Davie
Jika ada hal yang sangat ingin aku lakukan sekarang adalah memeluk Qia dengan sangat erat. Saat aku melihat matanya yang masih bengkak itu, aku merasa sangat terluka. Benar kata orang, ketika kamu melukai seseorang yang kamu cintai, itu sama saja kamu melukai dirimu sendiri.
Ketika semalaman aku tidak bisa tidur karena memikirkan Qia, dan datang ke tempat kerjanya aku pikir adalah keputusan yang baik. Jadi di sinilah aku sekarang, berada di gedung kantor Qia entah untuk melakukan apa. Meskipun sejak tadi, orang-orang yang berlalu-lalang menatapku dengan aneh, aku sama sekali tak peduli.
Aku menunggu Qia dengan jantung yang tak berhenti berdetak keras sejak tadi. Akan seperti apa reaksi Qia ketika dia melihatku nanti di sini. Aku yakin, dia akan kaget. Tapi lebih dari itu, aku takut jika dia tak mau bebicara denganku.
Detik demi detik yang aku lalui terasa sangat lama. Padahal baru beberapa menit aku berdiri di sini. Kemudian aku teringat, bagaimana dengan Qia yang bertahan dengan kesulitannya beberapa tahun lalu. Sejak menikah denganku, sampai tidak ada aku di sisinya.
Memikirkan semua itu, menjadikanku merasa tak pantas untuk meminta kesempatan kembali kepada Qia. Di sisi lain, otakku mengatakan jika ini adalah waktunya untuk aku memperbaiki semuanya.
Memejamkan mata, aku merasakan kefrustasian yang begitu sangat. Aku mengatakan kepada diriku sendiri, jika dia tak datang dalam waktu lima menit, aku akan pergi dari sini. Dan, memikirkan kembali apa yang harus aku lakukan setelah ini.
Tapi ternyata, Tuhan, memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Aku melihat Qia turun dari mobil, dan pandangan kami bertemu.
Aku tersenyum ke arahnya, melangkah pelan untuk bisa mendekatinya.
"Qia." panggilku, saat kita sudah saling berhadapan. "Kamu... Baik-baik aja kan?" aku hanya ingin mendengar jawaban langsung darinya jika memang tak terjadi apapun pada dirinya ketika semalam dia pergi begitu saja dari rumah sakit. Aku hanya ingin memastikan saja.
"Aku baik." jawabanya seperti bisikan. "Kamu. Apa yang kamu lakukan di sini?"
Aku menatapnya tak langsung menjawab. Aku mengkhawatirkanmu, aku lalai karena semalam aku tidak langsung mencarimu. Harusnya itu yang harus aku katakan kepadanya. Sayangnya semua kalimat itu hanya bisa tertelan di tenggorokan.
"Maaf." kata itu terlontar begitu saja dari bibirku. Aku bahkan bisa melihat wajah Qia menegang. Matanya terlihat memerah, dan bisa aku pastikan jika dia menahan tangis.
Tak mendapatkan jawaban, tak membuatku putus asa. "Maaf atas semuanya, Qia. Semuanya." kataku lagi. "Aku bersalah kepada kamu. Bahkan sampai aku nggak tahu, gimana caranya aku bisa menebus semua kesalahanku. Ketika semalam kamu tiba-tiba kamu menghilang, harusnya aku mencarimu. Tapi sayangnya aku terlalu tak bisa melakukannya."
Air mata Qia jatuh tepat ketika aku mengatakan kalimat panjang tersebut. Lebih mendekat, aku memegang kedua pundaknya dan menatapnya dengan sungguh-sungguh agar tahu jika aku benar-benar menyesal.
Dia tak kunjung menjawab. Menoleh ke samping, Qia terlihat kercekat entah karena apa. Dengan melepaskan peganganku pada pundaknya, aku ikut menoleh ke arah di mana Qia memandang. Dan aku bisa melihat seorang lelaki tinggi, dengan menggunakan pakaian kantor lengkap dengan jasnya. Lelaki itu memandang ke arah kami. Bukan. Lebih tepatnya memadang Qia dengan lekat.
Dan ketika dia mendekat, entah kenapa aku merasa ada yang tidak beres dengan situasi ini. Aku merasa, jika lelaki iti benar-benar tak asing di mataku. Tapi dimana aku pernah melihatnya, aku lupa sama sekali.
"Aku nyariin kamu tadi." katanya berbicara kepada Qia. "Kamu nggak papa? Kalau memang kamu ada urusan di luar kantor, kamu bisa selesaikan dulu." Dan ini seperti petaka bagiku ketika ingatanku bekerja dengan baik. Lelaki ini, adalah lelaki yang sama yang pernah aku lihat waktu itu.
Ya, aku pernah melihat lelaki itu di mall bersama Qia. Jadi, lelaki ini bekerja di perusahaan milik keluarga Qia juga.
"Anda bisa mengajak Qia ke tempat yang lebih layak untuk berdiskusi. Nggak enak, kalau obrolan kalian di dengar oleh karyawan lain." katanya padaku. Aku diam karena masih tertampar oleh apapun yang aku lihat sekarang. Dan benar apa yang dikatakan oleh lelaki itu, posisi kami masih di depan kantor dan itu sebenarnya rawan.
