Leo sedang bersantai di penthousenya sambil meminum segelas wine ketika ia menerima telepon dari Rogard mengenai acara pembukaan café skydining yang akan dibuka dua hari dari sekarang. Dan, ketika ia mendengar kabar tersebut, hanya ada satu hal yang ada di dalam pikirannya sekarang. Sang dewi. Arina.
Astaga….
Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Leo sangat bersemangat. Sebuah makan malam romantic bertabur bintang di atas langit dengan warna-warni cahaya lampu di bawah kaki mereka. Memandang cantiknya pemandangan malam hari. Menatap wajahnya. Melihatnya tersenyum dan tertawa. Betapa Leo sangat menginginkan hal itu semua.
Ia bahkan membeli wangi cologne yang digunakan oleh Arina dan menyemprotkannya setiap hari di atas kasurnya. Dengan menghirup wangi yang sama setiap hari, membuat Leo bisa bermimpi indah setiap malam. Seakan-akan Arina sedang berada di sisinya setiap saat. Berada di tempat tidurnya. Berbaring di sampingnya. Berbisik. Mengatakan betapa ia sangat mencintai pemuda tersebut. Betapa berartinya dirinya untuk Arina.
Gila? Ya… ia segila itu….
Hanya ada satu perempuan yang mampu membuatnya mabuk seperti ini.
Arina.
Leo melirik jam tangannya. Pukul 19.00. Kurang lebih 2 jam dari sekarang, ia akan menelepon gadis pujaannya tersebut.
.........…..
Beberapa jam berikutnya….
Di dalam bangunan hangar bekas yang luas tersebut, sesosok tubuh wanita bertubuh mungil sedang terpasung lemas tanpa daya. Matanya masih terpejam karena efek obat bius yang dipaksakan sebelumnya. Tubuhnya yang terbuka terpapar udara dingin yang sedang berhembus kencang malam tersebut.
Arina menggigil kedinginan. Perlahan, ia membuka matanya. Tubuhnya terasa lemas sekali. Seakan-akan tak bertulang. Pandangan matanya mengabur. Ia sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya. Arina berusaha keras untuk menggerakkan tubuhnya. Tapi suara logam yang bergemerincing, langsung menyadarkannya.
FUCK!!!!!
IA TERSALIB!!!
Tubuhnya hampir telanjang dan hanya mengenakan bra serta celana dalam saja. Dan kedua tangan serta kakinya terpasung dengan sebuah borgol kulit yang terpasang dengan rantai logam dan terikat kuat dengan sebuah salib berbentuk X. Arina berusaha keras untuk memutus borgol rantai yang memasung kedua tangannya sekarang dengan cara menggoyang-goyangkan rantai itu sekuat tenaga. Bunyi gemerincing logam pun semakin keras. Menunjukkan betapa kuatnya perlawanan seorang Arina akan nasibnya sendiri.
Tubuhnya mulai berkeringat. Tapi Arina belum mau menyerah. Tidak sekarang!!!
Dicky selalu mengajarkan kepadanya untuk selalu berjuang sampai titik darah penghabisan. Tapi jika musuh terlalu kuat untuk dilawan…
LARI!!!
Tapi kini Arina tidak punya kedua pilihan tersebut. Ia bagaikan seekor hewan yang sudah terjebak masuk ke dalam sebuah perangkap rahasia tanpa ada celah atau jalan keluar sama sekali. SIALAN!!!!
"Per….cu…ma….."
Sebuah suara dingin menghentikan perlawanan Arina seketika. Arina memalingkan wajahnya dan menatap seorang pria bertubuh besar di hadapannya yang sedang menatapnya dengan tatapan mengejek. Pria besar itu lalu duduk dengan santai sambil menghisap cerutu. Asap cerutu mengepul keluar dari mulutnya diiringi senyum penuh kemenangan.
Wajah pria itu terlihat seperti seorang pengusaha besar. Dengan jas bermerk yang dikenakannya serta sikapnya yang sangat bossy, Arina bisa menduga kalau pria besar ini bukanlah orang sembarangan. Ia bahkan bisa mencium bau uang yang pekat dari tubuh pria besar di depannya ini. Siapa dia?
"Sang Dewi Kematian…heh??"
"Pantas Dicky begitu sayang padamu. Kau benar-benar seorang wanita pejuang. Walaupun kau tahu posisimu sudah sangat terjepit tanpa jalan keluar, kau tetap masih berusaha melawan keras….."
Pria itu terkikik geli, tapi Arina merinding mendengarnya. Entah kenapa, perasaannya sangat tidak enak saat mendengar suara tawa pria besar tersebut.
