Davie
Aku menengadah menatap langit malam. Semilir angin menyapa sebagian kulitku yang tak tertutup apapun. Aku memejamkan mata sambil memikirkan banyak hal. Mulai dari pertemuan pertamaku dengan Qia, sampai kami menikah dan perasaan cintaku yang tumbuh. Dan tentu saja sakitnya karena berpisah dengannya.
Ah, sepertinya aku nggak mau mengingat lagi kejadian waktu itu. Rasanya begitu menyesakkan sekali.
Aku berjalan untuk kembali kedalam ruang rawat Devie. Memastikan jika Qia sudah tidur di dalam sana. Bukannya aku memikirkan Devie, pikiranku justru mengarah ke Qia. Kalau adikku itu tahu, dia pasti akan mencibirku habis-habisan.
Aku membuka pintu rawat inap Devie dengan pelan. Takut jika suara pintu kokoh itu membuat perempuan -perempuan yang sedang beristirahat di dalam sana akan terganggu.
Hal pertama yang aku dapati saat masuk ke dalam ruangan tersebut adalah Devie yang tengah duduk di ranjangnya dan menatap ke depan dengan pandangan kosong. Tidak ada Qia di sana.
Aku mempercepat langkahku untuk sampai di mana Devie berada. Bahkan saat aku sampai di sampingnya pun dia masih terlihat termenung.
Lalu, di mana Qia berada? Tanyaku dalam hati. Dan memutuskan untuk mencarinya di dalam kamar mandi sampai balkon ruangan ini.
Dan hasilnya nihil. Qia tidak ada dimanapun. Sontak saja dadaku seperti mendapatkan godam besar dan jantungku berdetak tak biasa.
"Kakak pergi setelah Abang keluar tadi." Suara Davie terdengar dan aku langsung kembali mendekatinya. Devie menatapku dengan mata memerah.
"Kemana dia?" tanyaku sambil menggenggam tangannya. Sekian detik, matanya mengalirkan air yang demi Tuhan itu semakin membuatku bingung.
"Aku denger semua yang Abang dan kakak bicarakan." Aku meneguk ludah dengan susah payah. Harusnya dia tak pernah mendengar pembicaraan kami. Atau memang kami lah yang bersalah karena harus membahas masalah ini di ruang rawat inap pasien.
"Jatuh cinta bukan hal yang dosa, Bang. Abang mencintai istri Abang sendiri, bukan istri orang lain." Katanya berapi-api.
Air mata Devie sudah mengalir deras sambil sesekali mengusap air mata tersebut. Aku duduk di kursi dekat ranjang Devie dengan tubuh yang tak memiliki tenaga. Seharusnya yang aku lakukan kali ini adalah dengan mencari kemana Qia berada. Bukan malah menunggui adikku menangis sambil mengomel.
"Kalau Abang tahu kekacauan yang Abang buat waktu itu, mungkin Abang nggak akan sanggup menunjukkan wajah abang di depan Kakak dan orang tuanya sekarang."
"Vie."Panggilku agar dia bisa berhenti berbicara. Tapi adikku itu nggak akan diam sampai dia selesai mengeluarkan unek-uneknya yang mengganjal di hatinya.
"Setiap hari Kakak menangis. Kakak menolak untuk pulang ke rumah dan memilih di apartemen sendirian. Kita semua udah membujuk agar Kakak menenangkan diri di rumah orang tuanya saja. Tapi dia hanya bilang, dia akan tetap di apartemen karena paling tidak dia akan merasakan kehadiran seseorang di sana. Ada jejak seseorang di sana." Tangis Devie begitu terdengar pilu saat menceritakan apa yang terjadi saat aku sudah pergi ke negeri orang. Begitu besarnya kah cinta Qia kepadaku?
"Dia nggak ingin ditemeni siapapun. Tapi aku yang memang keras kepala, aku datang ke sana tiap hari, sebodo amat kalau aku selalu diusir meskipun aku belum sempat duduk. Karena aku khawatir kalau Kakak melakukan hal yang tidak-tidak. Bunuh diri misalnya." Berhenti sejenak, Devie menyeka wajahnya yang dibanjiri air mata.
