"Laki-laki mana yang berani mendekati putriku?" Kla dapat mendengar sebuah suara dingin bertanya.
Deg! Kla bisa merasakan aura membunuh dari perkataan itu. Dia menatap ke depan sana sambil tertawa gugup. "Hahaha ... Dad, eh ... Uncle ... aku bisa meluruskan kesalahpahaman ini ...."
✓✓✓
Dan ... di sanalah Fe dan Simon sekarang, di antara ributnya percakapan orang-orang yang membaur bersama lagu yang dikumandangkan oleh speaker di MARKET, memekakkan telinga. Mereka berdua sendiri berbicara begitu sedikit, bahkan hampir tidak berbicara sama sekali—hanya mengatakan hal-hal penting saja, tidak ada basa-basi sedikit pun.
Sepatu Fe berdecit saat dia berhenti di tengah jalan, di antara rak-rak MARKET yang menampung berbagai jenis minyak, mentega, dan mayones. Dia memiringkan kepalanya sedikit untuk mencari merk mentega yang biasa dipakai oleh Bunda Anne.
Ketika sudah menemukannya, Fe langsung menyambar dua kotak kemasan ekonomis dan memasukkan keduanya ke dalam troli yang didorongnya.
Sebenarnya, Fe ingin menggunakan keranjang saja tadi. Namun, Simon mengatakan bahwa dia ingin membeli beberapa camilan. Stok camilan di rumahnya habis, mengingat dia sendiri juga ingin membeli beberapa. Sehingga di sanalah mereka berdua, berjalan beriringan layaknya sepasang kekasih yang ingin menyetok bahan di rumah.
Terkadang, Fe berhenti untuk mengambil dan memasukkan barang yang diinginkannya dan Bunda Anne ke dalam troli. Terkadang, Simon melakukan hal yang sama seperti Felisha Archaios Dinata.
"Ada lagi yang ingin kau beli?" tanya Fe.
"Tidak ada," jawab Simon sesingkat-singkatnya.
"Baiklah." Fe mendorong troli ke arah kasir.
Antrian di kasir panjangnya tidak main-main. Padahal, hari ini bukanlah weekend. Namun, orang yang berbelanja di MARKET banyak sekali. Sebagian besar adalah Nyonya-Nyonya kaya dan remaja-remaja—dari yang masih bersekolah hingga yang sudah menginjakkan kaki di jenjang kuliah. Semuanya datang secara berkelompok. Ada juga beberapa orang yang datang sendiri.
Fe menggembungkan pipinya kesal, apalagi harus menunggu lama seperti ini, rasanya kakinya hampir patah menjadi dua. Belum lagi dia mengingat harus berjalan ke parkiran untuk menitipkan barang-barangnya di bagasi mobil Simon dan seira. Seharusnya, tadi saat masuk ke dalam, aku dan Kla langsung mengunjungi MARKET saja. Sehingga tidak merepotkan orang lain seperti ini, pikirnya.
Fe melirik ke arah Simon yang menatap lurus ke arah kerumunan orang-orang yang memperebutkan barang diskonan. Jika Fe, dia sama sekali tidak tertarik menatap ke arah mana pun. Dia hanya berharap bisa cepat-cepat keluar dari tempat berisik tersebut.
Simon mengalihkan pandangannya, menatap remaja perempuan di sebelahnya. Fe tengah menghela napas panjang, bosan dengan antrian yang tak maju-maju. Dia kemudian merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya.
Jari-jari Simon bergerak cepat di atas layar. Dia mengirimkan pesan untuk seseorang.
Beberapa menit kemudian, seorang pria melambaikan tangan ke arah Simon. Dia mendekati Simon dan Fe. Dia menatap Fe dari atas ke bawah, lalu menatap Simon tak percaya.
"Kak Mamad, tolong ya. Ini," ujar Simon kepada pria bernama Mamad itu sambil menyerahkan kunci mobil dan kartu kredit padanya.
"Aduh .... Tenang saja, Tuan Muda. Menikmati kencan itu bagus loh!" Mamad terkekeh ketika mengatakannya. Dia segera menerima kartu kredit dan kunci mobil dari tangan Simon. Dia sudah hapal kebiasaan Simon dan Seira.
