"Kamu punya pacar?" tanya Amanda pada Latissa. Sekretarisnya itu nyaris tersedak karena mendengar pertanyaan Amanda. Latissa buru-buru mengambil tisu dan membersihkan percikan teh yang mengenai telapak tangannya. Latissa sedang berkunjung ke apartemen Amanda untuk membereskan beberapa dokumen sekaligus menemani atasannya untuk kontrol ke rumah sakit siang ini. Amanda belum mulai bekerja, dia baru akan mulai bekerja setelah penyangga lehernya boleh dilepas, tentu saja dengan seizin dokter Abi setelah kontrol sore hari ini.
"Kenapa kamu kayanya kaget gitu?" tanya Amanda bingung.
"Emm, maaf Bu, saya.. tidak punya pacar" jawab Latissa, sedikit ragu. Dia berpikir keras, apakah pertanyaan bos cantiknya ini hanya sebuah jebakan untuk menilai loyalitas dirinya pada pekerjaan, atau benar-benar pertanyaan karena ingin tahu saja.
"Apa kamu pernah punya pacar?" tanya Amanda lagi. Latissa menatap bosnya bingung, mengapa bos ini terobsesi lagi dengan kehidupan pribadinya. Latissa merasa kebingungan sendiri.
"Pernah Bu" jawab Latissa.
"Kenapa putus?" Amanda masih melanjutkan pertanyaannya. Latissa terdiam. Alasan dia putus dengan pacarnya yang terakhir, jelas karena Amanda. Latissa masih ingat kalimat Amanda kala itu, "Pilih pacar atau karir?". Pilihan yang sulit bagi Latissa, akhirnya gadis itu memilih karir, dia masih sangat muda, Latissa pikir karir harus diutamakan, kala itu.
"Ehem, saya.. Saya ingin fokus sama karir Bu" jawab Latissa. Amanda mengangguk.
"Kamu enak ya, saya enggak pernah punya pacar" keluh Amanda, lalu dia tertawa sendiri. Latissa tidak berani menatap Amanda, dia bertambah bingung. Amanda sangat aneh hari ini.
"Kamu pernah kasih hadiah apa Tis, sama pacar kamu?" tanya Amanda lagi.
"Hmm, jam tangan Bu" jawab Latissa mantap.
"Jam tangan ya" balas Amanda. Dia memeras otaknya, berusaha mengingat jam tangan Abi. Sayangnya sekeras apapun Amanda mengingat, tetap tidak bisa.
"Ayo" ajak Amanda. Amanda langsung mengambil tongkat yang terletak di sampingnya dan mulai berjalan.
Latissa kembali dibuat bingung, dia cepat-cepat menghabiskan teh dihadapannya lalu menyusul Amanda.
"Maaf Bu, kalau boleh saya tanya, kita mau kemana Bu?" tanya Latissa, berjalan sedikit lebih cepat, berusaha menyamakan langkahnya dengan Amanda. Entah mengapa langkah Amanda cukup cepat, walaupun masih sedikit tertatih.
"Ke mall, saya mau beli jam tangan," balas Amanda singkat.
"Untuk Ibu? Kita ke mall mana Bu? Mau saya siapkan mobil?" tanya Latissa lagi.
"Saya masih trauma naik mobil Tis, kita jalan aja" jawab Amanda. Latissa ingin bertanya lagi, tapi dia mengurungkan niatnya, Latissa tahu kalau bosnya ini tidak suka dibantah. Sudah sering Latissa mendapatkan bentakan dari Amanda karena kalimat bantahannya.
Dua gadis itu memasuki mall, yang jaraknya hanya dua blok dari kantor mereka. Amanda berjalan cukup cepat, walau masih memakai tongkat. Mereka masuk ke beberapa toko jam tangan. Amanda mencoba mengingat-ingat jam yang selalu dipakai oleh Abi. Terdapat retakan di jam tangannya itu, tapi entah mengapa Abi tetap memakai jam tangannya. Mungkin saja Abi benar-benar menyukai jam tangannya itu, atau bisa dia tidak punya waktu banyak untuk mengganti jam tangannya. Amanda ingin mencari jam tangan dengan model yang mirip dengan jam tangan retak Abi sebelumnya.
Latissa sendiri tidak mengerti mengapa bosnya ini begitu semangat mencari jam tangan. Amanda jarang punya waktu untuk jalan-jalan di mall. Setelah bekerja dia lebih senang untuk pulang dan istirahat. Hari Minggu atau hari libur pun, Amanda lebih memilih untuk bekerja. Tapi sekarang mendadak dia bersemangat sekali untuk membeli jam tangan.
"Emm, Bu. Maaf kalau lancang, tapi kalau boleh saya tahu, Ibu mau beli jam untuk siapa ya Bu?" tanya Latissa hati-hati. Takut Amanda marah.
"Dokter Abi" jawab Amanda sambil tersenyum. Pemandangan yang sangat jarang didapatkan Latissa, wajah bosnya langsung berseri-seri saat menyebutkan nama dokter bedah sarafnya.
"Dokter Abi?" tanya Latissa balik bertanya.
"Iya, sore ini kan jadwal kontrol, saya mau kasih dokter Abi hadiah" jelas Amanda. Senyumnya semakin jelas. Membayangkan sore nanti akan bertemu Abi sudah bisa membuat hatinya berbunga-bunga. Latissa tidak perlu bertanya lebih lagi, dia sudah bisa menebak. Bos cantik ini jatuh hati pada dokter Abi, batin Latissa.
