Stella duduk di sofa, sementara Richard berjalan-jalan mengelilingi rumah Dexter yang kecil.
"Umpp... Mama dan papa, mau minum apa?" tanya Kaili.
"Apa di rumah ini tidak ada pembantu? Apa harus kau yang menyiapkan minuman?" tanya Stella.
"Ump.. Mama bukan—"
"Apa kau nyaman tinggal di rumah yang kecil begini, sayang?" Richard Goh bertanya kembali, saat Kaili ingin menjawab pertanyaan mamanya.
Mendengar pertanyaan sang papa, wajah Kaili langsung memucat, kemudian dia beralih melihat Dexter. Pria itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun, selain wajah tenang dan dingin yang dipadu dengan sangat baik. Ya, sebagaimana biasanya. Itulah mengapa, Kaili sulit sekali menebak isi perasaan Dexter.
Tapi Kaili tahu dengan betul, saat ini Dexter berada di puncak amarahnya. Siapa pun akan sangat marah jika dikucilkan seperti itu.
"Papa bicara apa? Di rumah ini kami hanya berdua, jika memiliki rumah yang besar, bukankah itu akan terasa sangat sepi? Di sini, aku tinggal bersama suamiku, kami..."—Kaili melihat Dexter— "ka-kami merasa jauh lebih hangat!"
Richard Goh duduk ke sofa, di samping istrinya. "Tentu saja hangat, karena sangat kecil sehingga membuat terasa sedang berdesak-desakkan di dalam! Kamar mandimu saja tidak sekecil, ini!" balas Richard Goh tanpa sungkan.
Dexter masih mempertahankan ekspresinya. Bahkan bisa jadi pria itu sama sekali tidak mendengar yang dikatakan Richard Goh, menganggap semua bualan pria tua kurus itu bagaikan udara. Dia sudah dapat menebak, kedatangan pasangan suami-istri Goh ke sini bukan untuk hal yang bagus.
Tetapi tidak dengan Kaili, hatinya sangat sakit mendengar semua yang dikatakan sang ayah. Ayahnya ini... apakah ingin menghancurkan rumah tangga yang baru saja dibangunnya? Dia sangat takut, jika Dexter kembali memusuhi dan membencinya. Jika saja Kaili bisa memilih, lebih baik Dexter menyiksanya dengan kata-kata kasar atau bahkan memberinya pukulan hebat, dari pada harus menyaksikan pria itu bersikap dingin terus tanpa mau berbicara.
Kembali ponsel Dexter berbunyi, tetapi dia tidak menjawab dan hanya duduk dengan tenang.
Kaili sendiri pun sangat bingung harus menjawab apa, dengan perkataan orang tuanya yang tadi. Ketepatan ponsel yang berbunyi itu bisa dijadikan sebagai alasan untuk berbicara.
"Umpp... Bukannya kau punya pasien darurat hari ini? Pergilah bekerja, biar aku yang menemani papa dan mama."
"Hmpp..." jawab Dexter sambil menggerakkan alisnya dan bangkit dari kursi.
"Pergilah bekerja... dan segera pulanglah jika sudah selesai dengan pekerjaanmu. Aku... menunggumu."
Dexter melihat Kaili dengan kening yang berkerut. Sontak sekujur tubuh Kaili bergetar. Peluh hampir mengisi keningnya, tetapi Kaili dengan mudah menghilangkan gugup di hatinya dengan tersenyum manis. Menunjukkan giginya yang tertata rapi. Tidak bisa dibohongi memang, selain mata Kaili yang begitu bersinar, senyumnya pun sangat menawan. Siapa saja yang melihatnya pasti akan tergoda, termasuk Dexter saat ini.
"Hemp..." jawab Dexter, sambil menyembunyikan senyum kecil yang sempat mengisi bibir tipisnya karena melihat pesona Kaili.
"Tunggu... Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu!" Richard Goh, menghentikan Dexter yang sudah bersiap pergi.
"Papa, tapi Dexter harus bekerja." Kaili yang menjawab. Dia tidak ingin papanya semakin berbicara omong kosong dan didengar langsung oleh Dexter.
"Persetan dengan pekerjaannya! Walau dia bekerja hingga tiada henti, seumur hidup ini, tidak akan bisa menghasilkan sebanyak yang aku hasilkan!" suara Richard terdengar begitu lantang. Dia merasa putrinya ini sudah tidak menghormatinya lagi, karena berkali-kali menentang perkataannya sejak tadi.
