Davie
Aku akhirnya bisa bernafas lega setelah selesai menjalani kegiatan baru, yaitu bekerja. Setelah dengan pemikiran matang melepaskan pekerjaanku di negara orang, aku bosan tidak melakukan apapun. Rencanya memang aku akan membuka bisnis saja, tapi memang kayaknya aku nggak akan puas hanya dengan itu. Dan akhirnya aku menerima penawaran kerja di Jakarta.
Selama beberapa hari ini aku juga belum kembali menemui Qiana. Aku kangen banget sama dia, nggak tahu kenapa dia seolah bisa menyedot perhatianku tanpa ampun. Yang aku takutkan sekarang hanya satu, yaitu Qiana akan menjauh dan menganggap aku mempermainkannya karena setelah ungkapan cintaku, aku malah belum muncul dihadapannya.
Aku tahu kebodohanku dimasa lalu, tapi manusia memang tempatnya salah kan. Yang aku tahu, masa lalu buruk yang aku berikan kepada Qiana nggak akan aku ulangi lagi dimasa depan. Itu sebuah tekat, bukan janji.
Dan ketika sekarang aku melihat dia berdiri di sana, di depanku, tidak terlalu jauh. Sedang membawa beberapa barang belanjaan yang memenuhi kedua tanganya. Aku merasa diguyur air es, adem. Bahkan aku sudah melebarkan senyumku ketika melihat perempuan itu.
Kalau ada yang bertanya, sekarang aku berada di mana, maka jawabannya adalah sedang berada di Mal. Aku memang berencana untuk berbelanja baju. Aku pun mengajak Devie sebenarnya, tapi dia menolak karena ada yang harus diurus katanya. Mungkin sekarang sedang musim pernikahan, karena yang aku lihat Devie memang sangat sibuk. Bahkan harus pulang larut malam beberapa hari ini.
Aku terus mangikuti Qiana yang memasuki toko perhiasan. Aku seperti penguntit saja sekarang karena berusaha mencuri dengar percakapan Qia dengan karyawan disana. Dan sialnya aku nggak bisa mendengar dengan jelas 'obrolan' mereka.
"Terima kasih." Aku berusaha menyembunyikan tubuhku setelah dengan lamat-lamat aku mendengar Qia mengucapkan terima kasih. Dia berjalan dengan santai dan pergi menuju dimana mobilnya diparkir. Dan aku pun terus mengikutinya sampai apartemen. Aku pernah memancing Devie dengan pertanyaan apakah Qiana memang tinggal di apartemen, gadis itu bilang, tak selalu. Jadi aku tahu, mungkin aku tak akan selalu bisa bertemu dengan dia di tempat itu.
Ingin sekali aku masuk, tapi aku masih takut. Entah karena apa. Aku menyandarkan tubuhku di kursi mobilku, memijat kepalaku pelan sambil memikirkan sesuatu. Seandainya aku muncul setelah mengatakan cinta kepada tempo hari, perubahan apa yang akan terjadi? Dan karena memikirkan hal itu, aku bertahan di dalam selama hampir dua jam.
Seperti orang bodoh bukan? Aku tak ingin menjadi semakin bodoh dan memutuskan untuk turun dari mobil. Menemui Qiana lebih dulu akan lebih baik, tak perlu lagi menundanya, itulah yang aku fikirkan sekarang.
Sayangnya, munculnya seorang laki-laki yang pernah aku lihat membuat kakiku berhenti melangkah. Aku mengingat wajahnya, tapi aku nggak ingat siapa dia dan pernah ketemu dimana. Dan mataku masih mengikutinya sampai dia hilang dibalik lift basement. Aku menunda untuk melangkah dan kembali memikirkan antara menemui Qia atau tidak.
Dan kenyataan menamparku. Aku meneguk ludahku ketika melihat dengan jelas lelaki itu sedang berjalan dengan Qiana, barulah aku menyadari jika dia adalah lelaki yang sama dengan lelaki yang aku temui di bioskop beberapa hari yang lalu.
Mereka masuk ke dalam mobil, dan pergi dari sana. Tak perlu menunda, aku mengikuti mereka dari belakang. Seperti penguntit.
Aku seperti orang kesetanan karena kehilangan jejak mobil yang membawa Qia dan juga laki-laki itu. Salahkan kepalaku yang nggak bisa konsentrasi karena melihat mereka tadi. Bahkan aku harus meluapkan emosiku dengan memukul-mukul setir mobil. Kemana mereka? Kenapa Qia menggunakan dress yang terkesan seperti akan menghadiri makan malam.
