"Masih belum selesai juga memandangku?"
Pertanyaannya membuatku tersentak dan mengalihkan tatapan cabulku dari tubuhnya ke wajah murkanya. Beberapa foto Sebastian Moran yang kulihat di internet tidak terlalu jelas dan kebanyakan hanya menampilkan sisi wajahnya. Ia mengangkat salah satu tangannya lalu menyisir rambut hitamnya yang sedikit basah karena keringat.
Walaupun agak tertutup bakal janggut di rahangnya, sebuah bekas luka goresan mengukir pipinya hingga meninggalkan kesan sedikit galak pada wajahnya... atau itu memang ekspresi wajahnya saat ini karena baru saja melihatku keluar dari kantornya?
"Aku... Aku hanya..." entah kenapa aku tidak bisa memikirkan alasan untuk menjawab pertanyaannya, kepalaku terasa kosong.
Sebastian Moran menatapku dengan kedua mata abu-abunya yang semakin lama terlihat semakin gelap, "Siapa kau? Apa urusanmu masuk ke sini?"
"Ah... Aku—Namaku Daisy." Dalam keadaan genting seperti ini, aku tidak bisa memikirkan nama palsu lain.
Sebastian Moran, masih dengan ekspresi murka di wajahnya dan tubuh hampir telanjangnya, berjalan ke arahku. Gestur tubuhnya seperti serigala yang sedang menguntit mangsanya secara perlahan. Aku tidak memiliki pilihan lain selain melangkah menjauh setiap Ia berada semakin dekat, hingga punggungku membentur dinding di belakangku. Sebastian tidak berhenti, Ia mendempetku hingga tubuh mengintimidasinya hanya berjarak beberapa senti dariku. Jantungku berdentum sangat keras di dalam dadaku saat kedua mata abu-abunya mengamatiku tanpa berkedip.
"Aku akan mengulangi pertanyaanku sekali lagi." Bisiknya dengan nada ancaman, "Apa yang kau lakukan disini? Siapa yang mengirimmu?"
Pada akhirnya akal sehatku kembali lagi diikuti oleh rasa takut yang mulai menjalariku. Jika Ia tahu aku adalah reporter yang sedang menginvestigasinya... tidak, jika Ia tahu aku menyelundupkan alat perekam di kantornya maka bukan hanya karirku yang akan hancur. Hidupku juga akan tamat, aku bisa masuk penjara.
"Aku... Aku dikirim oleh Mr. Shaw."
Argh! Dasar bodoh! umpatku pada diriku sendiri. Untuk apa aku mengucapkan nama itu?! Seharusnya aku bilang aku salah masuk toilet...
Sebastian menarik wajahnya menjauh dariku beberapa senti, "Nicholas Shaw?" tanyanya dengan ekspresi heran, "Untuk apa?"
Oh, sial.
"Untuk...mu?" balasku dengan suara mencicit, bahkan di telingaku sendiri pun aku tidak terdengar meyakinkan. Kurasa aku baru saja mengacaukan hidupku. Selamat tinggal, karirku... Selamat tinggal, hidup bermartabat... Halo, penjara.
Kupikir Sebastian Moran akan menyeretku keluar lalu menyerahkanku ke salah satu sekuriti berbadan besar di luar sana. Tapi hingga beberapa menit lamanya Ia hanya terdiam sambil memandangku lekat-lekat dari ujung kepala hingga kakiku lalu kembali ke wajahku.
"Kau seorang escort?"
Di tempat ini escort adalah kata lain dari PSK kelas premium. Aku mengangguk perlahan padanya, hampir tidak percaya penyamaran payahku berhasil mengelabuinya.
"Jadi kau escort yang dikirim Nicholas Shaw untukku? Lalu mengapa kau keluar dari ruangan kantor pribadiku?"
"Kupikir itu kamar tidurmu. Mr. Shaw bermaksud menjadikanku kejutan untukmu, Ia menyuruhku langsung menuju ka—kamarmu." jawabku dengan sedikit terbata.
Sebastian mundur satu langkah dariku, ekspresi murka memudar dari wajahnya berganti dengan ekspresi yang tidak terbaca. "Shaw... membelimu untukku." ulangnya lagi dengan suara rendah yang mematikan.
