Qiana
Hanya perlu waktu 30 menit untuk sampai ke rumah sakit. Bahkan Bunda yang biasanya memerlukan waktu agak lama saat berdandan, hanya mengambil kerudungnya dan dipakai asal supaya bisa segera berangkat. Berita kerabat di opnam di rumah sakit adalah berita besar bagi semua orang. Kekhawatiran itu pasti akan langsung menelusup masuk ke dalam hati kita ketika mendengarnya. Begitupun dengan kami.
Kami sampai di depan pintu no 135 ruang Vip. Tanpa mengetuk pintu terlelebih dulu, Bunda langsung nyelonong masuk. Sangat tidak sopan sekali. Di sana, di dalam ruangan ini hanya ada Devie yang duduk dengan memainkan ponselnya. Mama dan Papa juga nggak ada di sini.
"Bunda. Ayah. Kakak?" Devie membelakkan matanya saat melihat kami masuk ke dalam kamarnya. "Kok bisa?" katanya, terlihat bingung.
"Dasar anak nakal, kenapa nggak kasih kabar ke Bunda? Kamu udah nggak nganggep Bunda lagi ya?" Bunda memulai dramanya. Ya, selalu seperti itulah ibu-ibu. Penuh drama.
"Bukan, Bun, sebenarnya aku cuma flu, badanku panas nggak turun-turun. Terus aku dipaksa Abang buat ke rumah sakit. Bener-bener dipaksa, Bun, padahal aku nggak mau." Mendengar kata Abang, kenapa rasanya dadaku berdesir seperti ini? Dasar Qia bodoh.
"Kakak!" Aku menatap Devie dan dia terlihat pucat. Aku pastikan setelah sembuh nanti, dia akan perawat ke salon dan mengeluh ini dan itu.
"Hem."
"Kenapa diem aja sih? Kalian tahu aku dirumah sakit dari siapa? Pasti Nofi kan?" belum-belum udah nrocos aja tuh mulut.
"Iya, Nofi yang bilang ke Kakak. Lagian kamu nggak kasih kabar."
"Sebenarnya aku cuma mau periksa aja, Kak, tapi malah disuruh rawat inap sama Abang. Dia kan gitu, nyebelin."
"Itu juga demi kebaikan kamu, Vie. Biar kamu juga bisa cepet sembuh." Itu suara Ayah.
"Bukan gitu, Yah__" Devie masih ingin mendebat dan langsung dihentikan oleh Ayah.
"Udah. Kamu istirahat aja. Bandel." Begitu kata Ayah, "Terus kamu sendirian nggak ada yang jagain?" lanjut Ayah.
Devie menggeleng. "Nggak, Yah, Mama Papa pulang. Buatin aku makanan." Devie nyengir setelah mengatakan itu. Dia memang nggak mau makan makanan rumah sakit.
"Paling sebentar lagi Abang kesini. Kalau abang nggak kesini Kakak di sini dulu ya, temenin aku." Devie memasang wajah memelasnya. Membuat aku mendengus tapi mengiyakan juga. Nggak tega kalau dia harus sendirian, apalagi saat keadaannya sedang sakit.
Lama kami menunggu siapapun yang akan datang untuk menemani Devie, karena kami memang akan pulang, hari juga semakin malam, pukul 10 malam.
"Bunda sama ayah pulang ya, Vie, udah malem. Qia temenin adiknya ya. Kasihan kalau ditinggal sendirian." Papa sama Mama sepertinya memang nggak balik ke rumah sakit.
Bunda sudah berdiri dan siap-siap untuk pergi. Jadi ini beneran aku harus nemenin Devie? Bukan apa-apa, tapi aku takut tiba-tiba terjebak dengan sesuatu. Davie mungkin. Dasar otakku memang nggak tahu situasi.
"Ya udah deh, Bun, aku nemenin Devie kalau gitu. Bunda dan ayah pulang aja." mereka pamit dan hilang dibalik pintu.
"Kak." aku mengalihkan fokusku yang sedang meneliti kamar rawat Devie ke arah Devie. "Kakak nggak akan jadi kakak iparku lagi ya? Kan kakak udah mau dapat pinangan dari cowok yang waktu itu." Devie terlihat tersenyum, tapi aku tahu itu sangat dipaksakan. Entah kenapa tiba-tiba dia menanyakan hal seperti itu.
