Suara dentuman bass musik dari dalam klub malam Magnus terdengar hingga ke jalanan di sekitarnya. Kutarik ujung dress mini merahku ke bawah berusaha untuk menutupi kakiku yang terekspos dinginnya cuaca malam ini. Aku tidak mengerti bagaimana wanita-wanita di depanku bisa mengenakan pakaian minim dalam cuaca sedingin ini.
Yah... walaupun aku sendiri juga sedang melakukan hal yang sama saat ini.
Aku sudah mencoba datang mengenakan pakaian 'normal' ku sebelumnya, tapi staff keamanan yang menjaga pintu masuk tidak mengijinkanku masuk. Rupanya hanya orang-orang yang terlihat ingin clubbing lah yang diijinkan masuk, dan berpakaian minim adalah salah satu ciri khasnya. Hal itu tidak terlalu mengherankan karena Magnus adalah salah satu klub malam paling eksklusif di San Fransisco. Membership premiumnya tidak bisa didapat hanya dengan membayar iuran tahunannya yang kelewat mahal, hanya orang-orang terpilih yang sudah diseleksi oleh manajemen lah yang bisa mendapatkannya. Salah satu keuntungan anggota membership adalah memiliki akses bebas keluar masuk ke dalam klub malam ini, sedangkan pengunjung jelata sepertiku harus mengantri berjam-jam sebelum bisa menginjakkan kaki di dalamnya.
Kuhela nafasku sambil menatap antrian dua puluh orang pengunjung jelata lainnya di depanku. Saat hembusan dinginnya angin malam kembali membuatku hampir menggigil, aku berpikir untuk menyerah saja dan pulang... kembali ke apartemenku yang hangat lalu tidur diantara selimut tebal.
"Apa karirku sebanding dengan ini?" gumamku sambil menatap malas ke arah dua pria bertubuh besar yang menjaga pintu masuk klub malam. Setiap dua puluh menit sekali hanya dua orang yang diijinkan masuk ke dalam, karena ini weekend tempat ini pasti dipenuhi lautan manusia. Pekerjaanku sebagai reporter investigasi lah yang membuatku mengenakan dress mini dan high heels lalu mengantri di pinggir jalan pukul sembilan malam. Malam ini aku datang untuk menemui Sebastian Moran... pemilik klub malam ini.
Tanpa janji tentunya. Karena tidak ada pengusaha waras yang bersedia menemui reporter sepertiku untuk diungkap kebusukannya. Sebastian Moran adalah sosok kunci di balik skandal finansial calon Walikota San Fransisco, Bill Kovach.
Kovach memiliki riwayat korupsi dan penggelapan di Bank Barclays yang dulu dipimpinnya. Aku adalah salah satu reporter yang meliput dan menulis tentang skandal itu. Butuh waktu yang sangat lama serta energi yang cukup besar sebelum aku bisa mengungkapkannya ke publik, tapi saat aku hampir berhasil editorku di koran The Daily Wire mengatakan aku tidak bisa mempublikasikan hasil investigasiku lagi. Alasannya sangat simpel, para petinggi The Daily Wire tidak mengijinkannya. Sepertinya seseorang sudah bersusah payah membungkam koran tempatku bernaung.
Hanya ada satu nama yang muncul saat aku menggali informasi tentang siapa yang berhasil membungkam koran independen seperti The Daily Wire.
Sebastian Moran.
Tidak ada banyak informasi atau foto tentangnya di internet. Yang kutaku sejauh ini hanya Sebastian Moran adalah CFO Bank Barclays saat ini, menggantikan Bill Kovach pendahulunya. Klub malam Magnus miliknya hanyalah pekerjaan sampingan sekaligus hobinya.
Apa aku sudah berusaha menemuinya di Bank Barclays tempatnya bekerja? Tentu saja. Apa aku berhasil? Tentu saja tidak. Jika aku berhasil aku tidak akan menggigil di tempat ini sekarang.
Empat puluh lima menit kemudian aku baru bisa menginjakkan kakiku di Magnus. Itupun karena segerombol orang di depanku memutuskan untuk pulang. Hingar bingar musik dan lalu lalang manusia menyambutku saat aku masuk ke dalam. Lampu temaram yang terlihat hangat menyinari interior futuristik klub malam ini. Aku tidak terlalu memperhatikan interiornya lebih detail karena tujuanku adalah lantai tiga gedung ini yang menjadi wilayah VIP Magnus sekaligus lokasi kantor Sebastian Moran.