Kutelan ludahku lalu mengangguk lemah. Apa Ia tidak bisa mengenakan baju lebih dulu baru berbicara padaku lagi?
Ia membalikkan badannya lalu duduk di salah satu sofa hitam di ruangan ini. "Kemari." perintahnya dengan pandangan intens yang membuatku semakin gugup.
"U—Untuk apa?"
Sebastian mengangkat salah satu alis tebalnya ke atas, "Apa kau sedang bercanda? Bukannya kau dikirim untuk memuaskanku?"
Kugigit bibirku dengan perasaan putus asa. Aku dan mulut besarku... seharusnya aku mengatakan salah masuk toilet. Dengan langkah berat aku mendekatinya.
"Duduk." perintahnya lagi dengan sedikit ketus.
Aku hampir saja duduk di sofa terdekat darinya tapi Ia menyelaku lagi, "Di pangkuanku."
Kami saling berpandangan selama beberapa saat. Ia menatapku dengan tatapan yang menantangku untuk menyerah dan mengakui kebohonganku. Ah... sepertinya kedokku sudah terbongkar, dan Ia ingin membuatku mengaku dengan mempermalukanku. Dengan harga diri yang agak terluka aku duduk menghadapnya di pangkuannya. Sebersit ekspresi terkejut terlihat di wajahnya sebelum kembali disembunyikannya.
"Lebih dekat." gumamnya dengan suara yang serak. Gaun mini merahku semakin terangkat hingga memperlihatkan hampir seluruh pahaku. Kedua tangan Sebastian tidak menyentuhku sama sekali, tapi kedua matanya mengikuti gerakan ujung gaunku yang makin tersingkap tanpa berkedip.
Rasa gugup, takut, dan malu bercampur di dalam diriku tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Kuseret bokongku di atas pahanya hingga kami semakin mendekat. Aku bisa mencium aroma sabun dan keringat darinya, apa yang Ia lakukan sebelum memergokiku tadi?
Sebastian menarik nafasnya dengan tajam tapi Ia masih belum melakukan apapun padaku. Rahangnya terkatup rapat, sesekali berkedut seperti sedang menahan sesuatu.
Walaupun aku belum memiliki pengalaman sama sekali tapi aku wanita dewasa yang sehat dan waras, dan aku lulus pelajaran biologiku saat sekolah dengan nilai yang baik... jadi aku tahu apa yang terjadi pada anatomi pria saat mereka terangsang. Sebastian tidak menunjukkannya di wajah tanpa ekspresinya saat ini, tapi Sebastian Jr. di bawah sana tidak semahir itu. Yang memisahkan kami saat ini hanya boxernya dan pantiesku.
Wow... ternyata terasa jauh lebih keras dari yang aku pikirkan, pikirku samar di tengah rasa panik yang mengacaukan kepalaku.
Apa aku harus bergerak atau...?
Tiba-tiba Sebastian mengambil gelas cola yang sejak tadi masih kugenggam, aku bahkan tidak menyadari aku masih menggenggamnya, lalu Ia meneguk habis cola super mahalku dalam sekali tegukan sebelum meletakkan gelas itu di sebelahnya.
"Mulai lakukan pekerjaanmu." geramnya.
Mu... Mulai bagaimana? "Apa kau ingin akuw— ouch!" Karena rasa gugupku lidahku tidak sengaja tergigit. Aku bisa merasakan rasa metal di mulutku, kumasukkan jari telunjukku ke dalam mulut lalu mengecek lidahku dan benar saja saat melihat jariku darah sudah melumuri ujungnya.
Suara tarikan nafas Sebastian membuatku mendongak memandangnya. Ia menatap jariku dengan kedua mata abu-abunya yang menjadi jauh lebih gelap dari sebelumnya, rasanya hampir mustahil warnanya bisa berubah seperti itu. Mulutnya terkatup rapat seperti saat Ia marah tadi.
