Sudah seminggu ini Amanda masih belum mulai bekerja kembali di kantornya, dia hanya bekerja di apartemennya. Terkadang Latissa beberapa kali datang untuk membawa beberapa dokumen penting yang harus Amanda pelajari atau Amanda tanda tangani. Amanda masih harus latihan setiap hari untuk membuat tangannya dapat bergerak lagi seperti sedia kala.
Selama satu minggu ini juga Amanda rajin mengikuti kelas memasak. Dia juga beberapa kali ingin mengirimi Abi hasil masakannya, tapi Amanda masih ragu. Dia khawatir Abi akan beranggapan dirinya berniat lain kepada dokter itu, walaupun kalau boleh jujur, alasan Amanda ingin mengirimi Abi memang karena dirinya ingin sering bertemu dengan Abi. Sore ini, Amanda memanggang brownies di dapurnya. Jumlahnya cukup banyak, dia jadi bingung sendiri harus dia apakan hasil masakannya itu. Amanda kembali memandang ke arah jendela apartemen Abi. Gelap, sepertinya sang empunya apartemen tidak ada disana. Dua hari ini, lelaki itu tampak tidak ada di rumah. Amanda tidak tahu kalau Abi memang sering tertidur di rumah sakit bila kelelahan.
"Apa dicoba saja?" pikir Amanda, menimbang-nimbang apakah dia akan pergi atau tidak. Amanda kembali menatap dirinya di cermin, bekas luka kecelakaan masih tampak jelas di wajahnya. Masih ada sedikit lebam kebiruan di wajahnya. Belum lagi bekas luka operasi di beberapa bagian tubuhnya, terutama jahitan panjang di betis kanannya. Semua itu terlihat sangat jelas. Belum lagi sekarang Amanda masih memakai alat bantu berjalan dengan kruk, Kadang dia merasa rendah diri untuk bertemu dengan orang di luar, mereka pasti akan bertanya sambil melihat Amanda dengan tatapan kasihan, Amanda tidak suka bila dia harus dikasihani seperti itu. Sejujurnya Amanda juga merasa Abi melakukan hal yang sama dengannya, tatapan mata Abi selalu menyiratkan kalau dia merasa kasihan kepada dirinya. Amanda suka dan tidak suka dengan itu. Dia tidak suka merasa dikasihani oleh Abi, tapi merasa senang juga karena dengan itu Abi selalu baik padanya.
"Oke, dicoba saja, enggak ada salahnya" batin Amanda.
Amanda mengemas dengan baik brownies buatannya lalu mengambil kruk nya dan mulai berjalan keluar apartemennya. Gadis itu menunggu dengan sabar didepan lift. Walaupun hanya satu lantai, tidak mungkin kalau dia menaiki tangga dengan kondisinya yang seperti ini. Berjalan keluar dari apartemennya saja Amanda harus mengerahkan banyak tenaganya.
Pintu lift terbuka, Amanda mengangkat kepalanya, langkah Amanda terhenti saat menemui sosok lelaki yang sudah berdiri di dalam lift. Dia adalah lelaki yang ingin Amanda jumpai. Abi sedang bersandar di pojok belakang lift. Kedua tangannya ia lipat di depan dada dan kepalanya ia rebahkan di dinding lift. Wajahnya terlihat lelah sekali. Melihat Abi disana, Amanda kembali salah tingkah sendiri. Kakinya mendadak terasa kaku, tidak dapat bergerak.
Di lain pihak, Abi merasa terganggu karena lift yang ia tumpangi tidak kunjung bergerak. Abi membuka matanya, dia ingin melihat siapa yang sudah membuat dirinya harus menunggu lama. Dokter itu membuka kelopak matanya. Raut wajah kesalnya langsung berubah saat melihat Amanda disana.