Setelah beberapa saat mencari celah, kuputuskan untuk naik ke lantai dua dan mengintai dari sisi bar yang lebih sepi. Tidak seperti lantai satu yang dipenuhi orang karena disanalah letak lantai dansa utamanya, di lantai dua fokus pada private lounge untuk orang-orang yang lebih menyukai suasana klub malam yang tidak terlalu berisik. Aku memesan segelas mojito tanpa alkohol pada bartender sambil mengamati akses tangga menuju lantai tiga yang dijaga oleh seorang sekuriti. Setiap ada member VIP yang mau masuk harus menunjuk kartu keanggotaan yang dapat di scan di mesin pada sisi dinding, lalu pintu kaca menuju lantai tiga baru akan terbuka. Sepertinya keamanan klub malam Magnus sangat ketat sesuai dengan reputasinya.
Bagaimana caraku agar bisa masuk ke kantor Sebastian Moran?
Tiba-tiba pandangan sebagian orang yang berada di private lounge beralih pada dua sosok yang sedang berjalan menuju pintu kaca. Wajah pria yang di depan terlihat familiar di kepalaku, dimana aku pernah melihatnya? Pikirku dengan keras. Sepasang mata birunya yang dingin hanya melihatku sekilas saat melewatiku, rambutnya yang dipotong pendek dan rapi entah berwarna coklat gelap atau hitam di tengah lampu temaram klub malam ini. Tubuhnya yang tinggi dan tegap serta wajah tampannya tentu saja terlihat menonjol dan menjadi perhatian pengunjung klub malam.
"Shaw... Nicholas Shaw!" bisikku pada diriku sendiri saat menyadari siapa pria itu. Ia adalah pengacara kelas kakap yang menangani kasus besar di media akhir-akhir ini... dan selalu memenangkannya. Setahuku Law Firmnya hanya memiliki kantor di Manhattan. Tiba-tiba Nicholas Shaw menelengkan kepalanya lalu menatapku sekali lagi, seakan Ia mendengarku memanggil namanya walaupun jarak kita cukup jauh. Kualihkan pandangan mengamatiku darinya dengan sedikit panik lalu menunggunya hingga Ia naik ke lantai tiga bersama koleganya.
Melihat pengacara sekelas Nicholas Shaw di Magnus membuatku semakin bersemangat. Aku yakin Ia datang ke tempat ini bukan untuk menikmati suasananya. Sebastian Moran dan Nicholas Shaw pasti sedang bertemu untuk membahas bisnis atau kerja sama mereka, dan instingku mengatakan pertemuan ini masih ada hubungannya dengan Bill Kovach.
Sial, aku harus naik ke lantai tiga bagaimanapun caranya agar bisa menguping pembicaraan mereka. Kugigit bibirku sambil menatap satu-satunya penghalangku saat ini, sekuriti berbadan besar yang menjaga akses ke lantai tiga.
Kuputuskan pergi ke toilet untuk menyusun rencana dengan lebih leluasa. Toilet wanita di lantai dua terlihat sangat bersih dan rapi dan hampir tidak ada antriannya. Hanya ada dua wanita muda lain yang sedang membenahi make up mereka di cermin. Aku mengambil tempat di sebelah mereka lalu membuka pouch make upku untuk memoles kembali lipstik yang sudah memudar di bibirku.
"Eden memberikan kartu membershipnya padaku. Apa kau ingin mencoba naik ke atas?" ucapan wanita di sebelahku membuat tanganku yang sednag memegang lipstik membeku.
"Bukannya di lantai itu tidak ada yang menarik?" balas wanita satunya dengan malas. "Lagipula lantai VIP lebih sepi dari lantai lainnya, aku tidak bisa menggoda siapa-siapa di tempat itu."
"Kau tidak melihat pria tampan yang baru saja naik ke sana?"
"Permisi..." selaku dengan senyum semanis mungkin. "Maaf, aku tidak bermaksud menguping, tapi katamu kau punya kartu membership?"
Wanita di sebelahku mengerutkan keningnya dengan sedikit sinis, "Lalu?"
***
Langkahku terasa sepuluh kali lebih ringan saat kartu membership Magnus sudah berada di tanganku. Walaupun aku hanya punya waktu setengah jam sebelum kartu ini harus dikembalikan ke pemiliknya.
Menjadi reporter membuatku memiliki koneksi ke berbagai pihak, pekerjaan sampingku sebagai kontributor di majalah Glamour juga berguna pada akhirnya. Pemilik kartu ini rupanya seorang selebgram yang sedang bersusah payah membangun imagenya sebagai model di instagram. Karena kelihatannya kami berdua sama-sama putus asa, Ia bersedia meminjamkan kartu membership Magnus selama setengah jam jika aku menukarnya dengan liputan khusus seperempat halaman tentang karir 'model instagramnya' di majalah Glamour.
Sebenarnya topik kontribusiku di majalah tersebut tidak berkaitan dengan model instagram atau semacamnya. Tapi yah... seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sedang putus asa.
Perjalananku menuju lantai VIP terasa sangat mulus. Walaupun sekuriti berbadan besar barusan mengamatiku dengan sangat seksama tapi selama aku memiliki kartu sakti ini di tanganku Ia tidak bisa menanyaiku macam-macam.