"Kaili, kau jangan menjadi wanita bodoh, yang selalu membela suamimu. Benar apa kata papamu, menurutmu jika bukan karena hal penting, kami akan membuang waktu datang ke sini. Jika dokter Dexter bekerja, papamu pun sama. Dia bahkan menunda meeting pentingnya! Kenapa Dexter malah pergi begitu saja?" Stella menimpali, setelah sejak tadi diam.
"Mama... Ini juga bukan salah Dexter. Kalian datang tanpa pemberitahuan dan di saat mau bekerja. Lebih baik kalian pulang dan datang kembali di hari minggu."
"Minggu depan? Kau pikir kami memiliki waktu luang yang sangat banyak? Ini hal yang sangat penting! Mana bisa ditunda hingga hari minggu. Kau ini baru sehari menjadi istrinya, sudah berbicara begitu lancang pada orang tua sendiri!" balas Stella.
"Ma, bukan begitu..." namun Kaili langsung berhenti begitu melihat Dexter berbalik dan kembali duduk di sofa.
"Dexter... kau tidak pergi bekerja?" tanya Kaili dengan hati-hati.
Bukan menjawab Kaili, Dexter malah berbicara dengan Richard Goh. "Katakan... apa yang ingin dibicarakan?" ucapnya dingin.
Walau ini Richard Goh, Dexter tidak capek-capek menukar ekspresi serta perkataan dinginnya.
"Ini tentang pernikahanmu dengan Kaili..."
Bunyi ponsel Dexter menghentikan perkataan Richard. Dexter mengerutkan kening melihat layar ponselnya. Wajahnya pun masam tetapi tidak menutupi kerisauan dalam ekspresinya.
Kaili tahu, saat ini harusnya Dexter menemui Silvia. Ini sudah lebih dari 10 menit. Walau hatinya enggan melihat Dexter bersama Silvia, tetapi sebagai seorang wanita, Kaili juga takut jika Silvia menunggu seorang diri di tengah jalan.
"Ump... sebaiknya kau angkat panggilan telepon itu dulu."
Dexter pun segera pergi ke kamar tanpa menjawab Kaili. Sesampainya di sana, Dexter mencari satu kontak nama di ponselnya. Tidak menunggu lama, panggilan itu terhubung.
{Ya, tuan muda? Anda ada di mana?}
"Silvia sekarang ada di tengah jalan perbatasan antara apartemennya dengan rumah sakit. Kau harus sampai di sana dalam waktu 2 menit!"
{Heuh? Dua menit—}
*Tut* panggilan itu diakhiri Dexter sebelum menunggu asistennya selesai bicara.
Di seberang sana, Brady sedikit mengernyitkan kening. Ini bukan pertama kalinya tuannya, —Dexter— mematikan panggilan bahkan sebelum mengatakan perintah dengan selesai. Selalu saja begitu, singkat dan tidak jelas. Brandy sebagai kaki tangan seoarang Dexter, harus sigap dalam segala hal. Sekali pun tugas itu tidak dijelaskan dengan baik, dia harus mampu mencerna setiap perintah yang diemban kan kepadanya.
Seperti contohnya sekarang ini, Dexter tidak mengatakan alasan Brandy, harus pergi ke perbatasan jalan, tetapi dia sudah dapat menerka, bahwa Silvia dalam kesulitan. Dia harus segera menghubungi seseorang yang dapat membawa mobil sang nona muda ke bengkel dan mengantar Silvia ke rumah sakit. Itu sudah tertebak, dan Brandy harus menyelesaikannya dengan baik.
"Huuffh..." Brandy menghela napasnya dengan kasar. Tabpa menunda waktu lagi, dia langsung pergi ke tempat yang diminta sang bos.
Setelah menghubungi Brandy, Dexter langsung menemui Richard Goh dan istrinya. Saat dia bergabung, Kaili menatap khawatir padanya, hal itu semakin membuat ekspresi Dexter menggelap. Sangat tidak suka.
"Karena waktuku sangat penting, aku tidak akan menunda pembicaraan lagi! Langsung ke intinya saja." Richard Goh memulai pembicaraan.
Dexter masih setia dengan ekspresinya. Tidak ada keterkejutan, kemarahan, emosi atau rasa tidak senang yang ditampilkan dalam wajah tampannya.
"Jujur saja, aku tidak menyukaimu." Richard Goh berhenti sejenak.