Davie
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Papa sudah kembali tidur beberapa saat lalu, tapi aku masih tidak bisa memejamkan mataku barang sebentar saja.
Mengingat percakapanku dengan Papa tadi membuatku menyadari betapa mereka sudah mempersiapkan masa depanku sebaik mungkin. Dengan memilihkan perempuan luar biasa seperti Qiana.
"Abang nggak sedang bercanda kan?" Papa bertanya dengan wajah yang masih terlihat kaget karena ucapanku.
"Ini mungkin terdengar konyo,l Pa, tapi rasanya aku nggak akan bisa melihat Qia yang bahagia karena lelaki lain. Aku ingin, aku lah yang menjadi alasan Qia bahagia. Aku ingin Qia bahagia karena akulah yang membahagiakannya, bukan orang lain." Kalau Papa adalah orang yang memiliki emosi tinggi, mungkin aku sudah ditendang karena ucapanku. Tapi Papa tetaplah Papa, pria yang bisa mengendalikan emosinya dengan sangat baik.
"Papa senang kamu jujur, Bang, tapi Papa hanya takut kamu kecewa. Tidak masalah meskipun bukan Qia perempuan itu. Carilah perempuan lain yang mungkin bisa menerima kamu."
"Pa!"
"Qia sedang ingin di jodohkan dengan orang lain, Bang." Aku tahu tentang ini, tapi mendengar sendiri dari mulut Papa, rasanya sangat berat untuk aku terima.
"Papa tidak tahu sudah seberapa jauh hubungan mereka, tapi Papa tahu kalau Qia sedang mencobanya." Gamblangnya ucapan Papa tadi membuat aku masih terserang rasa sakit. Rasanya, bukan hanya hatiku yang remuk sekarang, tapi tubuhku seolah mati rasa. Tuhan, tenggelamkan saja aku di pusat bumi. Itu yang aku inginkan sekarang.
"Pa." aku hanya bisa memanggil lirih Papa yang juga terlihat lelah. Entah karena waktu semakin malam, atau memang karena obrolan 'berat' kami.
"Istirahatlah." Itu adalah sesi akhir dari pembicaraan antara aku dan Papa. Karena setelahnya, Papa kembali berbaring dan memejamkan matanya ketika aku masih harus merasakan rasa sakit yang entah seperti apa aku rasakan.
Aku mengepalkan tanganku ketika mengingat percakapan yang terjadi antara aku dan Papa beberapa jam yang lau. Pikiranku sungguh tak bisa tenang dan aku merasa perlu melampiaskan semua itu entah dengan melakukan apa. Entah berapa banyak masalah ini diketahui oleh Papa. Tapi hanya sedikit dari apa yang ditahu Papa dan dikatakan padaku saja, membuat aku kelimpungan sendiri.
Ya, mungkin inilah yang dinamakan karma. Dia sudah melakukan tugasnya. Membalas perbuatanku yang telah mengecewakan banyak hati.
Tuhan, aku memang bersalah, Sangat. Tapi bisakah aku diberi kesempatan untuk memperbaikinya. Aku akan berusaha sebaik mungkin agar kejadian menyakitkan itu tidak akan kembali terulang.
°•°
Qiana
Aku memasuki rumah yang beberapa minggu ini jarang aku datangi karena lebih memilih menginap di apartemen. Rumah ini adalah tempatku tumbuh dan berkembang sampai usiaku sekarang yang hampir kepala 3.
Ternyata aku udah tua ya. Kebanyakan teman-temanku bahkan udah memiliki anak yang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku kadang iri kepada mereka yang sukses membangun rumah tangga mereka. Aku tahu sebuah rumah tangga pasti akan ada permasalahan, meskipun sekecil pasir. Tapi mereka bisa bertahan karena memang mereka bisa mengatasi masalah mereka dengan baik, mencari jalan keluar terbaik.
"Assalamualaikum." Aku masuk kerumah dengan langkah pelan. Biasanya di jam seperti ini Ayah dan Bunda sedang berada di ruang keluarga untuk sekedar bersantai.
"Waalaikum salam." Aku benar kan, bahkan mereka sudah memasang senyumnya saat aku melangkah ke ruang keluarga.
"Sibuk banget ya di kantor, sampai nginap terus di apartemen." Alasan sibuk nggak termasuk seringnya aku menginap di apartemen, Bun, tapi anakmu ini sedang mengidap penyakit bodoh yang berkepanjangan. Ingin aku jawab seperti itu, tapi aku masih waras untuk nggak mengatakan kalimat yang akan membuat mereka murka.
