri acara seperti ini. Celana hitam dan blus merah yang terlihat rapi tapi simpel, aku juga membawa tablet dan kameraku untuk membuat draft liputan selama acara berlangsung. Saat memasuki ballroom yang megah aku langsung menuju ke arah meja yang berada di paling belakang karena suasananya yang remang-remang sangat sempurna untukku bersembunyi.
Ada dua orang lain yang semeja denganku, keduanya juga sepertinya sedang meliput acara ini untuk koran yang berbeda.
Kuhabiskan satu setengah jam pertama dengan menikmati makanan dan minuman yang disajikan sambil mengerjakan draft liputan. Hingga pukul sembilan malam Sebastian Moran menampakkan batang hidungnya. Kuedarkan pandanganku pada rombongan yang baru saja memasuki ballroom, yang berjalan paling depan adalah seorang pria berumur lima puluh tahunan yang berpostur tinggi dan kurus. Rambutnya yang memutih dan tipis disisir rapi ke belakang, sebuah senyuman palsu khas politikus terpasang di wajahnya. Pria itu adalah Bill Kovach. Di belakangnya berjalan sekretaris, ajudan, serta bodyguard extra yang selalu mengikutinya kemanapun Ia pergi.
Kuambil perekam suara portabel yang biasanya kugunakan untuk merekam konferensi pers atau mewawancarai dari dalam tasku lalu melangkah ke arah rombongan itu dengan langkah cepat. Bill Kovach, tentu saja Ia akan hadir disini. Kovach dan Sebastian Moran sedang bekerja sama dalam pemilihan walikota San Fransisco tahun ini. Aku tidak tahu apa yang menjadi pertukaran dalam kerja sama mereka, yang aku tahu saat ini hanyalah Sebastian Moran menjadi penyokong di balik pencalonan Bill Kovach. Ia yang mensponsori kampanye Kovach dan membereskan skandal korupsinya.
Mewawancarai Bill Kovach langsung adalah kesempatan emas, karena selama ini Ia selalu berhasil menghindar.
"Mr. Kovach!" Panggilku sebelum Ia sampai di mejanya yang tentu saja terletak paling depan. Masih dengan senyuman menjijikan di wajahnya, Ia menoleh ke arahku.
Kunyalakan perekam suara di tanganku lalu menyodorkannya ke wajahnya, "Mr. Kovach, apa betul anda tetap akan mencalonkan diri sebagai walikota tahun ini?"
Kovach terlihat terkejut karena tiba-tiba diwawancarai. Ajudan dan bodyguardnya mulai mendekat ke arahku tapi mereka menunggu aba-aba dari tuannya. "Ya, tentu saja." jawabnya dengan senyuman yang mulai membeku.
"Walaupun dengan kasus skandal penggelapan uang di Bank Barclays dan Universitas Trinity?" tanyaku dengan cepat sebelum dua orang di belakangku menghentikanku. Bill Kovach menatapku dengan berang, "Siapa yang mengijinkan orang ini masuk?!" bentaknya ke arah sekretarisnya. Beberapa orang yang duduk di meja dekat kami menoleh untuk menonton.
Sepertinya bentakan Kovach adalah aba-aba yang ditunggu ajudan dan bodyguardnya karena detik berikutnya keduanya menarik tanganku dengan kasar lalu hampir menyeretku menjauhi tuannya.
"Hey! Lepaskan aku!" protesku sambil berusaha melepaskan diriku dari cengkeraman mereka dengan sia-sia. Suaraku teredam musik yang baru saja muncul karena saat ini adalah sesi konser. Cengkeraman tangan keduanya terasa sakit di lenganku. Suasana yang agak gelap membuat hampir tidak ada yang menyadari keributan di pinggir ballroom.
Aku bermaksud menendang salah satunya saat sebuah suara menyela dari salah satu pintu gelap yang terbuka. "Lepaskan dia."
Sebuah siluet tinggi dan besar berjalan keluar dari ruangan gelap itu. Sebastian Moran menatap kedua pria yang mencengkeram tanganku dengan dingin. Aku terlalu terkejut melihat kemunculannya yang tiba-tiba, hingga mulutku menganga saat memandangnya. Sebastian mengenakan tuksedo formal berwarna hitam sedangkan rambut hitamnya disisir ke belakang dengan rapi. Ia terlihat sangat berbeda dari malam itu, aku hampir tidak mengenalinya saat Ia mengenakan baju.
"Ini bukan urusanmu." kata bodyguard di sebelah kiriku yang langsung dibalas dengan pukulan di belakang kepala oleh si ajudan. Keduanya akhirnya melepaskan tanganku. Kuusap lenganku yang masih terasa agak sakit sambil mundur beberapa langkah menjauhi mereka.
"Maafkan kami, Mr. Moran, tapi nona ini baru saja mengganggu Mr. Kovach." jawab ajudan dengan nada hormat.
"Aku tidak peduli. Pergi." perintahnya dengan sedikit amarah yang terdeteksi dari suara dinginnya. Keduanya langsung pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi, meninggalkan kami di sudut ballroom yang gelap.
Setengah menit berlalu tanpa ucapan darinya. Dengan ragu kakiku kembali melangkah ke belakang, berusaha memperbanyak jarak di antara kami. "Mau kemana... Daisy?"
Suaranya membuat bulu halus di sekujur tubuhku meremang, mau tidak mau ingatanku kembali ke malam bersamanya di Magnus. Hanya mendengar suaranya saja sudah membuat perutku bergelenyar.
Ia melangkah ke arahku dengan kakinya yang panjang hingga wajahnya terlihat lebih jelas karena cahaya yang menyorot dari panggung utama. "Apa kau menerima bungaku?" tanyanya lagi dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca. Sebastian terlihat sangat tampan malam ini. Kutelan ludahku dengan panik, berusaha memikirkan cara untuk kabur dari situasi ini.
"Kehilangan lidahmu?" tanyanya lagi sambil melangkah hingga Ia berdiri sangat dekat denganku. "Daisy... kapan jadwal kita selanjutnya?" tangan kanannya mengangkat daguku hingga kami saling menatap.
"Kenapa kau masih memanggilku Daisy?" tanyaku dengan agak kesal, "Kau tahu siapa aku sebenarnya dari awal, kan?"
Padahal Ia hanya tersenyum samar, tapi jantungku sudah berdebar tidak karuan. "Aku tidak punya urusan dengan Ludmila Benson." katanya dengan sedikit kedutan marah di ujung mulutnya lalu Ia mendekatiku dan berbisik di telingaku, "Aku hanya punya urusan dengan Daisy, Ia berhutang satu orgasme padaku."