"Ya, benar. Tentu saja dia adalah putrimu, tetapi apakah Anda pernah mendengar seorang putri masih terus berada di bawah kekuasaan ayahnya setelah menikah?"
"Kau... Dr. Steven, jangan buat rasa respekku padamu hancur! Aku tidak ingin memperdebatkan hal ini. Sebagai seorang ayah, sebagai orang tua, kami hanya ingin yang terbaik untuk putri kami. Lepaskan Kaili, biarkan dia bahagia. Sejak awal pun pernikahan ini tidak seharusnya terjadi!" Richard terlihat sedikit lebih tenang dari Stella.
"Ingin yang terbaik? Menikahkannya berulang-ulang, lalu membuatnya bercerai, adalah hal yang baik?"
"JANGAN KETERLALUAN KAMU!" Stella langsung angkat bicara.
"Baiklah, aku merasa perbincangan hari ini sudah selesai. Aku masih ada urusan, kalian nikmatilah waktu bersama di sini!"
Setelah mengatakan demikian, Dexter langsung beranjak.
"Percaya atau tidak, aku bisa membuatmu kehilangan pekerjaan hari ini juga!" ancam Richard Goh dengan suara yang tenang tetapi terdengar menakutkan.
Kaili yang mendengar itu, langsung memucat.
"Papa—"
"Lakukan saja apa yang ingin Anda lakukan, Tuan Goh! Tidak akan ada yang menghentikanmu."
"Huh... Kau sangat sombong," imbuh Stella.
"Jika kau kehilangan pekerjaanmu, lantas akan kau beri makan apa putriku? Seumur hidupnya, dia tidak pernah kekurangan apa pun! Apa kau akan membuatnya mati tidak makan bersamamu?"
Sudut bibir Dexter terangkat ke atas dengan angkuh. "Tentang itu ... bukankah suami istri harus menghadapi segala apa pun yang terjadi secara bersama-sama, termasuk ketika tidak bisa membeli sesuap nasi sekalipun. Benarkan sayang, itu janji pernikahan yang kau ucapkan di altar bersamaku!"
Namun saat mengatakan demikian, Dexter bahkan tidak melihat Kaili.
"Uuh... Dexter—"
Kaili masih akan berbicara, tetapi Richard menyelanya, "Sampai kapan pun aku tidak akan rela jika Kaili hidup susah! Jangan membuatku mengusik hidupmu! Tinggalkan Kaili, aku akan memberikan apa pun yang kau mau!"
"Apa pun?" ulang Dexter.
Seketika Richard terdiam, tetapi tidak lama kemudian dia menjawab, "Hm... Ya, apa pun!"
"Jika aku meminta 45% dari saham yang kau miliki di perusahaanmu sebagai gantinya, kau juga rela?"
Duarrr...
Kaili tegang mendengar hal itu. Apakah dirinya sama sekali tidak berharga bagi Dexter? Haruskan dia ditukar dengan saham? Hatinya sangat hancur.
Kaili tidak lagi menahan air matanya. Dalam diam, tanpa sebuah suara air mata itu terjatuh dengan deras mendarat di tangannya yang saat itu sedang di pangku.
Dadanya terasa perih. Kejadian ini seperti membumbui asam dan garam pada luka lama. Mulutnya ingin berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang berhasil dikeluarkan.
"Diam? Huh! Artinya Anda tidak berani memberikan apa pun yang saya minta, bukan? Sebaiknya, Anda berpikir matang-matang sebelum mengemukakan syarat!"
"Dari awal sudah kuduga, kau hanya inginkan kekayaanku sehingga mau menikahi, Kaili!" balas Richard Goh dengan penuh emosi.
"Kekayaanmu? Apakah Tuan Goh, memandang bahwa dirimu itu sungguh kaya raya? Aku hanya menyanggupi semua yang Anda tawarkan, ternyata siapa yang menduga penawaranmu hanya omong kosong!"
"Omong kosong—"
"Aku akan pergi bekerja. Silakan lanjutkan perbincangan kalian. Jika nanti kau sudah dapat memutuskan penawaranku yang barusan, beritahu aku!"
"Kau sangat hina! Benar juga, jika bukan untuk hartaku, mana mungkin kau mau menikah dengan Kaili. Inilah tujuanmu, benar bukan?"