"Kakak nggak akan lupain aku kan kalau kakak nikah sama cowok itu. Kakak diijinin sama dia kan kalau nanti aku mau jalan bareng sama Kakak?" aku menelan salivaku pelan, Devie, cewek yang semaunya sendiri tapi aku tahu dia sangat menyayangiku.
"Kakak belum melangkah sejauh itu kok, Vie, Kakak baru proses pengenalan." Aku menarik nafas panjang sebelum kembali melanjutkan. "Kami memang sudah saling mengenal sejak lama, tapi hanya sebatas itu. Nggak lebih." Aku menjelaskan gimana hubungan yang terjadi antara aku dengan Bang Rado.
"Aku kadang masih berharap besar dengan hubungan kalian," Devie menatapku, "Kakak menjadi kakak iparku lagi, dan kita bisa menjadi satu keluarga lagi. Tapi kayaknya hal itu sulit untuk diwujudkan. Benarkan, Kak?" aku balas menatapnya.
"Bukannya kita ini sudah satu keluarga ya?" tanyaku, "Dengan atau tanpa aku jadi kakak ipar kamu, kita nggak bisa mengelak jika hubungan kita adalah hubungan keluarga." Ini adalah pembahasan yang baru bagi kami. Sebelumnya, kami tidak pernah membahas masalah ini karena memang kami sama-sama tahu jika aku, masih dalam tahap 'menyembuhkan' lukaku.
"Ya, aku tahu." Setuju Devie, "Tapi pasti nggak akan sama lagi kalau Kakak sudah memiliki suami." Aku menghembuskan nafasku panjang berusaha mengendalikan perasaan yang terasa teraduk.
"Kita nggak perlu lagi bahas ini, sekarang kamu istirahat aja. Kakak juga ngantuk banget, seharian kerja." Mengakhiri percakapan ini memang lebih baik. Aku bukannya menghindar, tapi ini sangat memusingkan. Ketika Devie kembali berbaring, aku hanya menatapnya dan turun dari ranjang. Aku masih belum ingin tidur meskipun aku bilang aku sudah mengantuk.
Beruntung, Devie adalah gadis yang mudah sekali tidur. Dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja, nafasnya sudah terdengar teratur. Aku akan melangkah menuju jendela kaca ketika pintu kamar terbuka dan berdirilah Davie di sana.
Detakan jantungku tiba-tiba menggila dan aku berusaha untuk mengendalikannya. Dengan wajah agak berantakan, mata yang terlihat sayu, dan kemeja kusut yang digunakan seharian bekerja. Itu membuatnya terliihat menawan. Devie sempat mengatakan jika Davie memang sekarang sudah kembali bekerja.
Dan lagi-lagi aku merutuki kebodohanku, aku pasti menghindari situasi seperti ini jika saja aku langsung tidur. Ketika Davie melihat ke arahku, wajah laki-laki itu terlihat kaget. Namun setelahnya ada senyum yang terlukis di bibirnya. Kakinya berjalan ke arahku dengan mata yang menatapku lekat. Setelah sampai di depanku, dia melayangkan tangannya untuk menyentuh wajahku. Kaget, tentu saja. Kenapa dia semakin berani saja terhadapku.
Aku bisa melihat wajahnya dengan sangat dekat. Dan hanya satu yang bisa aku katakan sekarang, dia benar-benar terlihat lelah. Tapi nafasku hampir putus karena perlakuan dia yang tiba-tiba memelukku. Tubuhku benar-benar menegang. Tapi Davie malah mempererat pelukannya. Menyembunyikan wajahnya di bahuku.
Ini dua kalinya kami melakukan kontak fisik seperti ini. Setelah aku kehilangan kendali ketika di apartemen waktu itu, sepertinya Davie memang merasa jika bukan masalah jika kami melakukan hal itu.
"Aku bersyukur kamu ada di sini sekarang," gumamnya dengan suara rendah, "Hidupku terasa utuh kembali saat pulang kerja ada wajah kamu yang bisa aku lihat. Aku ingin seperti ini selamanya. Selamanya Qia."
Tuhan, andai aku bisa aku ingin lari saja dari sini dan menganggap ini tidak pernah terjadi. Tuhan, aku harus apa sekarang? Tolong bantu aku melewati kegamangan ini. Tolong. Tolong.
°•°•°