"Kakak... akhirnya kau datang—" Silvia menghentikan perkataannya begitu melihat Brandy yang keluar dari dalam.
Dengan muka yang masam, dia bertanya, "Kenapa kau yang datang? Mana kak Dexter?"
Brandy membuka pintu, "Nona Silvia, silakan masuk."
"Aku tidak mau! Kenapa kau yang menjemputku? Ke mana kakak?"
"Tentang hal ini, sebaiknya nona tanyakan langsung pada tuan muda, jangan pada saya. Saya hanya menjalankan perintah." Brandy mempertahankan senyum sopannya. Sejak semula dia sudah menduga hal ini. Bertahun-tahun bekerja dalam Chiro Family, mana mungkin dia tidak mengerti sikap manja Silvia Zen.
"Aku tidak akan pergi kalau bukan Kak Dexter yang menjemputku! Aku akan tetap di sini!"
"Jika Anda sudah membuat keputusan, maka apalagi yang bisa saya lakukan? Kalau begitu saya permisi dulu. Saya sudah menghubungi montir, 5 menit lagi mereka akan sampai. Silakan tunggu di sini sampai mobil Anda selesai diperbaiki," ucap Brandy dengan elegan. Memangnya membujuk seorang perempuan dewasa adalah tugasnya? Dia seorang asisten, bukan pengasuh! Tidak Brandy untuk membujuk Silvia.
"Brandy! Kau sangat menyebalkan!" balas Silvia.
"Maaf Nona Zen, saya masih memiliki banyak pekerjaan di kantor yang harus diselesaikan! Anda tahu sendiri, tuan muda sangat jarang datang ke perusahaan jika bukan karena urusan darurat! Hanya mengharapkan General Manager, tidak akan mampu. Jika Anda mau di sini sampai mobil Anda selesai, itu urusan Anda. Jika tidak, silakan naik ke mobil dan saya akan mengantar Anda ke rumah sakit."
'Arrgghhhh!' Silvia mengentakkan kakinya dan masuk ke dalam mobil dengan wajah yang sangat murung.
"Cantik-cantik tetapi selalu saja marah-marah! Pantas keriput ada di mana-mana!" cibir Brandy pelan, tetapi sayangnya Silvia berhasil mendengar itu.
"Apa katamu? Berani sekali kau mengataiku berkeriput!" Mata Silvia membulat hingga habis, asisten kakaknya ini semakin hari malah sikapnya mirip sekali dengan Dexter.
"Maaf Nona Zen, tetapi yang saya katakan itu benar. Sebaiknya Anda segera pergi ke pusat kecantikan, melakukan beberapa treatments yang dapat membuat keremajaan kulit Anda kembali—"
Belum seluruh perkataan selesai diucapkan Brandy, sebuah tatapan mata yang tajam telah memenuhi kaca spion, sehingga dia terdiam sendiri. Dia mana pernah berani sama wanita ini untuk bertindak jauh.
Tidak tahu sudah berapa lama Kaili tertidur, mata hari pun sudah berubah menjadi keemasan. Pengaruh suasana hati yang buruk juga kondisi kesehatan yang masih belum pulih, membuatnya menghabiskan sepanjang hari dengan tertidur, hingga bangun-bangun kepalanya serasa mau pecah. Sakit sekali! Lehernya pun terasa tegang.
Saat hendak merenggangkan tubuh, Kaili mendengar adanya suara langkah kaki yang mengisi ruangan. Apakah mama papanya masih di sini? Pikirnya.
Namun segera pikirannya membantah hal itu, mana mungkin mama dan papanya mau berlama-lama tinggal di sini. Memikirkan itu, Kaili langsung menangkap satu nama.
"Dexter! Dia sudah kembali?" Mata Kaili membulat saat melihat jam yang ada di pergelangan tangan kirinya, sudah jam 6.15, astaga bukankah dia harus belanja ke supermarket membeli bahan makanan? Lihatlah, yang dilakukannya malah tidur sepanjang hari.