"Tentang kenapa aku menikahi 'dia', sesuatu hal yang perlu kalian ketahui!" Dexter berbalik, mendekati Kaili. Mengangkat dagu istrinya, "Itu hanya akan menjadi urusan kami berdua!" Setelah mengatakan demikian, Dexter mengecup bibir Kaili.
Dexter dapat merasakan, tidak ada penolakan atau pun persetujuan Kaili dari ciuman yang berlangsung saat ini. Itu membuatnya sedikit marah! Apakah wanita ini tidak tahu aku sedang mempertahankannya? Pikir Dexter.
Segurat emosi terlihat jelas di matanya, sehingga memaksakan lidahnya masuk ke rongga mulut Kaili dan menjelajahinya!
Sial! Kaili selalu saja berhasil membuatnya menyerah. Dia menginginkan wanita ini sekarang, tetapi Dexter dengan lembut segera melepaskan diri. Menyapu lembut wajah dan bibir Kaili, dengan jarinya. Ciuman itu hanya berlangsung satu menit, tidak lama. Tetapi berhasil membuat Stella dan Richard terdiam.
"Seperti yang Anda lihat, kemungkinan sebentar lagi dia akan mengandung anakku. Kau serius masih memikirkan tentang perceraian kami?"
Kaili baru saja kembali dari keterkejutannya setelah dicium kilat Dexter barusan, dan begitu mendengar tentang 'mengandung anakku', pipinya merona. Ini adalah hal yang sangat memalukan, kenapa Dexter beromong kosong? Apakah dia sedang mencoba mempertahankan dirinya? Apakah itu artinya.... rasa suka Dexter sudah kembali padanya? Bisakah Kaili berharap?
Namun, saat memikirkan itu, Dexter yang masih menunduk di dekat Kaili, berbisik padanya, "Jangan berpikiran terlalu jauh! Kau tahu dengan jelas kenapa aku menikahimu!" lalu dia pun pergi.
Kaili yang mendengar semua pernyataan Dexter tadi hanya bisa meratapi punggung pria itu yang semakin jauh. Hatinya benar-benar hancur. Awalnya dia mengira, menikahi pria yang dicintai selama 5 tahun adalah plot twist dalam kehidupannya yang telah jauh-jauh hari disiapkan Tuhan, tetapi siapa yang menduga malah ini yang akan terjadi.
Tadi, sebisa mungkin Kaili membela Dexter di hadapan kedua orang tuanya, tetapi pria ini malah dengan enteng melontarkan perkataan yang begitu menyakitkan. Hatinya benar-benar hancur. Terasa perih bak disayat benda tajam. Tetapi apa yang dapat dilakukannya?
"Kaili, kenapa kau menangis? Apa kau menangisi pria tidak berguna sepertinya?"
Kaili tidak menjawab ibunya, jiwanya masih bagaikan terombang-ambing. Hatinya sangat hancur.
"Kaili, mama berbicara padamu dan kamu diam? Pria itu memang memberikan pengaruh yang sangat buruk padamu! Tidak bisa! Kalian harus segera berpisah! Satu minggu, satu minggu waktu yang Mama berikan untukmu menceraikannya!"
"..."
Kaili diam dan langsung masuk ke kamar. Dia benar-benar tidak memedulikan orang tuanya yang saat ini masih berada di ruang tamu kecil itu.
Perkataan Dexter yang tadi terlalu menusuk hatinya, kerap kali kata-kata itu berkumandang di telinga, semakin memecahkan hati yang memang sejak awal sudah berantakan.
Benar, ini salahnya. Ini dosanya, dan sekarang tanpa rasa malu, dia berharap pria itu akan mencintainya setelah semua yang diperbuatnya dengan sadar? Walau ada alasan dibalik itu semua, tetapi bukankah dia terlampau lancang mengharapkan cinta dari pria yang dulu dihina tanpa perasaan?
Sementara itu, Brandy sudah tiba di tempat Silvia. Masih sejak jauh, Silvia sudah sangat bahagia karena melihat mobil yang familiar mendekatinya.
Dia tahu, kakaknya —Dexter— akan melakukan apa saja untuknya. Bahkan tanpa sungkan meninggal istri yang baru saja dinikahi hanya untuk menolongnya. Silvia tahu itu di dalam hati, Dexter sangat mencintainya.