Qiana
Aku masih bisa merasakan jantungku bergemuruh hebat karena perlakuan Davie beberapa menit yang lalu. Aku juga masih belum bisa berkutik sedikitpun dari dudukku di sofa ruang rawat Devie. Semuanya terasa sulit untuk dipahami.
Kalau sudah begini, siapa yang akan percaya kalau aku menyangkal jika aku sudah tidak mencintai dia? Maka debu pun pasti akan menertawakanku.
Memejamkan mata sejenak, aku ingin menghilangkan euforia yang masih saja meneriakkan kebahagiaan di dalam hatiku. Tolong berhenti. Ucapku dalam hati memperingati. Aku harus mengingatkan diriku sendiri untuk tidak melupakan seseorang yang meminta kesempatan dariku. Bang Rado.
Iya. Bang Rado. Tolong ucapkan saja nama itu dan jangan orang lain. Kataku mensugesti pada diriku. Tapi, belum juga itu berhasil, Davie sudah memanggilku.
"Qia." aku membuka mataku untuk mendapati Davie yang sudah segar setelah mandi. Harum sabun dan shampo juga menguar dari tubuhnya. Lagi-lagi aku merasa detakan itu semakin bertambah. Lemah, itulah kata yang pantas untuk disemangatkan pada diriku sekarang.
Tuhan, aku ingin berlari.
Dia menatapku sambil tersenyum yang demi Tuhan membuatku lemah. Ingin rasanya aku berteriak. Ini sungguh tidak benar. Dia adalah masa lalumu yang buruk, Qia. Sadarklah! Aku meneriakkan kata itu di dalam hatiku. Seandainya ini ada di dalam sinetron, mungkin ada dua sosok hitam dan putih di sebelah kanan dan kiriku.
Sosok-sosok yang mengatakan untuk membiarkan saja perasaan itu dan membuka kesempatan kembali untuk Davie, dan sosok yang yang mengatakan kebalikannya.
"Hei. Kamu nggak papa?" lamunanku sepertinya benar-benar tak terkontrol, sampai Davie sudah duduk di sapingku pun aku tidak menyadarinya. Tangannya terangkat untuk mengelus pipiku. Hangatnya tangan miliknya membuat desiran itu kembali membuat jantungku terasa gaduh.
Menguatkan tekatku, aku bangkit dari dudukku untuk pindah di sofa lain. Aku bisa melihat rahang Davie mengetat namun dia tidak melakukan apapun. Tersenyum, dia membuka suara. "Kamu udah makan?"
Aku mengangguk. "Udah." kemudian tatapanku beralih ke tempat lain, berusaha tidak mengarahkan pandangan kearahnya.
Keheningan kembali menyapa kami. Aku tahu kalau Davie memandangku sejak tadi, sedangkan aku berusaha mati-matian menahan diriku agar terlihat biasa saja.
"Gimana hubungan kamu dengan cowok itu?" sepertinya Davie nggak nyaman dengan keheningan ini.
"Baik." Aku menyenderkan tubuhku di senderan sofa. "Dia laki-laki yang baik." Aku memberanikan diri untuk menatapnya. "Semoga saja kali ini hubungan kami berhasil."
"Kamu yakin bisa bahagia dengannya?" Pertanyaan Davie ini benar-benar seolah 'mencemoohku'.
"Kenapa tidak?" jawabku dengan percaya diri.
"Aku yakin kamu nggak lupa kalau aku juga mencintai kamu bukan?" tiba-tiba dia membahas ini. Aku menatapnya dan berusaha memahami apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki itu.
"Mencintai tak harus Bersama. Mencintai tak harus memilliki." Ucapku berusaha tegar.
"Jadi kamu mengabaikan aku dan memilih memberi kesempatan orang lain?" terlihat sekali dia tak terima dengan apa yang aku lakukan. "Itu tidak adil, Qia." Katanya dengan sungguh-sungguh.
"Untuk apa kesempatan itu kamu minta? Agar kamu bisa menyakiti dan mengecewakan kami lagi?" Sepertinya aku benar-benar tak bisa menahan emosiku. Kesempatan, katanya. Semua orang memang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Tapi jika aku mengingat apa yang dia lakukan kepadaku beberapa tahun yang lalu, itu sungguh membuatku merasa marah.
"Waktu itu aku udah meminta, ah bukan, aku memohon agar keputusan bulat kamu ini bisa di pikirkan ulang. Tapi kamu kukuh untuk tetap melakukannya." Kataku melanjutkan.
