Amanda membuka matanya pelan-pelan. Dia bingung berada dimana. Ruangan ini sangat terang dengan cahaya putih sehingga menyilaukan kedua matanya. Dia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas. Amanda memilih untuk menutup kembali matanya. Gadis itu merasa sangat mengantuk, berusaha sekuat tenaga untuk menahan kantuknya. Dia mencoba memanggil seseorang, tapi ada sesuatu yang terpasang di mulut dan rongga pernapasannya, Amanda mencoba lagi, tapi suara yang keluar bukan sebuah kalimat, hanya berupa erangan-erangan yang tidak jelas apa isinya. Dia membuka matanya lagi pelan-pelan. Kali ini Amanda bisa melihat dimana dia berada. Ruangan berbilik kaca dengan tirai berwarna biru muda. Ada alat besar disamping tubuhnya yang menunjukkan banyak angka dan berbunyi beraturan. Amanda berusaha menggerakkan kedua tangannya, tapi hanya tangan kirinya yang bergerak dan Amanda hanya bisa menggeser posisi tangannya, sedangkan tangan kanannya sama sekali tidak bergerak, hanya jari kelingkingnya saja yang ia rasa melakukan gerakan, selebihnya terasa kaku. Dia menyadari ada banyak selang yang terpasang diseluruh bagian badannya, entah alat apa saja itu. Amanda mulai merasakan kepalanya berdenyut, lehernya tegang dan kaku, ada penyangga yang melingkari lehernya. Amanda tahu dia berada dimana, ini pasti ruangan intensive rumah sakit. Dia ingat dulu saat Ibu Angella sakit sebelum meninggal, para dokter membawa untuk dirawat diruangan seperti ini.
Amanda mengerang lebih keras, mencoba memanggil seseorang, siapa saja yang bisa mendengar dirinya. Amanda ingin berbicara. Dia ingin bertanya banyak hal. Tidak ada yang datang, Amanda mengerang lagi sekuat tenaga. Dia berhasil. Ada seorang wanita berusia sekitar 40 tahunan masuk ke ruangan Amanda. Wanita itu memeriksa Amanda sebentar.
"Wah, sudah sadar ternyata. Dokter Abi pasti senang melihat Ibu akhirnya sadar" ucap wanita itu sambil tersenyum manis pada Amanda. Gadis itu mencoba berbicara, tapi erangan-erangan itu kembali terdengar.
"Iya, pasti tidak nyaman, Ibu ini mengalami kecelakaan, empat hari yang lalu baru selesai dioperasi, sekarang di ICU dan masih memakai alat bantu napas, pasti tidak nyaman, sabar ya" ucap perawat itu pada Amanda. Dia bergegas keluar tanpa menunggu Amanda membalas kalimatnya. Perawat itu sudah tidak sabar untuk memberitahukan pada dokter bedah saraf yang sebelumnya mengoperasi Amanda.
Banyak pertanyaan muncul dibenak Amanda, satu persatu potongan memori berusaha dia rangkai. Mulai dari saat dia berangkat untuk syuting parfume dengan karyawannya dan Adrianne. Semua itu membuat kepalanya bertambah nyeri.
"Dok, Ibu Amanda, pasien di ICU, sudah sadar tadi Dok" ucap perawat itu.
"Oh ya Bu? Saya kesana sekarang" ucap Abi. Dokter Abimana, atau lebih sering dipanggil Abi, adalah salah satu dokter bedah syarat bagian spine yang terkenal. Sudah banyak kasus trauma tulang belakang dia kerjakan. Kebanyakkan memang akibat kecelakaan lalu lintas. Dokter ini sedikit khawatir karena Amanda tidak kunjung sadar, padahal cedera otaknya tidak terlalu berat dan sudah teratasi, ditambah tanda vitalnya dalam keadaan stabil, seolah-olah pasiennya itu memang tidak mau sadar saja dan sengaja membuatnya cemas dari awal dia bertemu hingga sekarang. Kabar Amanda sudah sadar, membuat Abi merasa lega.
Amanda melihat sesosok pria masuk, mengenakan jas putih. Pandangan mata Amanda masih berkabut dan dia masih mengantuk, tapi Amanda bisa mendengar dengan jelas suara pria itu.