"Qia. Aku masuk dulu. Selesaikan apa yang ingin kamu selesaikan." setelah mengatakan itu, dia pergi dan tak lupa mengangguk kepadaku sebagai sapaan secara tidak langsung.
Dia lelaki yang tenang dan terlihat dewasa. Aku bisa mengambil kesimpulan, jika ini tak akan mudah bagiku. Tidak mudah untuk memenangkan hati Qia, atau bersaing dengan lelaki itu. Apalagi, mereka bisa selalu bertemu.
°•°
Qiana
"Pulanglah, Dav. Aku harus kerja." Kataku setelah tak ada lagi percakapan diantara kami. Entah kenapa, Davie terlihat linglung setelah melihat Bang Rado tadi.
"Kamu nggak salah apapun kepadaku." kataku lagi. "Semua ini emang udah takdir Tuhan. Jadi kita nggak bisa nyalahin siapapun. Dan soal semalan," Aku menjeda ucapanku sebelum melanjutkan, "Aku memang sengaja pergi karena sudah ada kamu yang menunggui Devie."
Aku melangkah pergi untuk masuk ke dalam gedung kantor, ketika Davie berbicara lirih. "Jadi dia orangnya kan?" aku menegang dengan tubuh bergetar. Bahkan rasanya, kakiku tak bisa berdiri tegak. Tapi enggak, aku harus tetap kuat dengan semua ini.
"Iya." kataku menjawab. Dan langsung meninggalkan Davie sendiri di depan kantor. Meskipun air mataku tak bisa terbendung, aku tetap melangkah untuk masuk. Hari ini harus berjalan sesuai yang seharusnya. Meskipun akan sangat sulit, tapi aku tidak ingin menjadikan Davie sebagai kelemahanku.
"Qi!" aku berhenti melangkah ketika suara seseorang terdengar. Bang Rado masih membawa tas kerjanya dan berjalan mendekatiku. Jadi dia belum masuk ke dalam ruangannya? Batinku.
Aku mengusap wajahku yang masih ada sisa-sisa air mata di sana. Berusaha tersenyum, aku menatapnya.
"Abang belum masuk?" tanyaku basa-basi.
"Kalau kamu nggak baik-baik saja, kamu bisa libur." Katanya lembut.
Aku tersenyum. "Aku baik, Bang. Dan akan selalu baik." Lebih tepatnya, aku hanya ingin menguatkan diriku sendiri jika tak ada yang bisa membuatku lemah, bahkan Davie sekalipun. "Aku ke ruanganku dulu ya, Bang." Tanpa menunggu Bang Rado menjawab, aku melangkah pelan.
Lagi-lagi, suara Bang Rado terdengar. "Aku sudah memutuskan, Qia." katanya yang membuat kakiku reflek berhenti melangkah. "Kamu sudah bemberiku kesempatan untuk bisa masuk dalam hatimu. Jadi maaf, kalau aku akan sedikit ikut campur dengan apapun yang berkaitan denganmu, termasuk mengenai siapapun lelaki yang berusaha mendekatimu. Aku nggak akan tinggal diam, jika aku merasa bahwa dia akan mengganggu hubungan kita." Aku menyengkram tasku erat untuk meluapkan kefrustasian.
Aku berbalik, dan hanya menjawab dengan senyuman saja. Mengatakan banyak hal, hanya akan membuat aku semakin menenggelamkan diriku di dalam bumi.
Dan setelah kejadian ini, aku sama sekali tak melihat David untuk beberapa hari. Ketika devie keluar dari rumah sakit pun, dia tak menunjukkan batang hidungnya. Aku berusaha untuk tak bertanya kepada siapapun, tapi Devie, gadis dengan segala jiwa cenayang gadungannya, dapat menebak apa yang aku pikirkan.
"Gimana perasaan Kakak sekarang?" tanya Devie saat aku masih betah berada di dalam kamarnya.
"Aku baik." meskipun aku bingung kenapa dia menanyakan itu yang jelas-jelas terlihat jika aku sangat baik. Aku tetap menjawab.
"Kalau hati Kakak?" aku berhenti membolak-balikkan majalah mendengar ucapan Devie.
"Jangan membahas ini. Bisa?" Aku ingin lebih dulu melepaskan beban ini berhenti sejenak untuk tidak memikirkannya.
Aku melihat Devie mengedikkan bahunya. "Aku nggak tahu sekarang Abang berada dimana." Kata Devie. "Setelah malam dimana Kakak berbicara serius dengan Abang, Abang terlihat sangat frustasi. Mungkin ini salahku juga karena menyalahkan Abang tentang keputusan bodohnya yang diambil beberapa tahun yang lalu." Aku hanya diam mendengarkan apa yang Devie katakan tanpa menyela. Padahal, jantungku rasanya mau keluar saja sekarang saking gaduhnya di dalam sana.
"Kakak nggak perlu mikirin Abang. Lanjutkan saja hidup Kakak. Aku akan mendukung apapun pilihan Kakak nanti, meskipun itu bukan dengan Abang. Apapun yang membuat Kakak bahagia, kejarlah." rasanya aku ingin menangis saja sejadi-jadinya sekarang mendengar Devie mengatakan itu.
•°•
Yoelfu