Chereads / Second Love / Chapter 9 - (8). Peringatan

Chapter 9 - (8). Peringatan

Qiana

Aku masuk apartemen dengan langkah lunglai. Setelah tadi bertemu dengan Davie tanpa sengaja, aku nggak semangat untuk melakukan apapun. Bahkan aku harus meminta maaf karena 'kencan' pertamaku dengan Bang Rado harus gagal karena cowok itu.

Bang Rado bisa memahami, meskipun aku tahu dia kecewa. Seharusnya Bang Rado tidak mengalami kekecewaan seperti itu. Bahkan saat di dalam mobil saja, kami seperti orang asing yang nggak saling kenal.

Setelah aku membersihkan badanku, aku langsung ke dapur untuk membuat sesuatu yang bisa mengisi perutku. Aku lapar.

Hanya sepiring nasi goreng berukuran 'jumbo' dan ayam goreng krispy. Untuk sejenak, aku ingin melupakan masalah yang berputar di kepalaku. Berusaha menikmati apa yang aku makan.

Tapi baru beberapa suap aku mengisi perutku, bel apartemenku mengusikku. Apa Bang Rado datang? Pikirku. Aku meninggalkan makananku dan membukakan pintu untuk tamuku.

Mataku terbelalak lebar karena mendapati Davie bediri di sana dengan wajah yang kacau. Dia memang sudah mengganti pakaiannya, bukan lagi pakaian yang digunakannya saat kami bertemu di mall tadi.

Aku menelan ludah susah payah, debaran jantungku tak lagi bisa dikontrol.

"Qia!" Davie memanggilku pelan. Aku masih termangu melihatnya seperti itu. Kenapa dia bisa seberantakan itu.

"Davie? Kamu kenapa?" aku berusaha terlihat biasa saja, nggak ingin terlihat takut. Bukan takut seperti bertemu penjahat atau sejenisnya, tapi takut dengan perasaanku sendiri.

"Boleh aku masuk, Qia?" aku mengangguk dan membiarkan dia melewatiku. Harum tubuhnya langsung memenuhi indra penciumanku. Tuhan, jangan sampai aku khilaf dan memeluknya. Aku nggak mau lemah karena ada Davie disini.

"Kenapa?" Davie berhenti di tengah ruangan dengan kepala yang mengarah ke dapur. Aku bingung dengan kelakuan cowok yang ada didepanku ini. Sebenarnya apa yang dia pikirkan.

"Kamu... Sedang makan?"

"Iya." Aku menatap lelaki itu dari belakang, lelaki itu berjalan ke arah dapur dan duduk tepat di depan nasi goreng yang baru aku makan beberapa sendok. Aku tak tinggal diam. Aku mengikutinya dan duduk diseberang meja, berarti posisi kami berhadapan sekarang.

"Dav!"

"Boleh aku makan ini?" dia menunjuk ke arah nasi gorengku, wajahnya benar-benar terlihat lelah.

"Mau aku buatkan yang baru? Itu sudah aku makan tadi." Tak mungkin memberikan dia makan bekas aku bukan? Tapi sayangnya dia menggeleng, tanpa menjawab.

Aku melihatnya dengan seksama, dan menunggu jawabannya. Namun tak lama, dia menyendokkan nasi goreng dan menyuapkannya ke mulutnya sendiri, mengunyahnya dengan pelan seolah menikmati makanan yang begitu mahal.

Aku berusaha menginteruksi, tapi dia sama sekali tak peduli. Sungguh, tingkahnya benar-benar aneh.

Entah sudah berapa kali suapan nasi goreng tersebut masuk ke perutnya, aku bisa melihat perubahan pada wajah Davie. Wajahnya memerah seperti menahan sesuatu yang entah apa. Mulutnya masih mengunyah dengan sangat lambat. Tapi tiba-tiba batuk seolah menyerangnya tanpa ampun. Air matanya sudah keluar dan aku bisa melihat dengan sangat jelas jika dia merasa kesakitan.

"Minum ini." aku berdiri disampingnya untuk menepuk punggungnya pelan, berusaha membantu meredakan batuknya.

Tapi meskipun air di gelas sudah berpindah ke perutnya, batuknya tidak juga mereda. Aku masih setia menepuk-nepuk punggungnya saat aku mendengar isakan pelan yang keluar dari mulut Davie. Menangiskah?

"Davie! Kamu nggak papa?" aku mendekatkan bibirku dengan telinganya agar dia bisa segera menjawabku, tapi hasilnya nihil. Dia masih saja menelungkupkan wajahnya diatas tangannya.

"Davie." aku mengguncangkan tubuhnya pelan agar dia bisa segera mengakhiri aksi diamnya.