"Halo nona putri tidur, akhirnya kamu bangun juga, saya sudah cemas menunggu kamu bangun" ucap lelaki ber- jas putih itu. Walaupun penglihatan Amanda tidak terlalu jelas, tapi Amanda bisa melihat senyuman sangat tulus. Hati Amanda merasa tenang dibuatnya. Pria itu mulai memeriksa Amanda.
"Sampai jumpa besok ya" ucap pria itu lagi. Dia keluar dari ruangan. Amanda berusaha memanggil pria ber jas putih itu. Tangannya juga berusaha menggapai pria itu. Tapi percuma, dia tidak bersuara dan tangannya hanya bergerak kecil. Beberapa saat kemudian, seorang perawat masuk dan memasukkan sesuatu melalui selang infusan. Amanda tiba-tiba mengantuk dan kembali tertidur.
Amanda terbangun setelah tidur yang cukup panjang. Dia lebih tenang sekarang. Perawat tidak perlu memberikan obat tidur lagi seperti sebelumnya. Amanda bahkan sudah bisa diajak berkomunikasi, walaupun hanya dengan gerakan mata, gelengan atau anggukan kecil dan erangan yang pelan. Beberapa jam kemudian, seorang pria masuk, dia adalah dokter yang sebelumnya. Amanda mengikuti gerakan dokter tersebut dengan ekor matanya. Dokter itu datang untuk mencabut selang pernapasan Amanda. Dengan terampil lelaki itu mengerjakan tindakan medis itu dengan cepat. Hanya dalam hitungan menit, Amanda sudah bisa bernapas tanpa menggunakan alat bantu napas atau ventilator lagi.
"Coba bernapas yang teratur ya" ucap dokter itu. Amanda menurut. Dia bernapas pelan dan teratur, mencoba untuk tidak panik.
"Ok, Bu Amanda, saya dokter Abimana, saya dokter bedah saraf Ibu. Bu Amanda mengalami patah tulang belakang di daerah leher, yang menyebabkan ibu lumpuh di bagian paru-paru sebelah kanan dan sebagian besar anggota gerak bagian kanan. Jangan panik, ini biasanya bersifat sementara. Ibu sudah kami pasangkan plate untuk menyambung tulang belakang ibu yang patah, kita lihat hasilnya sekarang paru-paru kanan sudah bisa bergerak dengan normal, makanya saya tidak lagi memasang alat bantu napas untuk ibu. Kita hanya perlu melatih kekuatan alat gerak ibu bagian kanan, pelan-pelan ya." jelas dokter Abi.
Amanda hanya bisa mengangguk, dia sedih mendengar penjelasan pria dihadapannya. Dia sudah memikirkan bagaimana melanjutkan kehidupannya bila dia lumpuh, siapa yang akan mengurus dirinya, bagaimana dengan perusahaannya, semua muncul dipikiran Amanda. Tanpa sadar air matanya mengalir di kedua sudut matanya.
Abi melihat hal itu. Hatinya merasa iba dengan pasien ini. Wanita ini masih sangat muda, Abi juga mendengar kalau dia adalah salah satu pengusaha wanita yang sukses. Tapi dia mengalami nasib yang sangat buruk. Patah tulang belakang di bagian leher termasuk kasus yang berat dan perawatan setelahnya juga lumayan memakan waktu lama untuk sampai bisa berjalan seperti biasa lagi. Abi juga memperhatikan, selama wanita ini dirawat, tidak ada satu pun keluarga atau teman-teman yang datang kepadanya. Hanya sekretaris pribadinya saja, yang datang, itu pun hanya satu atau dua kali selama lima hari dia dirawat di ICU, bahkan rumah sakit kesulitan meminta persetujuan wali pasien.
"Jangan sedih, saya enggak akan biarkan pasien lumpuh selamanya, kita berjuang sama-sama ya, saya bantu Ibu Amanda." bisik Abi sambil menyeka air mata di kedua pipi Amanda dengan sebelah tangannya, lalu sebelah tangan lagi menggenggam jemari Amanda yang masih terasa kaku dan tidak dapat bergerak. Hati Amanda terasa hangat saat dokter itu menyentuh wajahnya. Ini kali pertama dia mengalami hal ini. Mereka saling bertatapan, Amanda dapat melihat ketulusan hati dokter yang merawatnya. Dia tersenyum bahagia. Abi ikut tersenyum melihatnya.