Davie
Aku manatap potret seorang perempuan cantik yang tengah tersenyum manis ke arah kamera. Dia membawa buku tebal di tangannya dan tas ransel di punggungnya. Bukankah dia terlihat sekali sungguh-sungguh ingin mendapatkan ilmu di bangku kuliah?
Senyumku tak bisa aku tahan melihat ingatan itu. Itu adalah potret Qiana yang aku ambil pertama dan terakhir kalinya, dan hanya satu-satunya. Dan beruntung, foto itu tak pernah hilang dari ponselku. Bahkan, Qia saja tak tahu tentang foto ini.
Saat itu, kami akan pulang kuliah. Dia menungguku di taman kampus karena kami akan pulang Bersama. Diam-diam aku memotretnnya ketika aku sudah ada di depannya. Entah kenapa aku merasa aku perlu memiliki gambar Qiana.
Aku mencengkram erat ponsel yang aku genggam karena ingatan beberapa tahun yang lalu. Ketika dulu, tak ada siapapun yang menghalangiku untuk mendapatkan Qia, aku menyianyiakan perempuan itu. Dan ketika sekarang ada lelaki lain yang berada diantara kami, aku begitu menginginkannya.
Aku menatap lautan di depan sana dari arah balkon kamarku sambil memikirkan cara apa yang harus aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini. Bagaimana caranya, supaya Qiana bisa memberi kesempatan kedua kepadaku. Pun dengan Ayah dan Bunda.
Deringan ponselku kembali terdengar, nama Devie tertulis di layar ponselku. Entah sudah berapa kali dia menghubungiku sejak beberapa hari ini. Tapi aku mengabaikannya. Dan sepertinya, ini sudah waktunya aku berbicara dengannya. Karena ini sudah hari ketiga, dan entah akan sengamuk apa dia nanti. Apalagi saat dia keluar rumah sakit, aku tak ada di sana.
"Hallo," tak ada suara dari arah sana. Aku kembali masuk ke dalam kamar dan duduk di sofa. Menunggu luapan emosi dari Devie yang pasti akan terjadi.
"Jadi gini ya, Bang cara lelaki dewasa menyelesaikan masalah?" Nada bicara Devie sangat biasa layaknya kita sedang mengobrol. Aku memilih bungkam karena faktanya aku terlalu pengecut. "Hidup lama di luar negeri nggak membuat seorang Davie berubah. Masih terlalu bodoh untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."
"Vie,"
"Aku belum selesai bicara, Bang." katanya tegas. Bukannya aku tak ingin mendebat. Tapi membiarkan Devie berbicara lebih dulu adalah keputusan baik menurutku. Karena aku tahu akan sepedas apa bicaranya nanti.
"Kalau orang lain memilih berjuang, Abang memilih melarikan diri. Kalau orang lain memilih mencari cara, Abang bersembunyi, kalau orang lain memilih lebih medekat, Abang memilih menjauh." katanya lagi. "Aku capek melihat Abang begini. Aku capek melihat Abang yang mencintai tapi merasa kalah dari orang lain. Apa sekecil itu mental Abang?"
Aku hanya bisa diam menatap televisi di depanku yang tak menyala. Karena Devie berbicara pelan tapi aku bisa merasakan kekalutan dalam hatinya.
"Aku menyayangi kalian berdua. Aku menyayangi Abang, dan menyayangi Kakak sama besarnya. Kalau memang dengan mengejar dan berjuang bisa membuat kalian bersatu kembali, maka Abang harus melakukannya. Karena di sini, Abang lah yang harus memperjuangkan Kakak." Sambungan telpon mati, meninggalkan aku yang hanya bisa terdiam tanpa melalukan apapun.
Kebimbanganku terjawab. Aku harus tetap maju memperjuangkan cintaku untuk Qiana. Selama dia belum memilih dan memutuskan untuk menikah dengan lelaki itu, aku akan berjuang. Benar, aku harus berjuang.
Maka dengan gesit, aku membereskan pakaianku, memasukkan pakaianku ke dalam tas ransel yang aku bawa, dan memesan tiket untuk kembali ke Jakarta. Karena aku harus segera meninggalkan Yogyakarta dan kembali ke sini ketika aku dan Qiana sudah bersatu. Itu janjiku kepada diriku sendiri.
Biarkan kepercayaan diriku memberi kekuatan untuk berjuang.