Inilah deskripsi sakit tapi tak berdarah yang aku rasakan sekarang. Dan ketika aku kehilangan jejaknya, aku berteriak dengan kencang di dalam mobil. Sungguh sial memang.
Aku berputar arah dan kembali ke apartemen. Aku akan menunggu Qia di sana, nggak memedulikan kalau tubuhku rasanya sangat lelah.
Detik, menit, dan jam berlalu. Bahkan aku sudah mengitung hampir dua jam Qia pergi. Aku akan menunggu dengan mata terbuka, maksudku, aku belum ingin tidur meskipun rasanya badanku terasa remuk. Tapi tidak bisa, karena bahkan dengan hitungan detik, aku udah masuk ke alam mimpi.
°•°
Aku merasakan tubuhku diguncang oleh seseorang, mataku rasanya nggak bisa dibuka. Tadi siapa yang katanya akan menunggu Qia dengan mata terbuka? Batinku mencibir. Qia, Qia, Qia.
Aku terduduk saat kepalaku memutar nama Qia. Bahkan kepalaku terasa pusing karena bangun dengan tiba-tiba.
"Ah. Kenapa sakit banget Ya Allah." aku bergumam kecil.
"Dav!" aku mendengar seseorang memanggilku, seperti suara Qia. Qia? Aku memutar kepalaku ke samping dan mendapati Qia ada di sana. Dia berjongkok di kananku dengan wajah terlihat, khawatir? Bodohnya karena aku nggak menyadari kalau Qia memang sudah pulang.
"Kamu, udah pulang?" Qia berdiri dan duduk di sampingku setelah dia menjawab 'iya' kepadaku.
"Kenapa kamu tidur disini, Dav?" aku masih memuaskan mataku dengan memandanginya. Aku tahu dia salah tingkah, tapi mataku masih belum puas memandanginya. Atau mungkin nggak akan pernah puas.
Entah setan apa yang merasukiku sampai aku nggak bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku menariknya kedalam pelukanku, menenggelamkan wajahku di lekukan lehernya. Tubuh Qia kaku, tapi dia nggak memberontak.
"Aku kangen kamu, Qia, kanget banget. Kamu dari mana? Ini bahkan udah jam 10 malam, kenapa baru pulang?" dia nggak menjawab tapi tubuhnya masih menegang. Aku melepaskan pelukanku dengan pelan dan melihat ekspresi wajahnya. Air matanya sudah mengalir membanjiri wajahnya.
"Qia!"
"Kenapa kamu lakuin ini ke aku, Dav? Kenapa?" aku nggak menjawab dan terus melihatnya lekat.
"Dulu, aku udah berusaha berjuang untuk hubungan yang aku rasa akan berhasil. Tapi kamu diam dan tetap pada keputusanmu. Sekarang ada orang lain yang menawarkan dirinya untuk memiliki masa depan bersamanya, tapi kamu datang. Kenapa kamu harus datang di waktu yang nggak tepat, Dav?" Qia benar-benar sesenggukan dan rasanya remasan itu kembali datang ke ulu hatiku.
"Sekarang aku yang akan berjuang, Qia, bukan kamu. Hatiku nggak bisa lagi bohong tentang cinta yang aku miliki ke kamu."
"Aku nggak akan bertanggung jawab untuk masalah hati kamu, Dav. Itu masalahmu sendiri." Qia sepertinya memang berusaha mengeluarkan emosinya. Aku menghela nafas sebelum kembali menjawab.
"Aku nggak minta kamu untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi ke aku. Tapi ijinkan aku berjuang seperti apa yang kamu lakukan dulu ke aku. Please, Qia." sungguh, sesak sekali rasanya saat melihat air mata Qia yang berjatuhan karena aku. Aku mengangkat tanganku dan menghapus air matanya pelan.
"Kamu jahat ,Dav, jahat banget. Tapi kenapa aku nggak bisa membenci kamu? Kenapa kamu datang saat hatiku masih belum bisa menghapus rasa itu dari hatiku Dav, kenapa?"
Aku kembali memeluknya dan kali ini mendapatkan balasan darinya. Percayalah, mungkin ini hanya sebuah pelukan. Tapi seolah pelukan itulah yang memberiku kekuatan lebih untuk terus memperjuangkannya.
°•°•°
Yoelfu