Dicky… Dicky….. Dicky…..Dicky….. Dicky…. Dicky…. Dicky…. Dicky….
Nama itu terus-menerus terucap keluar dari mulut Arina. Berulang-ulang. Tanpa henti. Tanpa jeda. Seperti sebuah mantra. Bukan…
Tepatnya seperti hembusan nafas yang mengalir keluar secara alami dari paru-parunya. Nama itu seperti perpanjangan nyawanya. Tempatnya berlindung dan bernaung.
Airmata terus mengalir deras dari kedua pelupuk mata Arina ketika langkahnya semakin mendekat ke arah pemuda tersebut. Lalu, ketika mereka berdua benar-benar sudah sangat dekat, Arina melompat.
Menghambur masuk ke dalam bentangan tangan pemuda tersebut yang langsung mendekapnya dengan sangat erat. Memeluknya bagaikan itu adalah hari terakhir untuk mereka bisa bertemu kembali. Dicky….
Arina bisa mencium bau nikotin yang sangat kuat dari tubuh pemuda ini. Ia hafal benar aroma ini. Aroma Dicky-nya. Aroma yang sama ketika mereka berdua terpaksa berpisah karena kematian. Aroma yang menempel di bibirnya ketika Dicky menciumnya dengan sangat mesra sebelum ia benar-benar berpulang setahun yang lalu.
"Arina…" bisik pemuda tersebut dengan lembut di telinga Arina.
"Dicky…"
"Jangan.... pergi….. lagi...."
"Kumohon...."
"Arina.."
Ia bisa merasakan kalau Dicky tengah mengusap-ngusap kepala dengan jari-jari kapalannya. Ini Dicky-nya. Dan, untuk kali ini, ia takkan melepaskan pemuda itu. Sama sekali.
"Tinggallah….."
"Aku benar-benar... membutuhkanmu….."
Jika ini adalah mimpi, ia tak ingin terbangun lagi.
Ia mau tinggal di sini.
Selamanya.
"Arina….."
Tanpa menunggu lagi, Arina langsung memagut bibir pemuda tersebut...
......…
"Hmmmphhhhhhhh…."
Leo terkejut bukan kepalang ketika Arina tiba-tiba mencium paksa dirinya saat ia tengah berjuang keras untuk melepas dirinya dari pelukan ketat Arina. Tapi gadis itu malah mendekapnya semakin kencang. Betul-betul erat sampai Leo mengumpati dirinya sendiri karena ia mulai tak bisa menahan dirinya lebih lagi.
Sebuah perasaan asing mulai menggelegak naik di dalam dadanya. Menjalar panas dari tubuh area bawahnya dan memacu libidonya. Batang pusakanya mulai menegang keras sementara tubuh Arina yang lembut dan hangat terus menggeliat-geliat di dalam pelukannya. Lagi….
Dan lagi…
Ketika bibir ranum gadis tersebut menyentuh bibirnya. Tidak. Melumatnya paksa malahan. Memberikan sebuah sensasi dan geleyar baru di dalam dirinya. Yang anehnya….
Juga terasa nikmat di saat yang berbarengan.
"Jangan …pergi…..tolong….."
"Tinggal….."
"Aku..."
"Membutuhkan….mu…."
Dan Leo tak menahan dirinya lagi.
...........
Tubuh Dicky menindihnya paksa sembari bibirnya tak henti melumat bibir Arina yang berada di bawahnya. Tangan Arina sendiri terus bergerak liar melucuti pakaian Dicky yang tengah berada di atasnya. Dalam waktu singkat, seluruh baju di tubuh mereka lepas sudah. Kini badan keduanya benar-benar sudah polos tanpa busana. Ciuman panas mereka makin menggila. Lidah dan bibir Dicky terus bergerak liar di tubuh Arina tanpa kendali. Memberikan banyak tanda-tanda merah di leher, pundak, dada, dan seterusnya. Membuat Arina terus mendesah dan mengerang nikmat ketika Dicky melakukan semua hal itu kepadanya. Sebuah hal yang seharusnya mereka berdua lakukan jauh-jauh hari sebelumnya ketika mereka menyadari perasaannya masing-masing sebelum terlambat. Tapi Arina tak peduli lagi.
