"Saya lapar, saya mau makan, kenapa saya tidak diberikan makanan siang ini?!" Amanda mulai marah kepada perawat yang sedang bertugas. Sedari tadi dia tidak diberikan, padahal sudah hampir pukul 2 siang. Biasanya makanan untuk makan siang sudah selesai diantarkan paling lama pukul 12.00, tapi kali ini lama sekali. Siang ini Amanda merasa perih sekali pada daerah ulu hatinya. Dia tahu ini pasti karena dia tidak makan seharian. Amanda tidak tahan lagi, dia memutuskan untuk memanggil perawat supaya segera memberikan dirinya makan siang, tapi perawat menolak permintaannya, membuat Amanda menjadi marah.
"Maaf Ibu, tapi sesuai perintah dokter Abi, tidak diberikan makan siang dulu" jawab perawat dengan suara takut. Pasien VVIP kali ini benar-benar meresahkan semua perawat. Setelah seharian menolak untuk makan dan minum obat, pagi tadi perempuan cantik itu mengamuk saat petugas gizi mengantarkan makanan. Amanda mendorong meja berisi peralatan makan dengan kasar, yang membuat semuanya terjatuh di lantai dan piring makannya juga terpecah berantakan.
"Dokter Abi mau saya mati karena tidak diberikan makan? Mana dia? Seenaknya saja membuat pasien mati kelaparan, suruh dia kesini!" tanya Amanda dengan kasar.
"Kamu enggak bakalan langsung mati kalau cuman skip makan siang" ucap Abi, dia tiba-tiba sudah berada di pintu masuk. Dokter itu menyilangkan kedua lengannya didepan dada dan bersandar di dinding pintu masuk kamar Amanda. Perawat langsung tersenyum lega, akhirnya dokter Abi datang juga, batinnya. Abi meminta perawat itu untuk segera pergi, dia kasihan mendengar laporan mengenai Amanda. Gadis itu berubah 180° hanya dalam satu malam. Dia mengamuk. Amanda biasanya sangat tenang, tapi ini berbeda. Abi meminta perawat untuk tidak memberikan makanan, kalau lapar pasti akan makan, pikir Abi. Ternyata pemikirannya itu benar, buktinya sekarang wanita dihadapannya itu mengamuk karena kelaparan.
"Saya lapar" ucap Amanda, wajahnya terlihat marah sekali, matanya menatap tajam dokter tampan dihadapannya. Bagaimana bisa seorang dokter tidak memberi pasiennya makan sesuai jadwal, batin Amanda. Sudah hampir dua hari dia tidak makan. Saat ini Amanda merasa sangat lapar, tapi tiba-tiba perawat mengatakan instruksi dokter penanggungjawab dirinya untuk tidak memberikan makanan.
Abi menghela napas panjang. Kalau bukan karena kasihan, pasien ini sudah dia pulangkan hari ini, ucapnya dalam hati.
"Kata petugas gizi dan perawat pagi tadi, Ibu Amanda membuang dan memecahkan semua peralatan makan, betul?" tanya Abi.
Amanda terdiam, dia membuang muka. Rasa marah, kesal tapi juga malu ada semua dia rasakan. Abi berjalan mendekat. Amanda melirik dari ujung ekor matanya.
"Kalau tidak mau makan, ya sudah, siang ini saya kabulkan permintaan Ibu pagi tadi, tidak usah makan. Daripada makanan itu ibu buang dan hancurkan alat makan seperti tadi pagi. Lebih baik makanan Ibu buat kucing-kucing liar di sekitar rumah sakit." ucap Abi dengan santai.
Amanda langsung membesarkan kedua bola matanya saat mendengar kalimat Abi. Bola mata besarnya seakan-akan ingin keluar saking marahnya dengan ucapan Abi barusan. Seenaknya saja dokter ini mengeluarkan kalimat seperti itu pada pasiennya. Bagaimana bisa Abi memilih memberikan makanan Amanda pada kucing liar.
"Maksudnya?!" ucap Amanda dengan ketus.
"Saya hanya mengikuti kemauan Ibu. Dari kemarin ibu menolak makan, tadi pagi juga. Jadi saya putuskan, tidak usah diberikan makanan siang ini, daripada nanti jadi terbuang percuma, seperti pagi tadi." ucap Abi dengan tenang.