"Iya, Bun." akhirnya hanya dua kata itu yang keluar sebagai jawaban.
"Udah makan?" kini Ayah yang bertanya.
"Udah, Yah, ditraktir Bang Rado tadi." Aku bisa melihat kedua orang tuaku hanya menganggukkan kepalanya paham.
"Gimana hubungan kalian? Ayah denger kamu diundang makan malam waktu ulang tahun mamanya Rado." Entah siapa yang mengatakan, tapi waktu itu memang aku nggak bilang kepada mereka kalau aku mendapatkan undangan dari Bang Rado ketika ulang tahun ibunya. Atau Bang Rado sediri yang mengatakan? Entahlah.
"Hubungan kami baik, Yah" Aku menjawab seadanya. Tapi kalau untuk hubungan lanjutannya, tentu belum ada perubahan.
"Ada kemajuan?" Sepertinya Ayah sedang penasaran sekarang. Aku memandang Ayah dan Bunda bergantian, mencoba bersikap tenang meskipun dadaku terasa jumpalitan nggak karuan.
"Kami belum sejauh itu kok Yah, aku juga nggak ingin terburu-buru." Jawabku terus terang. Memutuskan 'bersama' bang Rado saja perlu perisapan mental yang luar biasa. Apalagi sekarang 'sosok' itu datang lagi membuat hatiku nggak bisa berkutik gara-gara laki-laki bernama Davie itu.
Tapi aku nggak akan bilang kepada Ayah kan, kalau Davie lah penyebab melambatnya signal cinta untuk lelaki manapun. Aku nggak bisa membayangkan reaksi kedua orang tuaku.
"Ayah nggak akan maksa kamu untuk cepat mengambil keputusan besar itu, Qi, Ayah hanya berharap lelaki terbaiklah yang akan mendampingi kamu. Dan ayah memang merasa Rado lah orangnya. Tapi kalau memang kamu memiliki pilihan lain, ayah bisa pertimbangkan." Ayah dan kebijaksanaannya. Aku bangga memiliki ayahku, beliau begitu luar biasa.
"Padahal bunda masih berharap orang itu Davie." Bunda bergumam pelan, tapi aku yakin ayah juga mendengar. Karena setelah itu Ayah mengusap punggung bunda lembut.
"Kita memang punya harapan tinggi untuk anak-anak, Bun, tapi takdir Tuhan lah yang menentukan semuanya. Ayah nggak ingin lagi menjadi orang tua yang egois dan menyakiti hati Qiana." Entah kenapa ucapan Ayah itu membuatku merasa sedih.
Entah bagaimana reaksi Bunda seandainya tahu jika Davie sedang dalam tahap 'kembali mendekatiku' seselah pulang dari luar negeri. Ayah nggak tahu gimana lelaki itu kembali menggoyahkan hatiku yang belum sepenuhnya damai. Ayah nggak tahu, gimana dia dengan caranya kembali masuk dan menempati hatiku yang belum sepenuhnya bisa menyingkirkannya.
Dia jahat, jahat sekali. Tapi entah kenapa anakmu ini masih berharap apa yang akhir-ahir ini dilakukan oleh Davie adalah sebuah perjuangan untuk mendapatkanku kembali. Dan apa yang dikatakan waktu itu adalah kebenaran, bukan hanya bualan semata.
Notifikasi WA membuyarkan lamunanku. Aku membukannya dan mataku terbelalak karena asistenku di WO mengirimkan gambar dirinya dan juga Devie. Dengan Devie yang berada di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat.
'Mbak Devie sakit, Mbak, dirawat di Rumah sakit Healthy' itu adalah pesan dibawah foto yang dikirimkan.
"Kenapa, Qi?" Bunda bertanya.
"Devie masuk rumah sakit, Bun."
"Kok bisa? Sakit apa?" Bunda terlihat keget karena mendengar berita itu.
"Kurang tahu, Bun, ini aja tadi Nofi yang kirim kabar."
"Kita kesana sekarang." Ayah sudah berdiri dan menarik tangan Bunda yang masih terlihat kaget. "Kenapa nggak ada yang kasih kabar ke kita." Suara Ayah terdengar agak sebal.
*.*
Yoelfu