Dia sangat gugup sekali. Apa yang akan Dexter katakan nanti ketika tahu kalau belum ada makanan tersaji. Seketika itu, pintu kamar pun terbuka. Kaili yang memang sedari tadi melihat ke arah pintu, langsung menangkap mata Dexter. Mereka saling berpandangan hingga beberapa saat. Kemudian dengan malas, Dexter langsung membuang pandangannya dari Kaili dan berjalan ke sofa yang ada di kamar. Meletakkan tas kerja juga jas putih kebanggaannya dan melonggarkan dasi.
"Kamu sudah kembali?" tanya Kaili memulai percakapan. Ini pertanyaan yang sangat konyol, jika bukan kembali apakah tubuh Dexter bisa berada di sini? Kaili pun menyadari hal itu, dan langsung mengubah pertanyaannya.
"Selamat datang..." ucapnya kembali.
Dexter tidak menjawab, tidak menoleh pada Kaili juga. Bahkan keningnya malah berkerut.
"Itu... A-aku belum memasak." Kaili menggigit bibir bawahnya, menanti reaksi Dexter. Suaranya terdengar sedikit parau, tampaknya dia terkena flu akibat berendam air es sepanjang malam.
Dexter menyadari hal itu. Dia hanya menggeleng-geleng kepala. Menggerutu karena sudah sebesar ini pun, bahkan Kaili tidak bisa merawat diri dengan baik. "Tidak heran, putri orang kaya," ucapnya.
Saat mendengar itu, Kaili merasa bagaikan tersengat listrik dengan kekuatan daya volt yang tinggi! Dia mengira jawaban Dexter itu adalah untuk menghinanya karena tidak memasak.
Kaili untuk ke sekian kalinya merasakan hati yang hancur. Tega sekali Dexter mengatakan hal itu.
Dan tanpa rasa sungkan, Dexter malah pergi mandi dengan santai. Seakan tidak mengatakan hal yang salah.
Kaili sungguh sakit. Bahkan, tadinya dia sempat berpikir, kalau Dexter akan meminta maaf karena sudah asal bicara dan melukai hatinya, tidak dikira, lelaki itu malah pergi mandi tanpa meliriknya.
Mungkin memang tidak ada yang perlu dipertahankan, semua harus berakhir, batin Kaili. Tanpa sadar, air mata pun membahasi pipinya.
"Aku tidak kuat lagi, mungkin berpisah lebih baik," gumam Kaili.
Dexter keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Rambutnya yang basah dan perlahan menetes di sekitar bahunya menambah aura seksi yang tidak bisa ditepiskan.
Kaili sekilas bengong, ini memang bukan yang pertama kalinya dia melihat Dexter dengan penampilan yang seperti ini.
Deg! Kaili sangat gugup dan gemetar. Bukan karena takut, tetapi malah terjerat pesona pria yang baru mandi ini.
Dia pasti sengaja! Benar, dia sengaja keluar dari kamar mandi dengan badan yang masih belum kering sempurna, dan rambut yang masih basah, gumam Kaili.
Tanpa sadar, Kaili menatap Dexter, dari rambut lurusnya yang basah menutupi sebagian wajahnya. Matanya yang tajam, mengisyaratkan banyak hal. Dulu, mata itu selalu menatap Kaili dengan lembut, sangat meneduhkan. Kini yang tergambar di sana hanya sorot mata yang memicing tajam, seakan ingin menebus tulang-tulang yang mengganggunya.
Kaili memperhatikan garis wajah Dexter yang berbentuk 'Oblong face', sangat sesuai dengan tampilannya yang selalu bersikap dingin. 'Seperti pria yang mengalami kelumpuhan saraf wajah,' pikir Kaili. Hatinya sedikit merasa lucu memikirkan istilah itu.
Dari garis wajah, Kaili beralih ke mulut dan bibirnya. Bibir yang tipis dan terlebah di tengah. Benar-benar seksi. Mulut itu dulu sering sekali mencuri-curi kesempatan untuk menciumnya, mengatakan kalimat-kalimat nakal serta ungkapan gombal yang bisa membuat Kaili melayang tinggi ke angkasa. Siapa yang menduga, kini satu kata saja yang keluar dari mulut itu, bagaikan racun yang melumpuhkan saraf otak Kaili.