"Luar biasa…."
"Sayangnya, semua kerja kerasmu akan berakhir di sini…"
"Kau masih ingat Robin Crux?"
Mata Arina langsung menyipit tajam saat mendengar nama itu disebut. Robin Crux???
Ya, ia tahu betul siapa pemuda tersebut. Terus? Orang ini adalah…?
"Mungkin kau pernah mendengar nama Bruno Club?"
Mata Arina seketika membulat. Bruno Club? Perkumpulan mafia yang terkenal dengan penjualan senjata ilegalnya? Apa hubungannya dengan Robin Crux?
"Nona Arina yang terhormat, aku adalah kakak kandung dari Robin Crux. Pemuda malang yang sudah kaubunuh dengan sadis setahun sebelumnya….."
"Senang berjumpa denganmu…"
"Dan malam ini, aku ingin menagih hutang darah atas nyawa para saudaraku di Santa Crux…"
Sebuah senyum bengis muncul di bibir Bruno Crux. Para pengawalnya juga mulai melangkah maju ke depan. Mendekati Arina.
Mendadak, ponsel Arina tiba-tiba berbunyi.
.........…
Leo menanti dengan sabar sampai akhirnya seseorang menjawab dering teleponnya dari seberang sana. Sebuah senyum lebar tersungging di bibirnya.
"Halo?"
"Arina??"
Tapi mata Leo langsung memicing tajam begitu ia mendengar suara penjawab teleponnya adalah seorang laki-laki. "Siapa ini??"
"Ah… kau pasti pacarnya. Maaf, Arina sedang sibuk sekarang…" kata Bruno sambil terkekeh.
"Oia…omong-omong, mungkin ini malam terakhirmu bisa melihatnya dalam keadaan hidup. Sebentar ya?"
Bruno menyalakan mode video call, dan mengarahkan ponsel tersebut ke arah tubuh Arina yang terpajang hampir telanjang dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Sebentar saja. Tapi cukup untuk memberikan pesan visual tentang keadaan Arina yang sebenarnya kepada Leo. Setelahnya, Bruno langsung memutuskan panggilan telepon.
"Mari kita mulai permainannya…" kata Bruno pelan sambil tersenyum keji.
.........…..
Layar ponsel Leo langsung retak begitu Bruno mematikan panggilannya. Leo lalu mengirimkan nomor ponsel Arina kepada Rogard dan meminta tangan kanannya tersebut untuk melacak koordinat terakhir dari lokasi tersebut. Ia sendiri langsung memakai jaket parka dan mengenakan helmnya.
Sorot matanya dipenuhi kebencian sampai ke ubun-ubun. Arina-nya tengah terancam bahaya!!! Dan siapa pun yang berani menyentuh wanita itu, akan langsung berhadapan dengannya!!!
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Leo. Menunjukkan titik GPS terakhir dari ponsel Arina. Hmm.. tidak terlalu jauh ternyata. Mungkin hanya membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 5 menit dari lokasinya menuju tempat tersebut.
Leo lalu menelepon Rogard dan mengeluarkan perintah.
"Rogard, siagakan The Troops. Ya! Kekuatan penuh!! Sekarang juga. Semuanya bergerak ke lokasi yang baru saja kaukirimkan tadi…"
Leo memasukkan pistol ke dalam saku jaketnya dan langsung memakai helm full face.
Arina!! Tunggu aku sekarang!!
..............
Beberapa kilometer dari lokasi tempat Arina disekap…
Sante dan rombongan Geng Tengkorak sedang bergegas menuju lokasi dimana Arina berada setelah ia menghabiskan waktu beberapa lama untuk melacak keberadaan serta identitas penculik Arina dari anggota geng Santa Crux yang tersisa. Semua motor besar tersebut dipacu dengan kecepatan tinggi dan ada sekitar tiga ribu motor yang sedang mengebut kencang di area jalan raya saat ini. Menembus berbagai kemacetan lalu lintas yang sedang terjadi.
Di dalam kepala Sante, bayangan Arina yang diculik paksa berputar berulang-ulang di dalam kepalanya. Menggerogoti hatinya dengan rasa bersalah yang teramat dalam. Kalau saja waktu itu ia bisa bergerak cepat. Kalau saja saat itu ia berhasil mengejar mobil van hitam tersebut…
Kalau saja…
Kalau saja….
Rasa penyesalan terus- menerus menggedor hatinya tanpa jeda. Di dalam kepalanya, ia hanya punya satu tujuan sekarang. Menyelamatkan gadis itu sekarang!
Arina!! Tunggu aku!!
.