"Ah, lidahku tergigit." jelasku sebelum mengusapkan jariku ke gaunku. Kutelan air liurku yang berasa seperti metal, kedua mata gelapnya mengikuti gerakan menelan tenggorokanku sebelum kembali menatap bibirku dengan ekspresi menahan sakit. "Apa kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan kening berkerut, "Matamu terlihat—"
Salah satu tangannya tiba-tiba menarik rahangku mendekatinya lalu Sebastian menciumku dengan keras dan dalam tanpa membiarkanku mempersiapkan diri. Ia menggigit bibir bawahku lalu lidahnya menyelip diantara bibirku, walaupun sedikit perasaan cemas terlintas di kepalaku karena lidahku akan terasa seperti darah baginya tapi sepertinya Ia tidak keberatan sama sekali. Tangan Sebastian yang satu lagi meraba sisi tubuhku lalu berhenti di pinggangku dan meremasnya sementara lidahnya terus berusaha menyusuri lidahku terutama di tempat yang tergigit tadi. Seluruh indra yang kumiliki seperti terbangun bersamaan, begitu juga setiap inci kulit yang Ia sentuh dengan tangannya.
Tanganku bergerak menyusuri lekuk otot perutnya lalu ke dada bidangnya, Sebastian terlonjak kecil saat kelingkingku tidak sengaja menyentuh putingnya. Nafasnya yang panas dan sedikit terengah membuat perutku terasa bergelenyar. Kedua tangannya kini meremas pinggangku lalu tiba-tiba Ia mendorong pinggulnya ke arahku, aliran listrik yang menjalari tubuhku membuatku terkejut sendiri. Dengan nafas memburu kubalas ciumannya seperti seseorang yang sedang putus asa. Ia kembali mendorong pinggulnya sambil menarik pinggangku ke arahnya hingga ereksinya menggesek kemaluanku berkali-kali. Aku tidak tahu sejak kapan, tapi saat menyadarinya pantiesku sudah terasa basah.
"Ahh..." desahku sebelum menarik wajahku darinya untuk menarik nafas. Sebastian menyusuri bibirnya di rahangku lalu turun dan berhenti tepat di nadi leherku yang berdenyut cepat dengan nafasnya yang terengah. Ujung lidahnya menjilat denyutan nadiku lalu menciumnya sementara pinggulnya kembali mendorongku ke atas hingga seluruh tubuhku dijalari oleh sensasi yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Kepalaku terasa kosong. Hanya ada desahan nafasku dan nafasnya yang saling bersahutan. Api membakar setiap jengkal tubuhku yang tersentuh kulitnya. Ketika Ia berhenti bergerak, kuikuti gerakan menggeseknya sebelumnya dengan kedua pahaku yang mengapitnya hingga suara lenguhan tertahan keluar dari tenggorokannya. Aku tidak berhenti walaupun tangannya kembali meremas pinggangku untuk menahanku. Tubuhku sedang mengejar sesuatu yang asing, sesuatu yang belum pernah kurasakan. Kedua mata abu-abunya yang gelap menatapku dengan intens, rahangnya mengatup dengan keras hingga otot di lehernya terlihat jelas, Ia seperti seseorang yang sedang bersusah payah menahan dirinya. Kupejamkan kedua mataku untuk berkonsentrasi. Semakin tangannya berusaha menahanku, semakin keras juga kugesekkan kemaluanku di ereksinya yang keras. Hingga tiba-tiba...
"Ah!" desahku setengah memekik karena rasa terkejut. Bibirku terbuka untuk menarik nafas yang sebelumnya tertahan. Seluruh tubuhku seperti dihantam ombak kenikmatan yang membuat ujung jari kakiku melengkung.
Untuk pertama kalinya dalam dua puluh lima tahun aku, Ludmila Benson, merasakan orgasme.
Saat aku membuka mataku lagi dengan nafas terengah, Sebastian menatapku dengan kedua mata gelapnya yang berkilat. Ereksinya masih terasa keras di bawahku.
"Kau..." suaranya terdengar berat dan serak saat berbicara, "Kau berbahaya." bisiknya di leherku sebelum menggigit bagian nadi di leherku dengan lembut.
Oh, tidak. Ya Tuhan.
Aku baru saja orgasme di depan orang asing... dan aku menggunakan tubuhnya sebagai alat masturbasiku.