"Kau mau melanjutkannya di kamarku?" tanyanya sambil mencium leherku perlahan, sedangkan aku masih memproses apa yang baru saja kulakukan dengannya.
"Tidak, terima kasih." jawabku tanpa kusadari. Ciumannya berhenti seketika lalu Ia menarik wajahnya menjauh untuk memandangku.
"Apa?"
"Aku... Aku memiliki klien lain sebentar lagi." balasku dengan cepat sambil berusaha berdiri dari pangkuannya.
"Aku bisa membayarmu lebih." tawarnya sambil menahan pinggangku, "Aku akan membayar tarifmu semalam penuh. Dua kali lipat."
Sebenarnya aku tidak bisa menebak apa Ia sudah mengetahui penyamaran escortku atau hanya berpura-pura tidak tahu. Kulempar senyum versi sales milikku padanya lalu menarik tangannya dari pinggangku dan berdiri. Oh, pantiesku... erangku dalam hati dengan tidak nyaman.
"Maaf, tapi membatalkan janji klien tiba-tiba secara sepihak bukan perbuatan yang beretika." kataku sambil menarik dress miniku kembali ke tempat semula. Aku tidak berani memikirkan tentang rasa maluku saat ini.
"Dan meninggalkan klien dalam kondisi ini beretika untukmu?" tanyanya sambil memandang bagian selangkangannya sekilas, membuatku teringat pada apa yang baru saja kulakukan di atas sana beberapa menit yang lalu.
Ah, perkataannya ada benarnya juga. PSK macam apa yang bukannya menservis... tapi malah diservis?
Kugigit bibirku dengan panik, berusaha mencari jalan keluar dari situasi aneh ini. "Aku... bisa menggantinya lain waktu jika kau ingin."
Kedua mata abu-abunya yang aneh sudah berubah menjadi lebih terang lagi. Apa itu efek cahaya? Aku hampir tidak mempercayai pengelihatanku saat melihat sebuah senyuman samar di wajah galaknya, "Baiklah. Aku akan menantikan jadwal ulangmu, Daisy."
Sebuah helaan lega muncul dari bibirku sebelum bisa kucegah, Sebastian Moran sepertinya juga melihatnya karena senyumannya berubah lebih dalam beberapa derajat.
"Kalau begitu... sampai jumpa lagi, err, Mr. Moran." ucapku padanya dengan sangat canggung lalu berjalan ke arah pintu yang menuju lorong, sebelum membukanya aku menoleh ke arahnya sekali lagi. Ia masih menatapku dari sofanya lalu kembali tersenyum samar dengan ekspresi yang janggal. Kubalikkan badanku lalu keluar dari tempat itu secepat mungkin.
Saat berjalan di lorong aku baru menyadari Ia tidak menanyakan kontakku walaupun meminta 'jadwal ulang', mungkin Ia hanya berbasa-basi? pikirku sambil membuka pintu yang langsung disambut kembali oleh hingar bingar musik klub malam.
***
Hari Senin akhirnya tiba dengan sangat lambat. Aku tenggelam dalam rasa maluku sepanjang hari Minggu, tidak peduli apa yang sedang kulakukan ingatan malam sebelumnya kembali terngiang-ngiang dalam kepalaku.
Paling tidak hari ini aku bisa mengalihkan energi dan pikiranku ke pekerjaanku.
Kuletakkan tas kecilku ke atas meja sebelum menyalakan komputerku. Kantor The Daily Wire tempatku bekerja tidak terlalu besar karena kami adalah koran independen, jadi tiap reporter hanya mendapat space kubik dua meter per orang.
Suara ketukan dari kubik sebelah membuatku mendongak, Zoey, rekan kerja yang paling dekat denganku menyandarkan lengannya di atas sekat kubik.
"Hey, Zoey!" sapaku sambil mengaduk tasku untuk mengambil handphoneku.
"Ludy, sepertinya ini untukmu..."
Kalimatnya membuatku kembali menatapnya, "Apa?" tanyaku sambil berdiri lalu menghampiri kubiknya. Zoey menunjuk ke arah buket vas bunga berwarna putih yang sangat besar hingga hampir menutupi seluruh mejanya. Kukerutkan keningku lalu memandangnya dengan bingung. "Apa kau mau pamer padaku?" tambahku dengan tawa kecil lalu mendekati rangkaian buket bunga besar itu.
Zoey memang baru saja menikah dua bulan yang lalu.
"Bukan... itu bukan dari suamiku. Kurasa kurirnya salah menaruhnya di mejaku." balas Zoey dari belakangku, "Apa kau baru saja punya pacar baru? Ya ampun pasti dia kaya, buket bunga seperti itu tidak murah." celetuknya.
Aku kembali tertawa lalu menyentuh kelopak putih salah satu bunga. "Apa aku terlihat seperti seseorang yang mempunyai pacar?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri. Hari ini aku hanya mengenakan celana jeans dan kemeja flannel, sedangkan rambut hitam pendekku terikat dengan asal-asalan.
