Aku membawa Arumi ke dalam kamarku. Ku baringkan tubuhnya perlahan lalu ku selimuti. Ku belai rambutnya yang hitam agar tak menutupi wajahnya yang cantik. Harum lavender menyeruak masuk ke dalam tubuh ku. Ah.. menenangkan sekali rasanya. Harum ini sudah menjadi candu bagiku. Aku tak bisa jauh dari nya lagi.
Saat dia kembali ke apartemen nya, nafasku sesak. Jantungku berdetak lebih kencang hingga membuat kepalaku pening. Seakan hidupku sudah tak berarti. Begitukah rasanya jauh dari mate? Sungguh sangat menyiksa.
Mata lentik itu mengerjap perlahan dan membuka. Dia menatapku bingung, seolah tidak tahu apa yang terjadi. Aku tersenyum, dan ku genggam tangannya yang halus.
"Kau sudah sadar, Arumi?" tanyaku padanya.
"Tu-Tuan Devan? Mengapa Saya di sini lagi?" tanyanya sambil melihat sekeliling.
"Kamu pingsan setelah sampai rumah, Arumi. Semua akan baik-baik saja. Sekarang makanlah dulu untuk memulihkan tenagamu. Aku suapi, ya," kataku sambil menyendokkan bubur hangat pada Arumi. Arumi kali ini menurut padaku. Aku menyuapinya hingga bubur itu tak bersisa.
"Terima kasih, Tuan Devan. Maaf selalu merepotkan Anda," kata Arumi sambil menundukkan pandangan mata nya.
"Tidak usah sungkan, Arumi. Aku akan melakukan apapun untukku mateku," jawabku sambil membelai wajahnya.
"Aku akan menyuruh maid menyiapkan air hangat untuk Kau mandi. Setelah itu Kau istirahat, karena besok banyak pekerjaan yang sudah menanti," kataku kemudian sambil keluar kamar.
Arumi POV
"Ah.. mengapa Aku pingsan lagi," jeritku sambil menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Cepat-cepat aku mandi dan berpakaian.
"Ah.. ini kan kamar mandi Devan," aku memukul kepalaku pelan setelah ingat bahwa aku masih berada di kamarnya.
Setelah selesai aku berjalan keluar, tak ku sangka Devan sudah duduk di sudut sofa dengan kaos putih lengan pendek dan celana pendek coklat sambil mengerjakan tugasnya dengan serius. Wajahnya yang tampan semakin terlihat rupawan saat serius seperti itu.
"Sudah selesai, Arumi? Kemarilah, ada yang hendak Aku tunjukkan padamu," kata Devan sambil menepuk sofa disebelahnya yang kosong. Aku berjalan mendekat dan duduk disebelahnya.
"Apa yang ingin Tuan tunjukkan?" kataku setelah duduk di sebelahnya.
"Ini hasil laporan meeting kemarin. Tetapi rasanya ada yang tidak beres. Coba Kau cek lagi. Aku mau mandi dulu," katanya sambil mengelus kepalaku kemudian berjalan ke kamar mandi.
Segera aku meneliti hasil laporan meeting kemarin. Hmm..memang sedikit ganjil. Aku lalu mencari catatan meeting kemarin dan menyamakan nya dengan hasil laporan. Aku tahu, untungnya meeting kemarin belum di setujui Devan. Kalau sudah, betapa ruginya perusahaan.
"Sudah Kau cari apa yang tidak beres dari hasil laporan itu, Arumi?" tanya Devan sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah. Aku masih asik dengan penemuanku dan tak mengindahkan pertanyaan nya. Devan duduk di samping ku dan mendekatkan wajahnya ke arahku yang sedang fokus melihat hasil laporan di layar laptop.
"Ah.. Tuan.. Mengapa mengejutkanku?!" teriak Arumi.
"Bukan salahku mate. Aku sudah bertanya tadi. Kau malah asik dengan laporan itu," katanya sambil mencubit ujung hidungku.
"Aduh.. sakit Tuan. Bisa tidak Tuan tidak menggangu ku," kataku sambil mengelus hidungku yang sakit.
"Oya Tuan, Saya sudah menemukan apa yang menjadi permasalahan nya. Dan untungnya, Tuan belum menandatangani kontrak perjanjian itu. Coba Tuan baca di bagian ini," tunjukku padanya agar Devan membacanya dengan teliti. beberapa saat kemudian, Devan menghela nafas panjang.
"Ah, ada yang coba-coba mau brain curang di belakang ku. Terima kasih mate, Aku tidak tahu kalau hal ini tidak terungkap maka perusahaan akan rugi besar," kata Devan berterima kasih pada ku.
"Sama-sama, Tuan. Inilah gunanya sekretaris dan asisten," kataku sambil tersenyum.
Tak terasa waktu telah beranjak malam. Seharusnya ini sudah waktunya tidur. Aku bingung harus tidur di kamar mana. Karena lelah dan mengantuk, lalu aku pun bertanya di mana kamarku berada. Yang membuat ku hilang rasa kantukku karena jawaban Devan adalah Ia meminta ku untuk tidur bersamanya di kamar ini.
"Apa?! Tuan tidak salah? Aku bukan istri Tuan. Mengapa Aku harus tidur disini bersama Tuan?" kataku marah.
"Sudahlah, jangan membantah. Kau ini mateku. Sudah seharusnya Kamu tidur bersamaku," jawabnya sambil menyuruhku tidur di sampingnya. Entah karena rasa kantuk yang mendera, akhirnya aku jatuh tertidur di sampingnya. Masuk ke alam mimpi yang indah.