"Aku sekarang janda Vie. Itu yang dia bilang ke aku waktu itu. Lalu gimana dia bisa melanjutkan hidupnya ke depannya kalau seperti itu. Umurnya masih sangat muda, tapi statusnya begitu miris. Itu yang menjadi beban pikirannya, Bang. Kakak bahkan sempet kehilangan kepercayaan dirinya.
"Dia menutup diri dan nggak keluar rumah. Butuh waktu untuk menyembuhkan 'penyakit' itu, Bang. Tapi Kakak menolak untuk ke psikiater. Dia bilang dia bisa mengatasi hatinya dan pikirannya. Dia hanya butuh ketenangan dan waktu. Kalau orang lain, dia mungkin akan berlari di club malam dan mabuk-mabukan untuk melupakan kesedihannya. Tapi Kakak bukan perempuan seperti itu, Bang.
"Dia tenggelamkan dirinya untuk bersujud di hadapan Tuhan. Meskipun agak lama, dia bisa berdiri lagi dengan kaki tegak. Melanjutkan hidupnya, menjadikan pekerjaaan sebagai media untuk menyembuhkan sakut hatinya." Devie menataku dengan mata merahnya. "Aku tahu Kakak mencintai Abang, bahkan sampai detik ini. Tapi, dia pasti akan tetap berfikir berkali-kali untuk kembali ke pelukan Abang. Karena ada orang lain yang sudah dipertimbangkan untuk menjadi pengganti Abang." setelah memberiku 'peringatan' itu, dia kembali menidurkan tubuhnya dan memunggungiku.
Kalau semua fakta sudah terkuak, lalu apa yang harus aku lakukan? Berjuang untuk kembali mendapatkannya, atau mundur dan membiarkan Qia mendapatkan kebahagiaannya sendiri?
Tuhan... Aku benar-benar dilema sekarang.
°•°
Qiana
Pagi ini tubuhku rasanya remuk. Tidur di sofa setelah lelah menangis betul-betul malas membuatku melakukan apapun. Tapi mau bagaimana lagi, aku harus tetap bekerja.
Berjalan sambil memijat leheku, aku berfikir untuk segera mengguyur tubuhku dengan air dingin. Obrolan apapun dengan Davie semalam berusaha untuk aku sembunyikan dulu di sudut hatiku, agar aku tidak lagi menangis dan menyesali semuanya.
Menyesali dengan keputusan Davie, menyesali kenapa aku nggak berjuang lebih keras lagi agar kita bisa membicarakan permasalahan pelik kala itu, dan tentu saja supaya bisa menyelamatkan hubungan kami.
Tapi sudahlah, toh semua sudah terlanjur. Memang beginilah jalan yang Tuhan kasih untuk kami. Tuhan maha tahu apa yang terbaik buat kami. Entah siapa akhirnya nanti yang akan menjadi pendampingku itu akan menjadi misteri.
Aku bersiap berangkat bekerja saat ada ketukan pintu apartemenku. Jantungku tiba-tiba berdetak tak karuan mengingat satu nama yang mungkin, datang pagi ini.
Melangkah dengan pasti, aku menguatkan hatiku untuk membuka pintu dan bersiap bertemu dengan orang yang ada di balik pintu tersebut.
Memutar kenop pintu pelan, aku membuka pintu tersebut dan mendapati lelaki yang sedang tersenyum dan menenteng sebuah paper bag.
"Bang Rado." panggilku pelan. Lelaki itu masih menyunggingkan senyum dan memberikan sebuket bunga yang disembunyikan di belakang punggungnya.
"Bunga yang cantik untuk gadis yang menawan." Katanya. Menyembunyikan kegelisahanku, aku membuka pintu lebar dan menyuruhnya masuk. Aku menerima bunga tersebut dan kembali menutup pintu.