Zoey menatapku dari atas hingga bawah lalu mengangguk kecil, "Yah... kupikir pacarmu lah yang mengirim buket bunga Daisy sebesar ini."
Tanganku yang sejak tadi mengelus-elus kelopak bunga membeku seketika. "Bunga... apa?"
"Bukannya ini bunga Daisy?" tanya Zoey sambil ikut memegang kelopak kecil berwarna putih, "Kualitasnya juga sangat bagus."
Perutku terasa sedikit mual. Lalu dengan perasaan ngeri aku menatap ke arah vas bunga di sebelahku, mencari kartu pengirimnya. Sebuah amplop kecil berwarna putih terselip di antara bunga-bunga itu dan aku mengambilnya. Di dalamnya hanya ada secarik kertas dan sebaris kalimat.
'Aku menunggu jadwal kita selanjutnya.' —S.
Kedua lututku terasa lemas. Kusandarkan punggungku di kubik kantor Zoey sementara aku berusaha menarik nafasku dalam-dalam.
"Apa bunganya untukmu?" tanya Zoey penasara.
"Iya." balasku lemah sebelum berjalan keluar dari kubiknya.
"Ludy! Bagaimana dengan bunganya?!"
"Buang saja!" seruku sambil berjalan kembali ke kubikku lalu duduk di kursiku dengan perasaan mual.
"Buang? Tapi bunga ini masih sangat bagus!" protes Zoey dari kubiknya. Aku tidak menjawabnya, saat ini bunga itu mengingatkanku pada kejadian malam itu di Magnus.
Sebastian Moran sudah mengetahui siapa diriku, pikirku sambil bergidik ngeri. Yang menjadi pertanyaan penting saat ini adalah, apa Ia sudah tahu identitasku sebelum memergokiku atau Ia baru mencari tahu setelah aku pergi dari klub malamnya? Bagaimana jika Ia menemukan alat perekam ilegal yang kutaruh di mejanya?
Berbagai skenario terlintas di kepalaku dan semuanya kelihatan buruk. Sepertinya aku akan masuk penjara, pikirku dengan putus asa sambil membenturkan kepalaku di meja beberapa kali. Walaupun Sebastian tidak menyadari alat perekam itu pun, Ia pasti masih akan melaporkan penyamaranku pada atasanku, dan sudah pasti aku akan dipecat setelah itu.
"Ludy..." suara Zoey membuatku mendongak dari kegiatan membenturkan kepalaku di meja barusan. Ia memandangku dengan pandangan aneh. "Mr. Rochester memanggilmu. Apa lagi yang kau lakukan kali ini?"
"Oh, sial aku akan dipecat..." erangku lalu membenturkan kepalaku lagi di atas meja.
"Ada apa? Apa yang kau lakukan?"
***
Mr. Rochester adalah editor-in-chief sekaligus orang yang paling berkuasa di The Daily Wire. Aku hanya bertemu dengannya saat membuat masalah. Jika kantor ini diumpamakan dengan sekolah, maka Mr. Rochester adalah kepala sekolahnya.
Kuketuk pintu kantornya beberapa kali sebelum suaranya menyuruhku masuk.
Mr. Rochester adalah pria berumur 60 tahunan, dulunya Ia juga seorang jurnalis yang sangat terkenal karena berhasil membongkar kasus pengedaran narkoba yang dikendalikan oleh kepolisian. Ia mendongak dengan wajah masamnya saat melihatku masuk lalu menyuruhku duduk.
Kupejamkan mataku sebelum Ia berbicara, mendengar kalimat aku dipecat akan lebih menyakitkan jika harus sambil melihat wajah masamnya.
"Miss Benson, aku ingin kau meliput kegiatan amal malam ini." perintahnya dengan suara beratnya yang disebabkan karena merokok berpuluh-puluh tahun.
Kubuka mataku dengan terkejut, "Maaf, apa?"
Ia berdeham lalu memandangku dengan agak kesal, "Malam ini ada kegiatan amal untuk anak-anak penderita kanker di hotel Langham. Aku ingin kau meliputnya untuk diterbitkan besok." ulangnya dengan nada yang memintaku segera keluar dari kantornya.
Aku tidak dipecat?
"Apa kau tidak mendengar ucapanku barusan?" tanyanya.
"Kegiatan amal. Hotel Langham." ulangku dengan cepat sambil berdiri lalu pamit keluar dari kantornya.
Aneh sekali... aku tidak dipecat? Apa Sebastian belum mengadukanku ke Mr. Rochester? Dan kenapa Mr. Rochester sendiri yang menyuruhku meliput kegiatan amal? Ini adalah kali pertama Ia menugaskan sesuatu padaku. Tidak biasanya editor-in-chief langsung yang menugaskan liputan remeh seperti ini.
Tapi aku tidak punya banyak pilihan, masih jauh lebih baik meliput kegiatan amal di Hotel Langham daripada dipecat.