Chereads / Second Love / Chapter 12 - (11). Boys Talk

Chapter 12 - (11). Boys Talk

Davie

Hari ini Mama dibuat sibuk karena keadaan Devie. Karena kesibukannya beberapa hari yang lalu membuat Devie harus terbaring sakit sekarang. Badannya panas, kepalanya sakit, dan dia juga mengeluh sulit bernafas karena hidungnya yang mampet karena flu.

Dari semalam saat dia mengeluh tidak enak badan, Mama sudah mengajaknya untuk kerumah sakit, tapi dia menolak dengan alasan 'akan sembuh kalau dia istirahat'. Dan alhasil, semalam Mama hampir nggak tidur karena harus menjaganya.

Sampai sekarang pun dia masih kukuh dengan keputusannya untuk nggak mau pergi periksa ke rumah sakit. Entah kenapa, Devie dan kekeras kepalaannya membuat aku jengkel sendiri. Bukan karena apa, tapi aku kasihan sama Mama yang terlihat lelah karena putri bungsunya itu. Apalagi kalau sedang sakit begini, Devie berubah jadi manja sekali. Nggak akan ada ekspresi mengejeknya, seringaian kejinya, atau bahkan ucapannya yang kadang menyerupai Bon cabe level tertinggi, pedas.

"Kita ke Rumah sakit ya, Dev? Biar kamu cepet sembuh. Dari semalem panas kamu nggak turun-turun, meskipun udah minum obat." Mama oh Mama, beliau bener-bener sabar ngadepin anak manja macem Devie ini. Sudah ditolak mentah-mentah masih saja terus merayu agar putrinya mau dibawa berobat.

"Nggak mau, Ma." Suara serak itu keluar dari bibir Devie yang terlihat pucat dan kering. Selimut membungkus tubuhnya. Aku bisa melihat Mama menghela nafasnya lelah. Jujur aku nggak tega.

"Dev, kalau kamu nggak mau ke rumah sakit kamu nggak akan tahu penyakit kamu. Kamu nggak akan cepet sembuh kalau gitu." Aku membuka suara, berusaha meyakinkan Devie.

"Kok Abang bentak aku sih?" Drama sekali bukan? Dan lihatlah, bahkan air matanya udah mengalir dari matanya membuat aku seketika bungkam. Aku melihat Mama yang memberiku kode untuk diam dan melayangkan tangannya untuk mengelus rambut Devie.

Aku mendekat ke ranjang Devie dan menempelkan telapak tanganku ke dahi Devie untuk mengecek panas tubuhnya. Dan hasilnya masih sama, panas. Aku memutar otak mencari cara agar bisa membawa Devie ke rumah sakit, meskipun tanpa persetujuannya. Aku khawatir sakitnya akan semakin parah nanti.

Ada ide yang terlintas di otakku. Aku menoel bahu Mama yang duduk di ranjang bagian kanan, memberi kode kepada Mama untuk membawa Devie ke rumah sakit.

Setelah mendapatkan anggukan dari Mama, aku langsung menelusupkan kedua tanganku dibawah tubuh Devie dan mengangkatnya. Aku bisa merasakan dia berontak tapi aku nggak peduli, dia harus dibawa ke rumah sakit secepatnya.

"Aku nggak mau kerumah sakit, Bang nggak mau." Devie terus berontak dan bergumam dengan suara pelan.

"Kamu harus sehat biar jadi Devie yang garang lagi, karena Devie yang kayak gini bukanlah Devie adik yang paling Abang sayang." Aku mendudukkan pelan di kursi belakang dan diikuti mama yang sudah membawa tas berukuran agak besar. Aku yakin didalamnya ada beberapa pakaian Devie.

Setelah Devie tidur berbantalkan paha Mama dan tubuh yang masih berbungkus selimut tebal aku melajukan mobil dengan agak cepat, berharap bisa segera sampai dan Devie juga bisa segera mendapatkan pengobatan.

Segera sembuh, Dek, aku lebih suka Devie yang ceplas ceplos dibandingkan Devie yang lemah seperti ini.

°•°

Aku merindukan Qia-ku, sangat. Entah kenapa sebentar saja nggak ketemu dia, rasanya kayak ada yang kurang. Karena kesibukanku bekerja lah akhirnya aku nggak sempat untuk menemuinya. Apa dia juga merindukanku seperti yang terjadi padaku sekarang? Entahlah. Dia memang nggak bisa ditebak.

