"Oh. Kamu ingin mengunjungi suatu tempat?" Bunda Anne memotong bolu di hadapannya menggunakan garpu. "Tempat apa yang ingin kamu kunjungi, Kla?"
"Hanya sebuah pameran seni."
✓✓✓
Fe menatap saudara kembarnya dengan mata berbinar, bergidik kesenangan. "Seni ... nektar dari jiwa manusia!" serunya.
"Kamu lebih cocok di bidang kesenian daripada menjadi seorang penjelajah, Fe," kata Ayah.
Memang benar kata Ayah, Fe sudah berkutat dalam seni dan sastra selama beberapa tahun terakhir. Bahkan dia juga telah membuat beberapa karangan—meski dia sendiri tidak pernah mau mengirimkan karangan itu kepada pihak percetakan untuk direvisi kemudian dicetak.
"Ayah ..., Fe menganggap kesenian hanya sebagai selingan dari jiwa penjelajah yang Fe miliki! Tentu saja Fe masih lebih suka menjadi penjelajah daripada seniman. Karena dengan menjelajahi seluk-beluk dunia, akan ditemukan kesenian yang akan mengguncang dunia." Fe terkekeh setelah mengatakannya.
"Jadi, kapan pameran itu dibuka, Kla?" tanya Bunda Anne.
"Sudah dibuka pagi tadi sekitar jam tujuh lewat tiga puluh menit. Tenang saja, pameran itu dibuka hingga jam sembilan malam waktu setempat. Kla juga sudah membeli tiket antrian sehingga tidak perlu mengantri untuk membeli tiket antrian." Kla menyeringai manis menatap ke arah Fe. Dia tentu saja tahu saudari kembarnya ingin melompat senang layaknya seorang anak kecil yang mendapatkan permen.
"Semoga hari kalian di pameran menyenangkan, Kla, Fe," sahut Ayah dan Bunda Anne bersamaan.
✓✓✓
Di sanalah mereka sekarang, setidaknya Kla benar-benar sudah mempersiapkan semuanya. Mereka tidak perlu mengantri panjang yang antriannya setara dengan ingin membeli tiket masuk ke dalam DUFAN di ibukota negara.
Semua menoleh saat si kembar tak identik berjalan mengitari blok menuju depan antrian. Di pintu masuk, seorang pria yang tampak bosan dengan pekerjaannya tengah mengambil tiket dari sebuah mesin dan memberikannya kepada orang-orang. Pria itu adalah Paman Amir.
"Selamat siang, Paman," sapa keduanya bersamaan.
"Oh, si Kembar Dinata!" seru Paman Amir. "Tidak bermoral sekali memotong antrian panjang seperti itu." Paman Amir menceramahi mereka.
"Kami tidak memotong tanpa alasan. Maafkan kami, Paman," Kla mengangkat bahunya, berpura-pura merasa bersalah dengan perlakuannya. "Kami sudah memiliki tiket masuknya." Pemuda itu menyodorkan dua tiket masuk ke Paman Amir, direspon muka merah padam Paman mereka itu—merasa malu tidak bertanya terlebih dulu.
Paman Amir memang terkesan kurang menyukai si kembar. Entah apa yang membuatnya demikian, si kembar tidak ingin tahu. Namun menyebut mereka tidak bermoral sama saja dengan mengajak perang.
Kla tersenyum manis pada Fe serasa tersenyum manis kepada pasangan sendiri. Sedangkan Fe meringis ngeri menatap kakaknya yang menyebalkan itu.
Kedua remaja itu berjalan masuk untuk melihat-lihat pameran seni di dalam sana.
Setiap orang yang masuk ke lorong-lorong pameran seni berbicara dengan suara pelan, yang mana itu bagus karena harus menaati peraturan untuk tidak berisik di dalamnya.
Mata Fe berbinar, menatap takjub ke lusinan lukisan yang terpajang di setiap dinding lorong-lorong pameran seni. Sesaat, dia membayangkan dirinya ada di dalam Museum Louvre di Prancis—salah satu keinginannya, bisa ke Prancis untuk mengunjungi Museum Louvre dan Katedral Notre Dame di saat orang-orang ingin mengunjungi negara itu untuk berfoto di Menara Eiffel.
Kla tidak mengerti mengapa adiknya itu suka sekali dengan seni—memang harus diakuinya melihat-lihat pemeran seni seperti ini terasa sedikit menyenangkan dan menenangkan hati. Tidak hanya melihat-lihat lukisan-lukisan yang tergantung di dinding-dinding lorong, namun juga diperkuat nuansa ruangan dan lagu-lagu klasik.
Fe tahu banyak tentang lagu-lagu klasik.
Tidak mungkin, misalnya, mengabaikan lukisan When Will You Marry Me yang dilukiskan oleh Paul Gauguin yang harganya bisa mencapai jutaan dolar! Atau mengabaikan lukisan The Starry Night yang dilukiskan oleh Vincent van Gogh.