Amanda menggigit bibir bawahnya, antara merasa malu dan kelaparan. Kalau bukan karena asam lambungnya yang sudah menyiksanya sedari tadi, Amanda pasti bertahan. Tidak makan sehari, dia sudah biasa, tapi Amanda sebelumnya mendapatkan obat anti nyeri untuk luka operasinya, yang membuat lambung Amanda merasa tidak nyaman, apalagi ditambah dia tidak makan kemarin juga tidak minum obat. Semua rasa nyeri, lapar dan mual membuat Amanda tersadar, dia harus segera menghentikan sikap konyolnya ini, kalau tidak mau mati konyol juga.
"Maaf" ucap Amanda pelan. Abi menajamkan kedua telinganya, tidak terlalu jelas mendengar kata yang terucap dari bibir Amanda.
"Hmm?" tanya Abi, keningnya berkerut.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam sebelum mengulangi kata-katanya lagi.
"Saya bilang saya minta maaf" ucap Amanda dengan suara lebih keras. Kalimat yang hampir tidak pernah Amanda katakan setelah dia sukses selama beberapa tahun belakangan ini.
"Saya cuma merasa putus asa karena tangan saya masih juga tidak bisa bergerak seperti biasa" lanjut Amanda lagi. Wajahnya menunduk, sedih.
Melihat perubahan air muka Amanda. Abi menurunkan emosinya. Dia tadi sudah bersiap-siap untuk mengomeli Amanda, tapi Abi mengurungkan niatnya, dia bisa merasakan wanita dihadapannya ini sangat putus asa. Abi mengambil ponselnya, lalu mencari beberapa gambar.
"Kamu tahu siapa ini?" tanya Abi, menyerahkan ponselnya untuk Amanda lihat. Amanda hanya melirik dari sudut matanya. Ada gambar seorang pria dengan trofi di tangan kanannya, pria itu tersenyum bahagia. Dibawahnya Amanda membaca tulisan juara 1 maraton tahun 2019.
"Tidak tahu" jawab Amanda.
"Dia salah satu pasien saya, dua tahun lalu" cerita Abi. Pria itu mengambil ponselnya, mencari beberapa gambar, dan menyerahkan kepada Amanda lagi.
"Ini dia setahun sebelumnya. Namanya Pak Heru, dia kecelakaan motor bersama istrinya. Kondisinya mirip seperti kamu. Bedanya pak Heru terkena pneumonia (¹) setelah pemasangan ventilator, jadi dia harus dirawat di ICU lebih lama. Sebelah tubuhnya lumpuh waktu itu, tapi lihat dia sekarang." Abi tersenyum sebentar.
Amanda memandangi foto di layar ponsel Abi, ada seorang pria dengan selang napas dan beberapa selang lain yang berada di tubuhnya. Persis dengan kondisi Amanda saat di ICU beberapa hari yang lalu.
"Sekarang Pak Heru rutin ikut maraton, setahun yang lalu dia jadi juara" lanjut Abi lagi. Amanda masih diam, tidak bersuara.
"Sedih itu wajar, tapi bukan berarti harus putus asa. Tugas saya adalah membantu Ibu untuk sembuh, tugas Ibu adalah tetap semangat dan tidak putus asa. Saya tidak bisa membantu Ibu, kalau Ibu tidak membantu diri Ibu sendiri" jelas Abi. Dokter itu tersenyum. Amanda merasakan hatinya merasa tenang setiap melihat senyuman manis dari dokter penanggung jawabnya itu. Amanda hanya bisa mengangguk, dia terlalu malu untuk berbicara.
"Oke, saya tinggal sebentar, mungkin Ibu bisa berpikir selama saya tidak ada, memutuskan Ibu ingin saya bantu untuk sembuh atau tidak." lanjut Abi. Amanda baru saja hendak membuka mulutnya tapi dokternya sudah menyela.
"Kadang, saat merasa lapar kita bisa berpikir jernih. Sudah jam 2 lewat, makan malam ada sekitar pukul 5 sore, sebentar lagi, saya biarkan ibu berpikir sambil menunggu makan malam datang, tenang saja, menunggu tiga jam lagi, tidak akan membuat ibu mati kok. Kalau Ibu memutuskan untuk tidak melanjutkan terapi, saya akan memulangkan Ibu malam ini juga" lanjut dokter itu sambil berlalu pergi. Amanda ingin menjawab, tapi pria itu sudah hilang dari pandangannya.
Beberapa saat kemudian, perawat jaga masuk dengan membawa peralatan untuk memasang infus.
"Dipasang infus dulu ya Bu, ada beberapa obat terlewat yang harus segera dimasukkan" ucap perawat itu dengan wajah takut. Amanda hanya mengangguk. Dia tidak punya pilihan lain, selain kembali menjadi pasien yang penurut.