Abi masuk ke apartemen barunya. Badannya terasa penat usai melakukan dua operasi. Baru dua minggu dia menempati apartemen ini. Abi sengaja mengambil tempat disini karena tidak terlalu jauh dari rumah sakit keduanya. Selama dua minggu pula Abi sering menikmati kesendiriannya di balkon apartemennya. Salah satu daya tarik dari apartemen ini adalah balkon yang mempunyai pemandangan lampu kota yang cantik sekali. Itu juga alasan Abi membeli apartemen ini. Satu hal yang mengusik Abi adalah taman tetangga apartemennya yang cantik sekali. Sayang apartemen tetangganya itu seperti tidak dihuni oleh siapapun. Dia selalu melihat lampu apartemen itu tidak menyala, tapi tamannya tetap tertata rapi, Abi pikir pasti ada orang yang selalu menata taman itu walaupun si empunya apartemen tidak ada di tempat. Orang kaya memang hebat, pikir Abi dalam hati.
Malam ini berbeda, apartemen itu tampak lebih terang. Abi penasaran dia ingin melihat siapa tetangga apartemennya itu. Perlahan Abi keluar menuju balkonnya. Dia melirik ke arah kanan memperhatikan seorang wanita tengah duduk di bangku taman itu, tidak terlalu jelas, Abi tidak bisa melihat wajah wanita muda itu karena terhalang oleh silaunya lampu taman. Abi menggeser posisinya berdiri. Secara bersamaan, wanita itu pun berjalan menuju balkon. Betapa terkejutnya Abi saat dia mendapati wanita itu berjalan terpincang-pincang dengan menggunakan kruk, kepalanya pun masih disangga dengan sebuah alat penyangga leher. Bukan keadaan wanita itu yang membuat Abi terkejut, tapi wajahnya. Abi kenal wanita yang menjadi tetangganya itu. Itu Amanda, pasiennya yang baru saja dia pulangkan dari rumah sakit hari ini. Abi tidak langsung memanggil, dia memperhatikan dengan seksama pasiennya itu. Abi selalu menangkap rasa sedih dan kesepian setiap kali melihat wajah Amanda. Dia seperti berkaca pada cermin saat menatap kedua mata indah Amanda, seakan Abi bisa merasakan kalau Amanda sangat kesepian, banyak kesedihan dari sorot mata itu.
"Bu Amanda!" panggil Abi, akhirnya, setelah beberapa saat hanya menatap Amanda dalam diam. Gadis yang Abi panggil mulai merasa terganggu, dia mencari sumber arah suara tapi tidak berhasil menemukannya, badannya berbalik tapi dia belum menyadari kehadiran Abi.
"Bu Amanda, di atas sini!" teriak Abi lagi. Kali ini Amanda langsung menemukan suara yang mengusik dirinya.
"Dokter Abi?" ucap Amanda. Pupil matanya melebar, seakan hatinya tidak percaya akan apa yang dia lihat. Saat menyadari suara itu memang benar berasal dari Abi, senyuman Amanda merekah. Hatinya terasa dipenuhi taman bunga, mirip dengan taman cantik yang baru di apartemennya. Setiap kali Amanda bertemu, mendengar suara Abi atau bersentuhan dengan dokter bedah sarafnya itu, Amanda merasa perasaan aneh, seperti banyak kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Rasa yang belum pernah Amanda alami sebelumnya. Amanda tidak mengerti sama sekali.
"Ibu tinggal disini? Kalau begitu kita tetangga" lanjut Abi. Senyuman Amanda semakin merekah. Tetangga, berarti dia bisa melihat dokternya itu setiap hari, pekik Amanda dengan riang dalam hatinya. Tapi air mukanya tetap tenang, dia mengangguk sambil tersenyum.
"Dokter tinggal disini?" Amanda mencoba memberikan pertanyaan retoris demi memastikan dirinya kalau Abi memang benar tinggal satu lantai di atasnya. Dokter itu mengiyakan.
"Taman di sana" Abi tiba-tiba menunjuk taman baru di balkon Amanda.
"Ya?" balas Amanda tidak mengerti.
"Saya suka melihat taman Ibu" lanjut Abi. Amanda tersenyum senang. Seketika itu dia ingin menaikkan gaji Latissa. Kalau bukan karena Latissa terlalu berinisiatif untuk menyenangkan bosnya, tidak akan ada taman cantik ini. Balkon Amanda dulu hanya balkon membosankan dengan sebuah kursi besi berwarna hitam dan sebuah meja kecil yang Amanda taruh disana bila dia sedang menikmati pemandangan kota dimalam hari, sama sekali tidak cantik seperti sekarang. Latissa pantas menerima kenaikkan gaji atau bonus yang besar bulan depan, pikir Amanda.
"Tamannya cantik" ucap Abi lagi.
Amanda tersipu malu mendengarnya. Wajahnya terasa panas. Dia segera mengembalikan kesadarannya. Ya ampun Amanda, sadarlah. Dokter itu memuji tamannya, bagaimana bisa Amanda merasa dirinya yang dipuji, batin Amanda, memarahi dirinya sendiri. Untung saja hari sudah malam dan jarak mereka cukup jauh, sehingga Abi tidak menyadari wajah Amanda memerah karena tersipu malu. Tiba-tiba terlintas di kepala Amanda sedikit ide gila, entah darimana datangnya, apa dia mengundang dokter Abi untuk melihat taman barunya, atau sekalian mengajak dokter itu untuk makan malam, tapi Amanda mengurungkan niatnya, sepertinya terlalu cepat, batinnya. Dia tidak ingin terlihat terlalu bersemangat. Amanda merasa malu sendiri dengan apa yang dia rasakan.
"Terimakasih Dok" akhirnya balas Amanda. Hanya itu yang bisa dia katakan.
"Ah, Ibu pasti capek karena baru pulang, silakan istirahat Bu, saya masuk dulu" balas Abi. Dia mengangguk dengan sopan, lalu masuk ke dalam. Amanda belum sempat membalas kalimat Abi, tapi lelaki itu sudah masuk kembali ke dalam apartemennya. Amanda hanya bisa menatap punggung lebar yang semakin lama semakin menjauh dan akhirnya menghilang.
"Masih ada lain waktu Manda, jangan terburu-buru" ucap Amanda pada dirinya sendiri.
Didalam apartemen, tanpa sadar Abi tersenyum sendiri. Ini benar-benar pertemuan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Satu bulan lebih merawat Amanda, membuat Abi punya perhatian khusus pada pasiennya itu. Selain karena kondisi luka Amanda cukup serius, Abi merasa gadis itu selalu kesepian. Abi tahu ini tidak benar, tapi dia sulit mengelak dirinya untuk tidak memperhatikan Amanda.