Setelah selesai bersiap, aku turun ke ruang makan untuk sarapan bersama Devan. Kulihat dia sudah duduk disana sambil membaca koran pagi. Aneh, mana kopi kesukaannya?
"Slamat pagi, Arumi. Kau terlihat cantik pagi ini. Hm.. Tolong buatkan Aku kopi. Aku haus," kata Devan memintaku untuk membuatkan kopi untuknya. Segera aku menuju dapur dan membuatkan kopi kesukaannya. Setelah selesai kopi kubawa menuju meja makan, "Silahkan Tuan. Kopinya sudah siap."
Kopi itu lalu di sesapnya sambil memejamkan mata.
"Ah, segar sekali. Terima kasih, Arumi. Duduklah disini. Kau harus makan di sampingku," pinta Devan sambil membukakan kursi untukku.
"Terima kasih, Tuan," kataku sambil duduk dan meminum teh hangat yang sudah disediakan maid untukku.
Tak berapa lama kami pun selesai sarapan dan bersama-sama kami menuju ke kantor. Walau pada awalnya aku menolak untuk pergi dengannya dengan alasan takut ketahuan para pegawai di kantor, tapi akhirnya aku berangkat juga dengan bos. Selama perjalanan, kami saling diam. Tak tahu harus memulai percakapan kami darimana.
"Devan, jangan hanya diam saja. Mate kita menunggumu untuk mengajaknya berbicara," mindlingku mengingatkanku.
"Mm, bagaimana perasaanmu pagi ini, Arumi. Kulihat Kau begitu tegang sepanjang perjalanan ini. Kau takut padaku?" tanya Devan sambil memperhatikan wajah gadis cantik di sampingnya.
"Ti-tidak apa-apa, Tuan. Saya hanya tidak terbiasa naik mobil," jawabku berbohong.
"Mark, tolong jalan pelan-pelan saja. Mateku ketakutan," kata Devan pada Mark. Mark hanya mengangguk dan mulai mengurangi kecepatan mobil.
"Bagaimana? Kau masih takut, mate?" tanyanya lagi.
"Ti-tidak Tuan," jawabku berbohong lagi. Devan menatapku tajam.
"Kau takut bila di gosipkan di kantor karena berangkat bersamaku?" tanya Devan sambil memegang tanganku yang dingin.
"Mengapa tanganmu sangat dingin? Kau sakit?" tanya Devan dengan raut wajah cemas.
"Aku tidak apa-apa, Tuan. Hanya..."
"Sudahlah, jangan terlalu di pikirkan Kau santai saja. Nanti bila sudah tiba saatnya, Aku akan mengumumkan ke seluruh dunia bila Kau adalah mateku," bisik Devan di telingaku.
Akhirnya kami tiba di kantor. Seperti dugaanku, saat kami keluar bersama dari mobil, banyak pegawai yang mulai berbisik-bisik. Pandangan mata mereka yang menusuk padaku saat aku berjalan melintasi mereka. Devan menatapku teduh, seakan-akan mengingatkanku agar tidak usah menanggapi hal ini. Kami terus berjalan tak menghiraukan mereka dan dengan cepat naik lift ke lantai dimana ruangan Devan dan ruanganku berada.
Pintu lift segera terbuka, kami berjalan menuju ruangan masing-masing. Aku bisa bernafas lega sekarang. Disini hanya ada aku dan Devan, serta para pengawal di depan pintu lift juga di ujung lorong ini. Tidak ada yang akan mengganggu disini.
Tiba-tiba, telfon berbunyi yang menandakan dari ruangan Devan.
"Ya, Tuan. Ada apa?" tanyaku.
"Arumi, masuklah ke ruanganku, sekarang," kata Devan dingin.
" Baik Tuan," jawabku. Kemudian aku menuju ke tempat dimana Devan berada. Setelah mengetuk pintu, aku pun masuk. Kulihat Devan sedang duduk di sofa tamu.
"Dimana kopiku, Arumi? Juga jadwalku hari ini apa saja?," tanya Devan.
"Oh ya ampun. Maaf Tuan, Saya lupa belum membuat kopi. Sebentar Saya ambilkan," jawabku sambil setengah berlari menuju dapur kecil di sudut luar ruangan ini. Setelah selesai, akuemnawanya dan ku berikan pada Devan.
"Ini Tuan, kopi Anda. Maaf atas keteledoran Saya," kataku sambil membungkukkan badan.
