Makanan yang kami pesan akhirnya datang. Segera ku siapkan dan ku bawa ke ruangan bos. Ku tata makanan di atas meja, kemudian beranjak menuju di mana bos ku berada. Kulihat bos Devan sedang asik dengan berkasnya.
"Pak, makanan sudah siap. Makanlah selagi masih hangat," kataku padanya. Devan mengangkat wajahnya dan melihat makanan yang ku sudah ku tata rapi di atas meja tamu.
"Terima kasih Arumi," katanya padaku. Kemudian dia berjalan menuju meja yang sudah terhidang makanan yang sudah dipesan.
"Mengapa Kau masih berdiri di sana? Kemarilah, duduk disini dan makan denganku. Aku tidak mau asistenku sakit gara-gara tidak ku beri makan," katanya padaku sambil tangannya menepuk kursi disebelahnya yang kosong. Aku berjalan mendekat, tapi tidak berani untuk duduk di sebelahnya. Ku ambil sudut terjauh sofa itu agar tidak berdekatan dengannya.
"Mengapa Kau duduk di situ? Itu terlalu jauh untuk mengambil makananmu. Kemarilah, duduk di sebelahku," katanya kemudian memerintahku agar duduk disebelahnya.
"Tidak apa-apa Pak. Cukup disini saja," jawabku sambil menunduk.
"Apa Kau takut padaku, Arumi?" tanyanya sambil menatapku tajam.
"Ti-tidak Pak. Saya pikir tidak sopan rasanya kalau Saya duduk di samping Bapak. Apalagi Bapak CEO perusahaan ini. Nanti kalau di lihat orang apa jadinya," jawabku sambil menunduk.
" Arumi, tidak usah memikirkan perkataan orang lain. Yang menginginkan Aku, bukan mereka. Jadi santai sajalah. Ayo duduk disini," katanya dengan lembut.
Aku berjalan mendekat ke arahnya. Kemudian aku duduk di samping di kursi. Kami makan dalam diam. Sesekali ku lihat wajahnya. Wajah yang menghias mimpiku semalam.
"Apakah ada yang salah dengan wajahku?" tanyanya padaku. Wajahku kembali memerah.
"Wah ketahuan nih.." batinku.
"Ti-tidak, tidak ada yang salah dengan wajah Bapak. Hanya heran saja, mengapa Bapak tidak makan di luar dan malah meminta Saya untuk menemani Bapak makan," tanyaku jujur.
"Aku jarang sekali makan siang di luar. Biasanya Aku membawa bekal makanan dan makan sendirian disini. Makanya hari ini Aku senang sekali bisa makan tidak sendirian lagi," jawabnya menjelaskan padaku.
Kami melanjutkan makan siang kami. Setelah selesai segera ku bereskan dan ku bersihkan meja. Lalu aku menyerahkan beberapa berkas yang harus di tandatangani bos Devan.
Siang terus beranjak senja. Waktu menunjukkan pukul 18. Yah, aku harus menunggu bos pulang baru aku bisa meninggalkan ruanganku. Devan keluar dari ruangannya lalu menghampiri ku.
"Mengapa Kau belum pulang? Seharusnya 1jam yang lalu Kau sudah pulang, Arumi," tanyanya padaku.
"Saya belum bisa pulang karena Anda belum pulang, Pak," jawabku.
"Dimana rumahmu? Biar sekalian Ku antar Kau pulang," tanyanya lagi.
"Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri. Apartemen Saya dekat dari sini," tolakku.
Tanpa berkata apapun, Devan meraih tanganku dan membawaku pergi. Aku merasakan ada kejutan dalam darahku. Seakan tersetrum listrik ribuan watt. Pandangan ku menggelap. Dan aku tidak ingat lagi apa yang terjadi.
Devan POV
Aku berjalan ke luar ruanganku. Aku melihat Arumi masih duduk di ruangannya. Aku berjalan mendekat dan bertanya padanya mengapa masih ada disini. Jawabannya membuatku tersentuh. Dia belum pulang karena menungguku pulang lebih dahulu. Memang dia benar-benar mateku. Lain dari gadis-gadis sebelumnya. Menjadi sekretaris ku hanya karena ingin mendekatiku.
Aku menawarkan untuk mengantarnya pulang. Tetapi dia menolakku halus. Aku menarik tangannya agar dia mengikuti ku. Ku rasakan kejutan dalam aliran darahku. Harum lavender yang melingkupiku menyeruak dalam darahku. Dia pingsan dalam dekapanku. Ah.. mateku. Ku hirup dalam-dalam wangi lavender dari tubuhnya. ingin rasanya ku tandai tanda kepemilikan ku. Ku dekatkan wajahku pada leher jenjangnya yang mulus. Segera ku tancapkan taringku pada leher jenjangnya.
"Tidak.. tidak.. bukan begini caranya, Devan. Kau mau matemu takut padamu?" mindlingku berkata mengingatkanku.
Ku gendong mateku dengan bridal style. Ku bawa dia ke dalam mobilku. Ku letakkan kepalanya pada dadaku.
"Pulang, Mark," perintahku pada Mark.
"Baik Tuan," jawab Mark kemudian melajukan mobil menuju mansionku.
Dia masih pingsan di dadaku. Detak jantungnya, harum tubuhnya, memabukkan ku. Ah.. mate. Aku sudah tak sabar ingin menandaimu.
Tak terasa kami sudah sampai. Segera Mark membukakan pintu untuk kami. Ku bawa Arumi ke kamarku. Ku baringkan tubuhnya perlahan agar tidak terbangun. Ku selimuti tubuhnya dan menyetel pendingin ruangan agar sesuai dengan suhu tubuhnya.
Mate..
Wah, babang Devan sudah tidak sabar nih.
Hai readers..
Mohon kritik, saran, dan masukkannya ya.
Jangan lupa vote dan batu kuasanya agar saya bisa update terus.
š