"The Starry Night," kata Fe pelan kepada saudara kembarnya. "Dilukis oleh Vincent van Gogh dari sebuah pemandangan jendela di kamar rumah sakit jiwanya saat matahari hendak terbit, pada tahun seribu delapan ratus sembilan puluh sembilan. Desa itu hanyalah imajinasinya—diidealkan. Sayang sekali, pelukis yang begitu hebat, melukiskan sebuah mahakarya di sebuah kamar rumah sakit jiwa."
Kla menatap ke arah lukisan yang dimaksud oleh Fe, lalu mengabaikannya. Melanjutkan kembali menyusuri lorong panjang yang dipenuhi lukisan di dindingnya.
"Napoleon Bonaparte," ujar Kla ketika melihat sebuah lukisan Napoleon Bonaparte yang tengah menunggang kuda dan menyeberangi Pegunungan Alpen. "Sejarah mengatakan dia yang hampir menaklukkan satu daratan Eropa."
"Ingatanmu tidak begitu buruk ya, Kla," ledek Fe, mengingat saudara kembarnya itu paling lemah dalam hapalan, apalagi sejarah.
"Jangan meremehkanku, adik tercinta. Meskipun aku buruk dalam hapalan, tidak berarti aku tidak bisa mengingat beberapa bagian," Kla menyeringai kepada saudari kembarnya.
Mereka berjalan kembali melihat-lihat masterpiece yang disediakan oleh pameran seni itu.
"Wah ... lukisan ini ...," Fe berhenti dan menatap ke salah satu lukisan khas Indonesia yang Kla tidak tahu milik siapa.
"Kau tahu," katanya kepada saudara kembarnya. "Lukisan ini bernama Rini. Dilukiskan pada tahun seribu sembilan ratus lima puluh delapan, oleh Bapak Presiden pertama kita, Bung Karno, saat Beliau melakukan kunjungan ke Pulau Bali selama sepuluh hari."
Kla mendengar ocehan tentang lukisan itu, kemudian menatap lukisan itu intens. Aku baru tahu jika saja alm. Bung Karno pandai sekali melukis, batinnya.
Di sebelah lukisan bernama Rini, terpampang jelas lukisan yang lumayan Kla tahu sejarahnya. Gadis Melayu dengan Bunga atau Woman With Flowers karya Diego Rivera. Konon, dikatakan bahwa Bung Karno melakukan tiga kali kunjungan ke Meksiko hanya untuk mendapatkan lukisan yang dianggap sangat penting oleh pemerintah dan rakyat Meksiko ini. Presiden Meksiko kala itu, Adolfo López Mateos, menolak untuk memberikan lukisan ini kepada Bung Karno dan bahkan menciptakan Undang-Undang khusus untuk karya Diego Rivera yang satu ini.
"Fur Elise," kata Fe ketika mendengar intro sebuah piano dengan alunan pelan menggema dari speaker yang terpasang di lorong-lorong ruang pameran. "Ditulis pada tahun seribu delapan ratus sepuluh oleh Ludwig van Beethoven. Nama asli lagu klasik yang dimainkan dengan piano ini adalah Bagatelle In A Minor. Teori konspirasi yang dipercaya oleh masyarakat adalah Elise yang dimaksud di dalam lagu ini merupakan seseorang bernama Madame Therese Malfatti von Rohrenbach zu Dezza yang dinikahi olehnya."
"Kau tahu banyak tentang hal-hal seperti ini ya, Felisha Archaios Dinata?" Kla menaikkan satu alisnya, menatap tidak percaya dengan ocehan yang sedari tadi dilontarkan oleh saudari kembarnya tentang lukisan-lukisan, maupun lagu-lagu yang dikumandangkan oleh speaker.
Fe terkekeh pelan. "Aku seperti memakan Scone Penyederhanaan dengan adonannya yang tidak sempurna buatan Purdy Bliss, hingga membuatku terpusat pada sejarah seni, seperti Parsley Bliss, jika kau pernah membaca salah satu novel karya Kathryn Littlewood."
Kla tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Fe. Dia jelas sekali tidak memiliki hasrat untuk berkecimpung di dunia kesenian apalagi sastra. Dia hanya ingin hidup sederhana—kau tahu, bersantai, melakukan hal yang dia suka, mengabaikan hal yang dibenci. Tapi, memiliki kembaran yang menyukai seni dan sastra tidaklah buruk—dia bisa sedikit refreshing dan mengenal beberapa mahakarya yang tidak pernah diketahui olehnya.
Akhirnya, mereka sampai di ujung lorong terakhir. Di sebelah lukisan terakhir, ada pintu bertuliskan EXIT. Sepasang kembar itu memasuki pintu EXIT yang membawa mereka kembali ke sebelah pintu masuk.
Antrian masih sama panjangnya. Bahkan beberapa orang di belakang sana mulai mengeluh dan menyerah untuk melihat-lihat pameran seni itu.
Si Kembar Dinata mengabaikan orang-orang, lalu bergegas menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil milik Kla—dia mendapatkannya sebagai hadiah di ulang tahunnya yang ke-tujuh belas.
"Itu tadi sangat menyenangkan!" seru Fe dengan wajah berseri.
Baguslah, kau menyukainya, batin saudara kembarnya.