Davie tidak menjawab. Aku tahu dia menyadari kesalahannya. "Aku memang bersalah." Dan benar, dia mengakuinya. Aku mendesis Ketika dia mengatakan itu. Dadaku terasa panas sekarang berhadapan dengan lelaki itu.
"Kalau pun waktu itu kamu mau berfikir ulang, mungkin semuanya tidak akan sesulit ini sekarang." Aku kembali berbicara. Dan aku penasaran akan satu hal, maka aku kembali membuka suara dan bertanya.
"Apa dulu, sedikit saja, ada perasaan sayang buat aku?" aku memang cari mati. Dengan bertanya seperti itu, aku ingin mendapatkan jawaban yang sungguh-sungguh. Karena aku benar-benar penasaran dengan jawaban Davie. Apalagi beberapa hari lalu, dia mengatakan jika dia mencintai aku.
"Perasaan itu, aku sudah memilikinya sejak dulu. Tapi aku mengabaikannya demi sebuah impian yang ingin aku kejar." Dan sungguh sangat mengejutkan sekali bukan jawabannya? Ini benar-benar sangat mengusikku.
Aku diam tak bisa menjawab. Aku sungguh menunggu kejujurannya. "Awal aku menikah dengan kamu, perasaan itu memang sama sekali dingin. Aku sama sekali tidak menyukai kamu." Ya, aku ingat sekali bagaimana dinginnya dia jika bersamaku. Dan aku hanya bisa menerimanya.
"Namun lambat laun, aku merasa menyukai kamu dan muncul rasa sayang. Tapi aku terlalu mahir untuk membunuh rasa itu." Ini adalah sambaran petir di siang bolong. Tenggorokanku seolah kering. Jahat sekali bukan lelaki satu ini?
"Dan kamu berhasil." Aku berguman yang tidak sepenuhnya bergumam karena dia bisa mendengarnya.
"Tidak sepenuhnya berhasil." Jawabnya, "Ada masa di mana aku ingin menyerah dan mengatakan kepada kamu kalau kamu tidak bertepuk sebelah tangan." Hebat sekali bukan lelaki satu ini. Dia sudah tahu kalau aku mencintai dia. Tapi dia abai begitu saja dengan perasaan yang aku miliki kepadanya, sedangkan dia juga merasakan perasaan yang sama kepadaku.
"Lucu sekali." Aku terkekeh namun kesakitan di hatiku kentara sekali karena air mataku tiba-tiba mengalir.
"Aku merasa, impianku lebih penting dari seorang perempuan." Aku memejamkan mataku dan tak lagi menahan tangis yang sejak tadi memang sudah keluar. Aku menutup wajahku dengan telapak tangan dan sesenggukan di sana.
"Aku benar-benar minta maaf, Qia." Katanya lagi, "Aku masih terlalu muda waktu itu. Aku merasa, aku mungkin bisa mengejarmu lagi nanti Ketika aku pulang membawa kesuksesan. Tapi nyatanya, semuanya telah berubah." Malam ini sepertinya adalah malam buram bagi diriku. Mengetahui fakta ini, membuat aku merasa semakin buruk.
"Dan satu tahun belakangan ini, aku merasa berat untuk meneruskan kehidupanku di sana. Entah kenapa aku tiba-tiba mengingatmu. Dan kamu adalah salah satu alasan aku kembali ke Jakarta." Otakku benar-benar blank sekarang. Tak bisa lagi berfikir dan ingin sekali aku mendebat lelaki itu. Tapi sayangnya semua kata seolah lenyap tanpa bekas.
"Maafkan aku Qia, karena sudah membuat kamu sakit. Maaf karena kesalahanku di masa lalu kamu harus mendapatkan status yang tidak menyenangkan sama sekali buat kamu sandang di usia kamu yang masih muda. Aku tahu nggak mudah buat memaafkan kesalahan yang udah aku berikan ke kamu. Nggak ada yang patut dipersalahkan selain aku atas semua ini." Davie berdiri dengan wajah yang sangat lelah.
Sedangkan sebisa mungkin agar aku bisa mengakhiri tangisku, itu sama sekali tak berhasil dan justru masih saja keluar. Aku benar-benar rapuh. Entah kesalahan apa yang aku lakukan di masa lalu sampai aku mendapatkan hal seperti ini sekarang.
"Tidurlah." Katanya. Tangannya mengelus kepalaku. Harusnya aku menghidar, tapi bahkan aku tidak bisa karena tubuhnku terasa kaku dan tak bisa bergerak. Sampai Davie keluar dari ruang rawat Devie dan hilang di balik pintu saja, aku masih terpaku di tempatku.
*.*