Aku mengamati sekelilingku, Mama yang sedang tidur di ranjang tambahan sebelah Devie terlihat nyaman, mungkin karena efek kurang tidur. Papa memilih tidur di sofa kamar rumah sakit ini, dan Devie sendiri juga sudah agak mendingan karena obat yang diberikan Dokter beberapa jam yang lalu, juga tengah tidur. Aku sendiri, aku masih terjaga bahkan saat waktu menunjukkan pukul 11 malam.

Qiana, karena nama itulah aku sulit memejamkan mataku. Aku begitu merindukannya. Aku bahkan masih mengingat kejadian waktu itu saat dia yang membalas pelukanku. Aku bisa melihat matanya yang masih memandangku dengan cara yang sama seperti beberapa tahun lalu.

"Kenapa belum tidur?" lamunanku buyar saat tiba-tiba Papa mengeluarkan suara seraknya khas bangun tidur.

"Belum ngantuk, Pa. Papa kenapa bangun?"

"Nggak pa-pa papa tiba-tiba aja kebangun." Papa duduk dari tidurnya dan kami saling berhadapan. Masih saling diam karena Papa seperti masih mengumpulkan beberapa nyawanya yang masih belum sepenuhnya kembali.

"Bang!" Aku melihat Papa yang sedang fokus menatapku. "Boys talk?" aku tersenyum mendengar ucapan Papa. Sudah lama kita nggak melakukan sesi curhat ala aku dan Papa. Aku mengangguk dan menyetujui permintaan papa.

"Boleh. Kita udah lama nggak curhat kan, Pa." Papa tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Kami dulu memang sering melakukan boys talk, aku menceritakan apa pun yang terjadi kepada Papa. Dan Papa memberikan masukan, bahkan sampai mengkritik jika memang dirasa aku lah yang melakukan kesalahan.

"Gimana rasanya kerja di Negara sendiri?" Papa memulai.

"Not bad. Aku senang kerja di Negara sendiri. Dekat dengan keluarga dan yang pasti bisa selalu makan masakan Mama. Bisa terus melakukan lagi boys talk yang pernah tertunda selama bertahun-tahun." Aku melihat wajah Papa yang mendengarku dengan seksama.

"Bagus kalau gitu, papa juga senang kamu memutuskan kembali ke Indonesia dan berkumpul bersama keluarga."

"Jadi ini adalah keputusan yang tepat?" tanyaku.

"Tentu." Kata Papa bersungguh-sungguh, "Papa bahagia bisa melihat anak-anak papa di rumah. Bisa berkumpul bersama." Aku beruntung bukan? Memiliki orang tua yang baik sekali.

"Ya, karena meskipun aku bandel, aku tetap anak Papa." Candaku kepada beliau.

"Benar. Kamu memang bandel, banget. Tapi kamu bisa membuktikan kamu menjadi lelaki hebat sekarang." Pujian itu terdengar sangat tulus di telingaku. "Kamu bisa membuktikan jika keputusan yang kamu ambil tujuh tahun lalu tidaklah sia-sia." Lanjut beliau.

Tapi aku penasaran dengan sesuatu. Akhirnya aku mencoba untuk bertanya, "Seandainya aku balik lebih awal, beberapa tahun lalu, apa itu oke?"

Papa mengangguk dengan yakin. "Bahkan seandainya kamu balik meskipun baru berangkat, Papa tak akan mempermasalahkan." Papa menatapku dengan sungguh-sungguh seolah meyakinkan aku jika apa yang dikatakan adalah sebuah kebenaran.

Namun seandainya aku melakukan itu, aku pasti malu karena aku sudah melepaskan semuanya tapi malah menjadi orang yang nggak berguna.

"Kamu tahu Bang, Papa dan Mama nggak pernah menuntut banyak dengan apa pun yang menjadi keinginanmu. Bahkan seandainya kamu ngerasa nggak cocok di Negara orang, waktu itu tanpa membawa kesusesan sedikitpun, kami akan tetap menerima Abang. Sekali lagi, kami nggak menuntut banyak ke Abang."

"Apa Papa kecewa?"

"Karena apa?" Aku ragu-ragu mengatakannya. Ini adalah masalah sensitif, bahkan kami nggak pernah lagi membahasnya dan kali ini aku ingin membahas masalah tersebut.

"Perpisahanku dengan Qia." Kataku sedikit ragu dan aku bisa melihat wajah Papa berubah keruh. Aku tahu jawabannya meskipun papa belum menjawabnya.

"Ini akan memakan waktu kalau Papa cerita, apa kamu siap?" Aku hanya mengangguk dan bersiap mendengar ungkapan entah apa yang akan di keluarkan oleh Papa.

