"Kita sudah berada sekitar satu jam lebih di sini," kata Kla menyudahi sesi nostalgia mereka. Dia melirik ke arah jam tangannya yang menunjukkan sudah pukul empat lewat dua puluh menit.
"Baiklah, sudah saatnya pergi. Kamu yang mentraktirku kan, Kla?"
✓✓✓
"Aku menghabiskan ratusan ribu hanya untuk dua potong Food Cake dan dua gelas minuman," Kla menggelengkan kepala tidak percaya dengan harga yang harus dibayar olehnya.
Mereka sekarang sudah berada di dalam mobil. Hujan masih saja mengguyur dengan derasnya. Kaca depan mobil dipenuhi bulir-bulir air. Suara hujan yang menghantam atap pun seperti kerikil-kerikil kecil yang dilempar ke atasnya.
"Aku akan membayar pesanan Bunda," kata Fe menghibur saudara kembarnya.
Harus diakui Fe, kafe itu memang menarik, namun harganya melambung tinggi selangit. Padahal untuk perdana, mereka seharusnya menetapkan harga yang lebih murah dan harus dijangkau oleh masyarakat—dia tahu pemiliknya membuka kafe itu di kawasan elite kota mereka.
"Aku tidak tahu apakah kau memperhatikan, Feliciato—sebutan dalam Bahasa Spanyol—lihatlah mobil di belakang sana. Padahal pemiliknya sudah masuk ke dalam, namun mobil tetap tidak beranjak dari tempatnya! Seperti dia tengah menunggu kita beranjak! Kau tahu, stalker," kata Kla seraya menunjuk sebuah mobil mahal, Ferarri Spider.
"Abaikan mereka, mungkin saja mereka memiliki hal sama yang harus dilakukan di tempat ini," Fe menyetel MP3 Player yang ada di dalam mobil.
Alunan lagu yang dinyanyikan Sia, berjudul Chandelier, mengalun pelan dari MP3 Player.
"Ya, mungkin kamu benar," Kla menyetujui perkataan Fe. "Ayo segera menuju ke mall terdekat, lalu pulang. Aku lelah sekali."
"Disuruh seperti ini kamu bisa lelah ya," Fe menyeringai kepada saudara kembarnya. "Tapi, ketika disuruh mendaki gunung tertinggi, kamu bersemangat sekali."
"Oh, tentu saja. Mendaki gunung dan berjalan-jalan seperti ini adalah dua hal yang berbeda," Kla membenarkan ucapan Fe. "Mendaki gunung itu membutuhkan semangat yang besar. Juga ketika berada di puncak, kita seakan bisa melihat segalanya, tiga ratus enam puluh derajat tanpa halangan!"
Kla mulai melajukan mobil meninggalkan parkiran kafe. Dia melirik ke belakang menggunakan kaca spion dan menemukan mobil Ferrari itu benar-benar mengikuti mereka. Menepis pikiran buruknya, pemuda itu mengajak saudari kembarnya bercengkrama.
"Jika saja kita benar-benar bisa menjelajahi semua tempat di dunia, kau ingin menjelajahi bagian mana terlebih dulu?" tanya Kla.
Fe terlihat berpikir sesaat, lalu bertanya balik kepada saudara kembarnya untuk memastikan, "Semua tempat di dunia bukan?"
"Ya," jawab Kla fokus dengan acara mengemudinya.
"Aku ingin menjelajahi Atlantis tentu saja!" seru Fe. Matanya berbinar-binar ketika mengatakan hal tersebut. "Bayangkan jika kita berada di sebuah kota di dasar lautan es! Bertemu bangsa-bangsa aneh yang tidak ada di dunia modern; Druid, Meropid, Hyperborea, Maya, Aztek, hingga ke beberapa makhluk lainnya yang dikatakan terbentuk karena Pandora yang dipercaya untuk menyimpan sebuah kotak yang dikenal sebagai namanya, membuka kotak tersebut atas rasa keingintahuan yang dimilikinya, membawa malapetaka bagi dunia."
Fe menarik napas sesaat, lalu melanjutkan penjelasannya yang tertunda. "Gargantuan juga merupakan salah satu makhluk yang menghuni Atlantis. Bangsa Siren sepertinya sekarang yang tinggal di dalamnya. Mengingat Atlantis sudah tenggelam di dasar laut."