"Kok Bang Rado tahu kalau aku nginep di sini?" Lelaki yang memakai kemeja biru pas badan itu menoleh dan memberi isyarat agar aku duduk di kursi meja makan.
"Ini bubur ayam khusus buat Nona manis yang aku bawa dari khayangan dan diolah langsung oleh Ibu peri." Aku tertawa dan langsung menyendok bubur tersebut dan mengecap rasanya. Bang Rado ikut duduk di kursi di depanku dan memulai sarapan.
"Feeling, Qi. Sebenernya aku mau ke rumah kamu tadi. Tapi nggak tahu kenapa malah kesini. Dan aku beruntung karena kamu memang ada di sini." Aku mengangguk sebagai jawaban. Entah kenapa, Bang Rado begitu baiknya denganku.
"Berangkat bareng?" tawarnya saat keheningan menyapa kami. Aku menatapnya dan berfikir sejenak. Sejujurnya aku malas untuk menyetir apalagi sisa-sisa kejadian semalam masih menempel erat diingatan meskipun aku berusaha melupakannya.
Jadi, aku kembali mengangguk untuk mengiyakan. "Boleh." kataku yang langsung dihadiahi senyuman memikatnya.
Astaga, kenapa ada lelaki semempesona ini. Jika aku disuruh membandingkan Bang Rado dengan Davie, maka aku akan bilang Bang Rado lebih unggul sedikit dari Davie.
Bang Rado lelaki yang dewasa. Murah senyum, dan yang pasti dia juga penyayang. Bahkan untuk mendekatiku saja dia meminta ijin dariku.
Lalu Davie? Bagaimana dengan lelaki itu? Ah, sudahlah. Sepertinya aku memang harus mengalihkan pikiranku dari mantan suamiku itu.
Selesai makan, kita berangkat bekerja bersama. Di perjalanan, kami mengobrolkan banyak hal. Bang Rado juga lelaki yang enak diajak ngobrol. Dia bisa menanggapi obrolan lawan bicaranya dengan sangat baik.
"Kayaknya ada yang beda sama kamu deh, Qi." kami berhenti karena traffic light berwarna merah. Aku menolehkan kepala kearahnya tanpa bicara.
"Mata kamu terlihat masih bengkak." katanya sambil memandangiku lekat. "Ada masalah pasti kan?" tembaknya tepat sasaran. Aku mengalihkan pandangan kearah lain untuk menghidari tatapan matanya.
"Nggak usah mengelak. Aku tahu kok. Aku juga nggak akan meminta kamu untuk bercerita. Kamu punya privacy yang berhak kamu tutupi dari orang lain termasuk aku. Tapi, Qi," Aku kembali memandangnya saat mobil kembali berjalan. Aku menahan air mataku agat tidak jatuh. Entah kenapa dia mengatakan kalimat itu malah membuatku ingin menceritakan apa yang terjadi semalam.
"Aku siap kalau kamu memang butuh seseorang untuk bercerita. Aku siap mendengarkan meskipun aku tahu aku nggak akan bisa kasih saran apapun. Seenggaknya kamu bisa lega dengan curhat ke orang lain." Aku menahan sesak yang seolah kembali menyerangku.
Mencoba tersenyum, aku menanggapi. "Mungkin lain kali, Bang." Dan dia hanya tersenyum tanpa menanggapi. Begitulah Bang Rado. Lelaki dengan segala kehebatannya.
Tapi, jantungku kembali dibuat gempur karena seseorang yang berdiri di depan gedung kantorku dengan begitu gagah. Aku tahu dia siapa, bahkan saat dari kejauhan pun aku bisa mengenalinya. Dan saat mobil Bang Rado berhenti tepat di depan kantor, aku bisa melihat jelas jika dia benar-benar Davie.
Ketika aku memutuskan untuk turun dan pandangan kami beradu, aku bisa melihat kekacauan di wajahnya. Matanya sayu, dan senyumnya terlihat lelah. Tuhan.... Jeritku dalam hati entah karena apa.
•°•
Yoelfu