Desain interior di lantai VIP terlihat lebih mewah dan private dibanding dua lantai di bawahnya. Masing-masing lounge dipisah dengan kubik agak lebih menjaga privasi. Tapi hal terbaik di lantai ini bagiku adalah tidak ada sekuriti yang berlalu lalang di sini, aku bisa mengamati pintu menuju kantor Sebastian Moran dengan lebih leluasa.
Di luar dugaanku malam ini hanya ada sedikit pengunjung VIP, tempat ini terasa jauh lebih sepi dibanding lantai lain. Aku hampir memesan segelas white wine di bar tapi saat melihat daftar harga menunya aku hampir tersedak air liurku sendiri. Akhirnya aku hanya memesan segelas cola dingin yang ternyata dihargai tiga kali lipat dibanding bar di lantai dua. Sambil menyesap segelas cola di tanganku aku melangkah sambil memandang keadaan di sekitar lantai VIP, tidak ada wajah tampan Nicholas Shaw di antara pengunjung VIP malam ini.
Ia pasti berada di kantor Sebastian Moran.
Di sebelah pintu toilet pria ada pintu lain berwarna hitam yang memiliki plang 'Dilarang Masuk', aku berani bertaruh disanalah lokasi kantornya. Bagus... jika seseorang memergokiku aku tinggal memakai alasan salah masuk toilet. Dengan langkah perlahan tapi meyakinkan aku menyelinap ke balik pintu 'Dilarang Masuk', suara hingar bingar musik klub malam langsung teredam saat aku menutup pintu di belakangku. Lampu temaram menerangi lorong panjang bercat merah gelap, diujungnya hanya ada sebuah pintu lain yang berwarna senada.
Jantungku mulai berdebar gugup saat aku berjalan ke arah pintu itu. Entah kenapa instingku menyuruhku untuk berbalik dan keluar dari lorong ini. Tanganku memegang erat gelas cola yang masih terasa dingin. Rencanaku malam ini hanya menyelinap ke kantor Sebastian Moran dan meninggalkan alat perekam suara berbentuk bolpoin di mejanya. Risikonya kecil... jika aku berhasil melakukannya hingga akhir. Kutarik nafasku dalam-dalam sebelum tangan kananku terulur membuka kenop dingin pintu di ujung ruangan lalu menariknya terbuka.
Rasa lega menyelubungiku saat melihat ruangan di depanku kosong, tapi tempat ini bukan ruang kerja Sebastian Moran karena hanya ada set sofa berwarna hitam dan interior pelengkapnya. Di sekeliling ruangan masih ada tiga pintu lain yang harus kupilih, kugigit bibirku dengan sedikit panik.
"Yang mana ruang kerja sialan itu?" gumamku dengan kening berkerut sambil mengamati ketiga pintu itu bergantian. Kuputuskan untuk memilih pintu yang berada di tengah dan... bingo! ruang kerja luas milik Sebastian Moran memang berada di balik pintu tersebut. Tanpa melihat ruang kerjanya lebih detail kuselipkan bolpoin perekam di tempat alat tulis yang berada di atas meja kerjanya. Karena aku tidak ingin menantang keberuntunganku lagi dengan bergegas aku berjalan membuka pintu untuk keluar.
Tapi sepertinya dewi keberuntungan baru saja mencampakkanku. Baru satu langkah aku keluar dari ruang kerja itu, sudut mataku menangkap sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Refleks, kepalaku menoleh dengan cepat ke arah pintu yang berada tidak jauh dari ruang kerja barusan. Seorang pria bersandar di depan pintu itu... dan bagian terburuknya pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sebastian Moran sendiri.
"Apa... yang kau lakukan di tempat ini?" suaranya yang dalam dan bergetar karena amarah membuat bulu halus di tengkukku meremang.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Lidahku terasa kelu karena Sebastian Moran berdiri beberapa langkah dariku dengan tubuh tinggi dan besarnya yang hampir telanjang... dan berkeringat, Ia hanya mengenakan boxer hitam yang dipakai sangat rendah di pinggangnya. Gelas cola di tanganku hampir saja meluncur ke lantai saat mataku kehilangan arah menjelajahi tubuh atletisnya yang cukup berotot dan dihiasi bulu tipis berwarna hitam di beberapa bagian. Sebuah bekas luka memanjang terlihat jelas di perut sixpacknya.
Ludy, jangan lihat ke bawah! Jangan lihat ke bawah! Teriakku di dalam kepalaku sendiri.
Ah, aku melihatnya...
Ya Tuhan, apa aku harus mengaku dosa di gereja besok? Pikirku dengan samar sambil terus menatap tubuhnya yang sangat mengesankan dari ujung kaki ke ujung kepalanya, ini adalah pertama kalinya aku menatap pria setengah telanjang langsung dengan kedua mataku sendiri.
"Masih belum selesai juga memandangku?"