"Bu Amanda, mau kemana?" tanya Abi, dia berjalan menuju pintu lift, badannya bersandar di samping pintu menahan agar pintu lift tetap terbuka. Pantas saja lama, Amanda pasti kesulitan untuk berjalan cepat, ditambah dia membawa bungkusan ditangannya.
"Emm, dokter, saya.. Saya mau ke apartemen dokter" jawab Amanda, sedikit merasa salah tingkah.
"Apartemen saya? Ada apa? Ada yang sakit?" tanya Abi lagi, dia menatap lekat pasiennya dari atas ke bawah, mencari tahu barangkali Amanda merasa nyeri atau tidak nyaman di bagian tubuh yang dulu mengalami operasi.
"Oh, bukan Dok. Tenang aja, saya baik-baik aja. Tidak ada yang sakit." balas Amanda cepat, dia bertambah salah tingkah karena Abi menatap dan mengamati dirinya dari atas ke bawah.
"Oh, syukurlah" balas Abi, lega.
"Saya mau kasih ini sama dokter. Untung kita bertemu disini ya" ucap Amanda, menyerahkan bungkusan yang sedari tadi dia pegang. Abi cepat-cepat membantu Amanda.
"Apa ini?" tanya Abi, bingung.
"Saya ikut kelas memasak. Tadi pagi saya panggang brownies, mudah-mudahan enak, semoga dokter suka ya" jawab Amanda, dia menatap Abi dengan malu-malu.
Abi tertegun melihat ekspresi Amanda. Pasiennya ini ternyata ingin memberikan makanan kepadanya. Ini bukan yang pertama kali, batin Abi. Jujur dia merasa sedikit takut saat melihat tatapan malu-malu dari Amanda. Abi takut Amanda mulai menyukainya. Dia tidak suka itu.
"Terimakasih, hati-hati ya, jangan sampai terluka saat memasak." ucap Abi serius. Amanda mengangguk, merasa senang karena perhatian dokternya.
"Pancake kemarin, apakah enak Dok?" tanya Amanda, wajahnya penuh dengan harapan.
"Enak" jawab Abi singkat, raut wajahnya berubah datar. Lelaki itu berbohong. Dia teringat pemberian Amanda dulu, Abi hanya memakan satu, sisanya dia berikan pada satpam di apartemen. Dia bahkan tidak terlalu ingat rasa masakan Amanda itu.
Senyum di wajah Amanda langsung merekah saat masakannya dipuji oleh Abi. Hatinya berbunga-bunga. Abi bisa melihat dengan jelas binar bahagia di sorot kedua mata Amanda.
"Saya permisi naik dulu, terimakasih brownisnya" lanjut Abi lagi.
"Ah, iya. Dokter pasti lelah ya, maaf sudah mengganggu Dok, selamat menikmati" balas Amanda. Abi tidak menjawab, dia hanya membungkukkan sedikit badannya sebelum masuk kembali ke dalam lift untuk kembali ke apartemennya.
Amanda masih menatap lekat dokternya itu. Dia tersenyum manis sebelum pintu lift itu benar-benar tertutup dan wajah Abi hilang dari pandangannya. Amanda merasa lega sekaligus senang. Abi mengatakan masakannya terasa enak. Hatinya langsung dipenuhi dengan bunga-bunga. Gadis itu langsung masuk ke dalam apartemennya, dia segera menuju taman di balkon.
Sampai di apartemen, Abi hanya meletakkan bungkusan berisi brownies pemberian Amanda. Bungkusan itu masih terasa hangat, sepertinya Amanda memang baru selesai memanggang. Hati Abi merasa gundah. Dia sadar ada perasaan lain di kedua mata Amanda setiap mereka bertemu. Gadis itu selalu repot memberikan makanan untuknya. Abi takut ada alasan lain selain ucapan terimakasih. Abi hanya berharap gadis itu tidak menyukainya, karena sikap Abi yang ramah dan perhatian pada pasiennya itu akan berubah bila Amanda mulai menyukai Abi.