"Untuk jadwal hari ini, jam 11.00 ada meeting dengan klien dari PT Nirwana di hotel Horison. Kemudian jam 19.00 Tuan harus menghadiri acara pembukaan Mall Interprise. Dalam undangannya tertulis "bersama pasangan," kataku menjelaskan jadwal Devan hari ini.
"Ok, siapkan berkas PT Nirwana. Satu jam lagi sudah ada di meja Saya," pintanya sambil meminum kopi.
"Baik, Tuan," jawabku lalu melangkah menuju ruanganku untuk membereskan berkas yang di mintanya.
Waktu tak terasa berlalu, berkas sudah selesai di siapkan. Kemudian aku serahkan pada Devan untuk di cek kembali.
"Baik, nanti Kau ikut. Kau buat catatan selama pertemuan ini. Jangan sampai terlewat satupun. Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi," pintanya lagi.
"Baik Tuan. Setengah jam sebelum berangkat, nanti Saya ingatkan Tuan," kataku sambil meminta diri untuk menyiapkan berkas-berkas lain yang harus di bawa.
"Arumi, tolong panggilkan Mark agar dia menemui ku sekarang," kata Devan sebelum aku keluar.
"Baik Tuan," kataku dan kemudian menelfon Mark untuk menemui Devan sekarang.
Tak berapa lama Mark datang.
"Apakah Tuan ada di dalam, Nyonya?" tanyanya padaku.
"Ya, Kau masuk saja. Tuan sudah menunggu," kataku mempersilahkan Mark untuk masuk.
Tok
Tok
"Masuk,"
"Selamat pagi, Tuan. Tuan memanggil Saya?" tanya Mark pada Devan.
"Ya Mark. Aku butuh bantuanmu untuk membatalkan kerjasama kita dengan perusahaan Mora Corp. Aku sudah mengetahui apa motif mereka. Untungnya, mateku cepat mengetahui nya. Kalau tidak, maka rugilah perusahaan Kita. Kamu urus mereka. Tunjukkan pada mereka, kalau mereka salah mencoba bermain-main dengan Kita," sahut Devan dingin.
Melihat wajah datar dan dingin tuannya, Mark tahu jika tuannya tidak main-main.
"Baik Tuan. Segera Saya kerjakan. Apa ada lagi yang Tuan perlukan?" tanya Mark.
"Tolong hubungi Stefi. Aku ingin rancangan terbarunya untuk di pakai mateku malam nanti. Gaun itu harus sudah ada di kamarku sore ini. Minta John untuk menggantikan tugasmu hari ini mengawalku," perintah Devan sambil membaca berkasnya.
"Baik Tuan. Saya mohon diri," pamit Mark kemudian.
Tepat jam 10.30 aku mengingatkan Devan untuk bertemu klien siang ini. Setelah menyiapkan segala sesuatunya, kami keluar dan menuju mobil yang sudah di siapkan melalui lift khusus ke basemen. Kulihat John sudah siap dan membukakan pintu untuk kami.
"Terima kasih, John," kataku sambil tersenyum saat masuk ke dalam mobil.
"Sama-sama, Nyonya," jawab John.
Setelah di dalam mobil, tiba-tiba Devan menurunkan kaca pembatas agar John tidak bisa melihat kami.
"Tuan kenapa? Kenapa wajah Tuan pucat sekali? Apa Tuan tidak enak badan?" tanyaku memandang Devan cemas. Tapi yang kutanya hanya diam saja. Bahkan tak mau memandangku.
Ada apa lagi ini. Apa dia marah padaku?batinku sambil memandang wajahnya.
"Tuan marah? Apakah ada perilaku Saya yang membuat Tuan jadi marah?" tanyaku.
"Kau adalah mateku. Kau hanya boleh tersenyum, tertawa, bahkan bersedih hanya kepadaku. Bukan pada John, Mark, ataupun pada lelaki lain di luar sana, Mate," jawab Devan ketus. Aku tercengang mendengar jawaban Devan. Apakah dia sedang cemburu pada John karena aku tersenyum padanya tadi? Aku tak habis pikir dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah itu.
Lalu Devan menatapku dan memegang tanganku, "maafkan Aku, Mate. Aku tidak bisa mengendalikan rasa cemburuku," tukasnya kemudian. Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
"Ah, hari ini pasti melelahkan," pikirku sambil memandang ke luar jendela.
Waaa.. babang Devan cemburu ni..
Hai readers.. jgn lupa komen dan masukannya ya. Juga vote dan power stonenya yaa
♥️