"Kau percaya kekonyolan semacam itu?" Kla tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh saudari kembarnya tentang Atlantis. Dia sendiri menganggap Atlantis hanya sebagai karya fiksi dari alm. Plato, seorang filsuf yang terkenal.
"Tentu saja aku percaya! Atlantis itu sepertinya benar-benar ada. Coba kau pahami. Bahkan orang-orang di Timur Tengah saja bisa menuliskan tentang Atlantis. Bagaimana perang kota Athena dengan kota Atlantis? Jika itu tidak nyata, Timur Tengah tidak akan pernah mengakui pernah beraliansi dengan Yunani untuk menaklukkan kota dengan beragam bangsa-bangsa aneh tersebut. Murid Plato, Xenokrates, sudah membuat sebuah karya tentang komentarnya terhadap Atlantis, meskipun pada akhirnya karya tersebut hilang. Lalu, bagaimana dengan Solon yang menemui pendeta Sais di Mesir, Timur Tengah, hanya untuk mendapatkan catatan informasi yang ditulis dalam hieroglif?"
"Terserah. Pokoknya aku tidak percaya bahwa Atlantis itu ada," kata Kla. Dia melirik ke kaca spion sekali lagi. Mobil itu masih saja mengikuti mereka di belakang sana.
"Fe ...," panggilnya.
"Apa?" balas remaja perempuan di sebelahnya jengkel.
"Mobil Ferarri Spider itu benar-benar mengikuti kita," kata Kla.
Fe menolehkan kepalanya ke belakang, lalu berkata pada saudara kembarnya, "Abaikan mobil itu. Paling juga orang itu ingin pergi ke mall atau kebetulan sekali rumahnya searah dengan jalan yang kita lalui."
Kla tidak habis pikir dengan saudari kembarnya yang santai dan tidak menaruh curiga itu. Anggaplah seperti itu, pikirnya.
Mobil Kla memasuki parkiran mall. Astaga! Pemilik mobil menepuk jidatnya pelan melihat parkiran dipenuhi mobil-mobil. Dia terpaksa harus mengemudikan mobilnya ke lantai atas.
Sama seperti di lantai satu, di lantai dua hingga lantai empat dipenuhi mobil-mobil. Akhirnya dia menemukan beberapa ruang kosong di lantai lima.
Kla menghentikan mesin ketika mobilnya terparkir tepat di sebelah pintu masuk lantai lima mall. Sehingga dia dan adiknya tidak harus berputar-putar untuk menemukan pintu masuk.
Mobil Ferarri yang sedari tadi mengikutinya, berhenti tepat di samping mobilnya. Dari dalam keluarlah dua remaja—seusia mereka, juga sepasang kembar laki-laki dan perempuan—yang merupakan kebalikan dari Kla dan Fe. Yang laki-laki memiliki surai hitam legam, berwajah tampan, serta Indonesia tulen, dan yang perempuan memiliki surai pirang, kulit mereka sama-sama putih seperti Kla. Yang membuat penampilan mereka aneh adalah bola mata mereka, yang laki-laki berwarna merah darah dan yang perempuan berwarna ungu cerah—hampir mendekati biru. Mereka kembar identik.
"Albino," Kla dapat mendengar Fe berkata.
"Maksudmu mereka?" tanya Kla.
"Siapa lagi kalau bukan mereka?" Fe membuka pintu mobil setelah mengatakannya. Dia mengabaikan tatapan dua anak bule kembar—Simon Venichii Levine dan Seira Veranichii Levine—yang menatapnya dan memasang airpods ke dalam telinganya.
Si kembar Levine juga mengabaikan Fe yang tengah menunggu Kla. Mereka masuk terlebih dulu ke dalam mall.
"Sudah kukatakan padamu. Mereka memiliki kepentingan yang sama. Jangan terlalu berburuk sangka pada orang lain, Kla," Fe mengingatkan saudara kembarnya atas selalu berprasangka buruk pada orang lain.
"Habisnya mereka mengikuti dari pameran hingga ke tempat ini. Aku mana bisa tak berprasangka buruk kepada mereka. Seperti stalker saja," gerutu Kla.
"Daripada marah-marah tak jelas seperti itu, kita pergi menonton film saja. Aku juga sudah mengatakan kepada Bunda mungkin kita akan telat pulang hari ini," Fe berjalan meninggalkan Kla.
Pemuda itu berseru kepada adiknya, "Tunggu! Hei!" Dia mengejar saudari kembarnya yang seenaknya itu.
"Ada film apa saja yang tayang hari ini?"