Dicky di sini. Pemudanya itu ada di sini. Di dalam rengkuhannya. Dan ia sedang memeluknya erat ketika Dicky terus-menerus memberikannya kecupan dan mengirim semua getaran seksual ke seluruh titik erogenus tubuhnya tanpa henti. Menerbangkannya ke sebuah puncak kenikmatan lalu ke puncak kenikmatan berikutnya. Lagi. Dan lagi. Tanpa berhenti. Membuat Arina mengerang erotis tanpa ragu. Lalu, ketika mereka berdua sudah siap…
Dicky menghujamkan kejantanannya masuk ke dalam tubuh Arina dalam sekali gerakan. Dicky langsung melenguh nikmat di atas tubuhnya ketika ia merasakan betapa sesak dan hangatnya bagian dalam kewanitaan Arina. Miliknya. Sesuatu yang yang tak pernah disentuh oleh pria lain, kini ia miliki sekarang. Wanitanya.
Mahkota keperawanan Arina. Sesuatu yang sudah ia idam-idamkan dari dulu.
"Arina…." desah Dicky lembut saat ia mulai memompa masuk ke dalam liang kewanitaan gadis tersebut.
......…..
Tubuh Leo mulai bermandi peluh sambil tersenyum puas saat memandangi tubuh wanita pujaannya dipenuhi oleh berbagai tanda cinta berwarna kemerahan yang dibuat olehnya barusan. Nafasnya terengah-engah. Berpadu harmoni dengan nafas Arina yang juga tersengal-sengal di bawah tindihannya. Tapi ia belum berhenti. Arina pun belum puas.
Dan mereka berdua kembali berciuman dan saling melumat bibir lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Kedua lidah mereka saling mencecap dan menari dengan liarnya di dalam mulut masing-masing dengan penuh gairah dan hasrat yang menggelegak sampai ke ubun-ubun. Tanpa logika. Hanya ada hati dan perasaan yang bermain saat ini.
Tubuh Leo pun kembali bergerak naik turun dengan intens. Memgirimkan setiap getaran sensual serta kenikmatan tanpa akhir kepada mereka berdua.
.........…
Arina kembali mengerang nikmat. Walaupun ini pertama kalinya untuk gadis tersebut dan ada rasa yang tajam saat milik Dicky memasuki mahkotanya, tapi berangsur-angsur, rasa sakit itu mulai menghilang perlahan-lahan. Berganti dengan kenikmatan tanpa akhir yang menumpulkan akalnya. Ia tak lagi mampu berpikir. Gelombang sensual mengaliri tubuhnya tanpa jeda. Membuatnya mendesah. Melenguh. Berteriak erotis. Seperti candu. Yang ingin ia nikmati terus. Berulang-ulang. Tanpa akhir.
Sampai akhirnya, tubuh Arina melengkung ke belakang. Berbarengan dengan tubuh Dicky yang juga menegang. Sebuah cairan hangat terasa mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Berbarengan dengan cairan miliknya juga. Pelepasan. Orgasme. Jeda sesaat dari puncak dunia.
.........…..
Tubuh Leo langsung ambruk sesaat setelah ia menumpahkan cairan benihnya di dalam tubuh Arina. Ia merasa letih tapi puas. Tubuh mereka berdua banjir keringat. Mata Arina masih terpejam tapi sebuah senyum manis ada di bibirnya. Leo lalu mengubur kepalanya di dalam ceruk leher gadis tersebut dan menghirup aroma tubuh Arina dalam-dalam.
"Arina….Arina…." bisiknya pelan dengan mesra.
.........
Semilir angin sepoi-sepoi membelai tubuh telanjang mereka berdua. Arina bisa merasakan sengatan sinar matahari hangat di atasnya. Lalu, langit biru yang membentang luas sejauh mata memandang. Bau rumput yang segar. Dunianya. Dunia Dicky. Dunia mereka berdua.
"Arina…"
Suara lembut Dicky memanggilnya sekali lagi. Arina menoleh ke samping.
Pemuda tersebut sama sekali tidak berubah. Nafasnya yang berbau nikotin. Pandangan kedua matanya yang teduh. Dan genggaman tangannya yang hangat dan menenangkan. Arina menutup matanya untuk merekam memori ini di dalam kepalanya.
"Arina…."
"Dengarkan aku…."
Mata Arina terbuka sekali lagi. Dicky membantunya untuk duduk dan memakaikan baju atasannya. Kedua matanya menatap Dicky dengan penuh harap.
"Maaf…."
"Tapi aku harus pergi…"