"Kami berempat dulu adalah sahabat." Awalnya. "Orang tua Qia dan juga Mama Papa. Kami bertemu dari SMP, dan sejak saat itu kami berteman. Dan pertemanan kami berubah menjadi sahabat, dan sahabat menjadi cinta. Setiap hubungan apa pun pasti ada sedikit percekcokan. Tapi meskipun begitu, kami akan kembali bersama. Percintaan kami memang nggak seperti sinetron yang selalu Mama kamu tonton, tapi juga nggak semulus wajah Mama pas waktu muda." Aku tersenyum mendengar perumpamaan yang Papa buat. Mungkin beliau tidak ingin terlalu serius membicarakan masalah ini.

"Kami nggak pernah pacaran sebelumnya, sampai kami sama-sama memutuskan untuk menikah. Papa menikahi mama, orang tua Qia juga memutuskan menikah."

"Papa nggak pernah punya mantan selain Mama?" Aku bertanya yang keluar dari topik. Ini adalah kali pertama aku mendengar kisah Papa dan Mama.

"Nggak. Karena nggak tahu kenapa nggak ada cewek yang membuat papa nyaman seperti papa bersama mamamu." Jawaban itu menunjukkan betapa Papa sangat mencintai Mama dari dulu sampai sekarang. Bagiku itu sangat manis.

"Singkat cerita, kami menikah lebih dulu barulah orang tua Qiana menyusul. Hanya selang satu bulan saja." Lanjutnya. "Dan Tuhan begitu baik kepada kami, akhirnya Mamamu dan juga ibu Qiana sama-sama hamil di waktu yang sama." Papa menatap depan seolah sedang mengingat masa lalunya.

"Kebahagiaan kami tidak terbendung saat Mama melahirkan bayi lelaki yang tampan dengan kulit yang merah. Orang bilang, kalau bayi lahir memiliki kulit merah, kelak dia akan memiliki kulit putih. Dan Papa menyetujui itu." Beliau menatapku seolah membuktikan ucapannya.

"Baik Mama dan ibu Qiana, mereka sama-sama tidak ingin melihat jenis kelamin bayi yang ada di dalam kandunganya, kala itu. Mereka ingin mendapatkan kejutannya. Dan saat Bundamu melahirkan dengan jenis kelamin perempuan, keputusan untuk menjodohkan kalian tiba-tiba muncul. Dan sampailah waktu itu. Kalian dipertemukan dan mulai merencanakan pernikahanmu dan Qia." Senyum itu masih terbit.

Dan berubah menjadi senyum kecut ketika melanjutkan, "Tapi kami salah karena mengambil keputusan yang tidak memikirkan perasaan kalian. Menganggap keputusan kami benar tapi ternyata salah. Menganggap kalian akan bahagia ternyata kalian malah berduka." Dan demi Tuhan, aku bisa melihat mata Papa mengembun.

"Pa." Aku memanggilnya pelan. Mencoba mengatakan dengan tatapanku jika itu bukan salah mereka. Karena memang pihak yang paling bersalah adalah aku di sini.

"Papa nggak ingin lagi melukai kamu, Bang. Papa nggak akan ikut campur masalah asmaramu. Siapapun wanita yang akan kamu nikahi papa akan menerima. Papa hanya pesan, carilah perempuan baik-baik. Nggak masalah dia dari kalangan seperti apa, yang terpenting kalian seiman dan bisa diajak berumah tangga dengan baik."

Seperti ada godam tak kasat mata yang menghantam dadaku. Papa, dia benar-benar terlihat menyesal karena kandasnya rumah tanggaku bersama Qia. Aku meneguk ludahku pelan dan berusaha menyuarakan hatiku.

"Aku ingin Qia lagi, Pa." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku, "Aku ingin Qia kembali ke aku." Aku bisa meliihat Papa tertegun melihatku, wajahnya terlihat kaget. Bahkan matanya tidak berkedip melihatku. Aku bisa melihat jakun Papa yang tertutup kulit yang agak keripit itu naik turun.

"Bang!" Panggilan itu seolah mengatakan jika beliau sama sekali tak menyangka dengan apa yang aku katakan.

"Aku ingin kembali kepada Qia, Pa. Aku tahu kalian selama ini benar, aku lah yang salah karena terlalu egois dan menutup mata atas kekecewaan kalian. Maafin Abang, Pa. Abang bener-bener minta maaf." Aku bersungguh-sungguh mengatakan maaf agar ganjalan yang ada di dalam hatiku benar-benar hilang.

°•°•°

Yoelfu