"Nah, ini!" seru Amanda ketika dia menemukan jam yang mirip dengan jam yang Abi pakai. Amanda memeriksa sejenak, lalu setelah yakin, dia langsung membeli jam tangan itu. Latissa cukup terkejut melihat harga yang tertera pada jam tangan itu. Harganya setara dengan gaji Latissa selama dua bulan kerja. Jam tangan itu dibungkus dengan bungkus kado yang cantik sekali.
"Ayo, nanti telat, saya malas menunggu pasien lain" ajak Amanda lagi.
Mereka bergegas menuju rumah sakit tempat Abi praktek sore ini. Amanda berkali-kali bercermin untuk melihat penampilannya. Jantungnya berdebar setiap kali mengingat kalau sebentar lagi dia akan bertemu muka dengan Abi. Walaupun tempat tinggal mereka hanya berjarak 1 lantai saja, Amanda sangat jarang bertemu dengan Abi. Lelaki itu sepertinya jarang berada di rumah.
"Apa aku terlihat cantik hari ini?" tanya Amanda. Latissa mengangguk. Baru kali ini dia melihat atasannya tampak kurang percaya diri, dimana atasannya yang angkuh dulu, batin Latissa.
Ibu selalu cantik setiap hari" ucap Latissa jujur. Amanda tersenyum senang.
Sore ini, dokter Abi sudah bersiap di prakteknya. Dia membaca nama pasien di urutan pertama. Amanda, ada satu nama tercantum disana. Abi mengambil napas dalam-dalam. Hari ini dia akan bertemu lagi dengan pasien ini, yang juga tetangganya. Entahlah, mungkin dia sedikit terlalu percaya diri, tapi Abi jelas merasa Amanda punya rasa berbeda kepada dirinya, Abi bisa lihat dari tatapan mata ataupun dari wajah gadis itu yang sering tersipu-sipu malu menatap dirinya. Biar bagaimanapun mereka adalah dokter dan pasien, Abi tidak ingin ada hubungan lain selain itu.
"Sore, Dok" sapa Amanda. Dia tersenyum manis, tangannya memegang sebuah bungkusan yang sudah dia siapkan.
"Sore, Bu Amanda, silakan duduk" sapa Abi. Dia menanyakan beberapa hal dan mulai memeriksa Amanda dengan seksama.
"Ibu harus rajin latihan di rumah ya Bu" saran Abi. Dia menuliskan beberapa resep untuk Amanda.
"Sampai bulan depan ya Bu" ucap Abi di akhir sesi pemeriksaannya.
"Emm, Dok. Saya, saya punya sesuatu untuk Dokter" ucap Amanda pelan. Dia memberikan bungkusan yang sedari tadi dia pegang.
"Untuk saya?" tanya Abi. Perasaannya mulai tidak enak.
"Iya, hadiah kecil untuk dokter, sebagai ucapan terimakasih saya kepada Dokter, karena sudah menyelamatkan hidup saya" lanjut Amanda lagi. Dia tersenyum dengan sedikit tersipu. Abi terdiam.
"Saya, tidak bisa menerima ini. Terlalu berlebihan kalau dibilang saya yang menyelamatkan Ibu. Saya dokter, sudah tugas saya" balas Abi dengan dingin.
"Ah, bukan Dok, saya hanya ingin mengucapkan terimakasih saja" ralat Amanda cepat, dia merasakan aura dingin dari Abi. Tidak seperti biasanya, lelaki itu biasanya hangat dan ramah, tapi belakangan ini sikapnya terlalu dingin. Apa dia tidak suka, batin Amanda.
"Saya mohon maaf sebelumnya, saya harap dokter mau menerima pemberian saya ini, saya pikir.." Amanda mulai bingung harus berkata apa, dia panik karena reaksi Abi sungguh diluar perkiraannya.
"Lain kali tidak perlu memberi apa-apa, terimakasih pemberiannya" balas Abi, dia terpaksa menerima
"Sampai bulan Bu" balas Abi lagi, mempersilakan Amanda untuk keluar dari ruangan prakteknya. Abi menyimpan kotak pemberian Amanda dan mulai memanggil pasien berikutnya.
Amanda melangkah dengan lesu, Latissa menyambutnya di ruang tunggu keluarga pasien. Sekretarisnya itu memandang wajah Amanda dengan seksama, dia bingung mengapa bosnya tampak sedih dan kecewa, kemana senyuman cantik Amanda yang selalu menghiasi wajahnya selama satu hari ini, tanya Latissa dalam hati. Apa yang terjadi didalam tadi, tanya Latissa lagi, tapi lagi-lagi hanya dalam hati, Latissa bahkan tidak punya nyali untuk membuka mulutnya, apalagi bertanya, dia hanya mengikuti langkah Amanda saja.
"Latissa, apa jatuh cinta selalu menyebalkan seperti ini?" tanya Amanda saat mereka sudah berada di mobil.
"Ya Bu?" tanya Latissa bertambah bingung, dia masih berusaha menebak-nebak apa yang terjadi.
"Jatuh cinta" ulang Amanda. Latissa mengerutkan keningnya.
"Ah, sudahlah, saya ingin pulang saja" lanjut Amanda lagi. Hari ini hatinya yang awalnya berwarna-warni, berubah menjadi suram dan gelap. Dia bahkan masih mencoba mengetahui apa itu cinta, tapi sudah seperti ini.