"Davie, please!" aku akan beranjak dari sampingnya saat tangan Davie mencegahku dan memeluk pinggangku erat. Menenggelamkan wajahnya tepat di perutku.

Aku kaget, tentu saja. Tapi aku juga nggak bisa berbuat apapun, bahkan untuk menyingkirkan tangannya saja aku nggak bisa.

"Qiana." Davie mendongakkan kepalanya kearahku, matanya memerah dan air matanya sudah membasahi wajahnya.

"Aku nggak bisa Qia. Aku nggak bisa. Tolong jangan hukum aku kayak gini, aku nggak sanggup."

"Davie, maksud kamu apa? Hukuman apa?" Aku sama sekali tidak paham apa yang sebenarnya lelaki itu bicarakan, "Kamu kayaknya lagi kacau, Dav, lebih baik kamu pulang, kamu butuh istirahat." Davie menggeleng di perutku, masih mengeratkan pelukannya. Ya Tuhan, apa lagi ini? Kenapa semua menjadi sulit kayak gini? Jeritku dalam hati.

"Di sini sakit, Qia, sakit banget." Dia menunjuk dadanya menjelaskan jika yang ada di dalam memang sedang terasa sakit.

"Kamu sakit? Ayo ke dokter ya, aku anterin." Lagi, dia menggeleng dan melanjutkan ucapannya.

"Cuma kamu yang bisa sembuhin ini, Qia. Bahkan dokter dari luar negeripun nggak akan sanggup sembuhin hatiku."

"Apa, Da? apa yang bisa aku lakuin?" Aku masih belum paham.

"Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya, kasih aku kesempatan untuk bisa lagi bersama kamu kasih aku kesempatan agar aku bisa berjuang untuk sama-sama lagi sama kamu. Kasih aku kesempatan sekali lagi, Qia. Please!" wajahnya mendongak dengan mata memerah dengan sisa-sisa air mata.

Aku terpaku mendengar ucapannya. Menyadarkan diriku jika apa yang sekarang ini sedang menangis adalah Davie. Lelaki yang sama dengan lelaki yang dulu mencampakkanku tanpa perhitungan. Inikah yang disebut karma? Dulu dia yang mengabaikan aku, sekarang dia memohon kepadaku.

"Kamu jalan sama cowok lain di depanku membuat aku sakit, Qia. Aku nggak bisa, dan aku nggak tahan. Qia aku..."

Aku melepaskan tangan Davie tiba-tiba. Sisi jahatku keluar, meskipun aku tahu, mungkin aku akan menyesal nanti.

"Qia." Dia kaget dengan apa yang aku lakukan.

"Kamu tolong keluar dari sini, Dav," kataku mengusir. "Sepertinya kamu memang butuh istirahat. Kamu udah kenyang kan? Kamu boleh pergi sekarang." Berusaha masih mengendalikan diriku agar tidak mengatakan yag tidak-tidak.

Davie tidak bergerak sedikitpun dari duduknya. Matanya masih menatapku namun aku tak peduli.

"Siapa lelaki itu?" tanyanya dengan parau.

"Kamu nggak perlu tahu." Jawabku. "Itu bukan lagi urusan kamu."

"Aku perlu tahu." Katanya dengan percaya diri, "Setidaknya kamu harus mendapatkan lelaki yang baik."

"Kamu nggak perlu khawatir. Dia adalah orang yang sangat baik." Kataku tak gentar sama sekali menatapnya. "Jadi, bisa sekarang kamu pergi dari sini? Udah malam, dan aku perlu istirahat." Davie berdiri dan mendekatiku.

"Maaf, aku pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal." Tatapannya benar-benar seolah mengulitiku. "Tapi kamu perlu tahu, jika salah satu alasanku untuk kembali ke Indonesia adalah karena kamu. Aku sudah mengambil keputusan besar dan meninggalkan semuanya. Sebab itu, aku nggak akan menyerah atas kamu. Kamu bisa mencoba menjalin hubungan dengan lelaki manapun di luar sana, tapi aku tidak akan tinggal diam." Entah itu sebuah ancaman atau apa, aku sama sekali tak tahu.

"Aku yakin, pada akhirnya nanti, kamu akan tetap jatuh ke pelukanku."

"Itu tidak akan mungkin." Kataku bahkan tak yakin.

"Kita bisa membuktikannya." Davie bersungguh-sungguh mengatakannya. "Istirahatlah, udah malem. I love you." Dia mengecup keningku lama, dan mengacak rambutku pelan sebelum pergi meninggalkan apartemenku. Meninggalkan aku yang sedang menangis dan kacau karena ulahnya. Tiga kata terakhirnya membuat aku mematung tanpa bisa melakukan apapun

°•°•°

Yoelfu