"Kak, ini pisahkan plastiknya ya. Ini punya Simon, kalau ini punya Nona yang satu ini." Simon menunjuk ke arah dua tumpuk barang yang dipisah. Yang diletakkan di kursi duduk anak—biasanya troli memiliki satu bagian yang digunakan sebagai tempat duduk anak—merupakan milik Simon, dan selebihnya merupakan milik Fe.
"Siap, Tuan Muda. Sana, kencan! Di sini biar saya yang urus." Mamad mengedipkan mata ke arah Simon dan Fe.
"Terima kasih, kak." Simon menarik pergelangan tangan Fe, pergi dari sana sebelum Mamad mengusir mereka untuk ketiga kalinya.
Fe tidak bertanya apa pun tentang pria bernama Mamad itu. Dia cukup paham hubungan antara Simon dan Mamad.
"Ehem!" Fe berdeham sambil melirik ke arah pergelangan tangannya yang ditarik oleh Simon.
Simon mengikuti arah lirikan Fe, hingga dia menyadari bahwa dia masih menarik tangan remaja perempuan sebayanya itu. Dia segera melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Fe. "Maaf," ucapnya dengan nada menyesal.
"Tidak apa. Sudah jam enam sekarang." Fe melihat ke arah jam tangannya. "Aku ingin ke GRAMEDIA membeli beberapa novel untuk dibaca."
"Aku juga," balas Simon.
Fe dan Simon berjalan beriringan ke arah GRAMEDIA. Selama berjalan, banyak sekali pasang mata yang melirik ke arah mereka. Bukan tanpa alasan, namun karena Simon itu tampan. Apalagi saat melihat warna bola matanya, ungu menggoda. Wajahnya memang terkesan wajah Asia, namun jika dilihat lebih cermat, dia juga memiliki wajah orang Eropa.
Fe merasa sedikit tak nyaman saja berjalan berdampingan dengan Simon seperti ini.
Simon melirik ke arah Fe. Alasan aku menggenggam tangannya adalah agar dia tidak gugup seperti ini, batinnya. Dia kembali menggenggam tangan Fe. "Tak usah dilihat. Biarkan saja."
"Apa maksudmu?" tanya Fe.
"Bagaimana rasanya berjalan bersama bule?" Simon bertanya balik kepada Fe.
"Biasa saja," jawab Fe.
"Benarkah?" Simon mulai bersikap menyebalkan seperti Kla.
"Aku baru tahu, seorang Simon bisa menyebalkan juga ya! Aku kira kamu hanya seseorang yang dingin dan tidak ingin mengatakan apa pun dari mulut yang terkunci itu," ledek Fe.
"Tidak selalu begitu." Simon mengaku. Dia akan berbicara banyak jika menemukan orang yang ingin berbasa-basi dengannya. Namun, kasusnya berbeda dengan seorang Felisha Archaios Dinata. Dia itu kagum dengan Fe karena penjelasannya mengenai beberapa karya dalam pameran tadi.
Oh ya, soal mengapa Seira dan Simon mengikuti si kembar Dinata adalah karena Seira tertarik dengan Kla. Sifat mereka berdua itu persis satu sama lain. Dan selama tujuh belas tahun, tidak pernah seorang pun memuaskan hatinya dengan sifat yang mereka miliki. Bisa dikatakan, Kla beruntung karena Seira mengejar seorang laki-laki untuk pertama kalinya karenanya. Simon? Dia sendiri kagum dengan Fe. Sehingga si kembar Levine memutuskan untuk membuntuti mereka seharian penuh ini.
"Begitu kah? Baiklah. Jujur saja, aku mengira kau adalah pria yang tak memiliki hasrat hidup sedikit pun. Namun, sepertinya aku salah," kekeh Fe.
"Kita sudah sampai di GRAMEDIA, apa yang ingin kamu beli, Nona?" tanya Simon.
"Ehem! Pertama-tama, lepaskan dulu." Fe berdeham dan menunjuk ke arah tangannya yang masih digenggam oleh Simon.
Simon segera melepaskan genggaman tangannya. "Maaf, kau akan merasa tidak nyaman jika aku tidak mengalihkan perhatianmu."
"Bisa dimengerti," balas Fe. Kemudian, dia melanjutkan, "Aku akan membeli semua series buku yang ditulis oleh GEORGETTE HEYER. Aku sudah membaca beberapa sinopsis dari beberapa bukunya yang hebat itu. Secara tidak langsung, aku jatuh cinta. Jatuh cinta pad-"
"Kisah klasik."