°•°
Qiana
Aku berbaring di kasur sambil memainkan ponsel. Weekend memang membuat semua orang jadi bermalas-malasan. Aku ada rencana pergi bersama Devie sebetulnya, tapi gagal entah karena apa. Dia hanya bilang, 'Kak, hangoutnya di undur ya' tanpa ada penjelasan apapun lagi.
Jadi ya sudahlah, aku bersantai saja di apartemen. Bahkan aku sudah memesan makanan melalui Go Food karena malas memasak.
Makanan datang, dan aku menikmatinya di depan televisi. Rasanya benar-benar damai. Apapun masalah yang sedang terjadi saat ini, aku ingin melupakannya dulu. Waktunya mengistirahatkan otak dan juga tubuh.
Selang beberapa menit setelah perut terisi penuh, aku tertidur di sofa dengan televisi masih menyala. Entah aku bemimpi atau apa, aku merasa ada seseorang yang tengah mengelus kepalaku. Bahkan aku juga merasa ada yang mengecup keningku. Tapi bukannya aku terbangun, rasanya aku semakin tersedot ke alam mimpi.
Aku terbangun setelah jam menunjukkan pukul setengah satu siang. Tapi ada yang aneh rasanya di ruangan ini. Aku merasa ada sesuatu yang ganjal, seperti kehadiran seseorang.
"Allahuakbar." jeritku kaget ketika aku melihat di sofa single Davie sedang menatapku. Dia tak mengatakan apapun, tapi matanya terus saja menghujaniku dengan tatapannya. Aku menekan dadaku karena ada kegaduhan di dalam sana. Entah efek kekagetanku atau karena hal lain aku tak tahu.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Dav?" Nadaku sedikit ketus.
"Karena aku kangen kamu." Jawaban lugas dan tak terkontrol sama sekali.
"Tolong jangan masuk rumah orang sembarangan, Dav."
"Tapi ini juga rumahku, Qia." Aku tak tahu harus menjawab apa karena memang begitulah faktanya. Kemudian aku mengangguk dan berlalu dari sana untuk masuk ke kamar.
Aku harus segera pergi dari sini. Jadi, dengan cepat setelah aku menjalankan kewajibanku aku membawa tasku dan keluar dari kamar. Keinginanku untuk bermalas-malasan di apartemen sirna sudah.
Tanpa pamit, aku melewati Davie yang masih duduk di tempatnya dalam diam.
"Sebenci itu kamu sama aku, Qia?" Aku berhenti melangkah. Mataku memejam, rasanya tiba-tiba lelah menggerogotiku.
Aku membalikkan tubuhku menghadap Davie. Lelaki itu sudah berdiri dan menatapku. Ada tas tersampir di kedua pundaknya. Dia masih terlihat lelah seperti terakhir kali aku melihatnya.
"Aku nggak membeci kamu, Dav." Kataku. "Tapi aku dan kamu dalam satu rumah, itu yang akan menjadi masalah. Jadi aku harus segera pergi agar nggak menimbulkan fitnah."
Davie melangkah mendekat dan berhenti tepat di depanku. "Aku Lelah, Qia." katanya. "Aku lelah harus berlari dari kenyataan jika kamu sudah memberi peluang kepada lelaki lain untuk mendapatkan kamu." aku diam tak menjawab.
"Aku pernah bilang jika aku akan mendapatkanmu kembali untukku sendiri kan? Aku akan pastikan itu akan terjadi. Kalau lelaki itu baru memulai berjuang untuk mendapatkan cintamu, aku sudah mengawali start karena faktanya, cinta itu sudah melekat di hati kamu untuk aku."
"Kamu terlalu percaya diri."
"Aku bisa melihatnya, Qia. Kamu... Masih... Cinta... Aku." Dia mengatakan tepat di telingaku dengan kemantapan luar biasa. Tak ada kegamangan dalan nada suaranya.
"Istirahatlah, aku yang akan keluar dari sini." Davie tersenyum dan mendekat untuk mengecup keningku. Jantungku rasanya hampir keluar karena perlakuannya.
Sebelum dia benar-benar meninggalkan apartemen, dia menyempatkan berbicara kembali yang membuatku ingin menendangnya.
"Mulai besok, aku nggak akan lagi menjauh, menghindar, apalagi harus menyerah dan memberikan peluang untuk lelaki itu. Jadi, Qia, aku akan berada dalam jarak pandangmu." Begitu dia bilang.
"Aku mencintai kamu." Dan kata-kata itu, terasa seperti musik yang mencekam di sebuah pesta pernikahan. Davie benar-benar luar biasa membuatku mati kutu.
•°•
Yoelfu