Malam semakin larut, namun mata Gisti enggan untuk memejam. Entah perasaan apa yang mengganggu pikiran juga hati Gisti sejak naiknya ke dalam truk, tiba-tiba saja rasa aneh itu muncul dan menghantui dirinya.
Seharusnya, Gisti bahagia karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan Ibu tercinta. Tapi mengapa justru seperti ini rasanya? Ingin mual, namun tak bisa.
Ah, ya, hampir saja Gisti melupakan satu hal. Dewa itu, ia mengatakan jika akan mengirimkan surat lagi ketika Gisti sampai di Batavia. Padahal, hari-hari setelah surat terakhir yang Gisti terima sampai sekarang, gadis itu merasa sedikit tenang karena tidak ada seseorang yang akan mengganggunya dengan surat sialan itu. Tapi, setelah ia sampai di Batavia nanti, Dewa Surat pasti akan menuliskan surat lagi untuknya.
Sebenarya Gisti juga tak habis pikir, seberapa menakutkan dirinya sampai-sampai pria itu tak berani bertemu langsung dengan Gisti. Tidak berpikirkah dia, jika tindakannya dengan mengirim surat seperti ini justru membuat emosi Gisti meluap?
Gisti frustasi, ia benar-benar pusing. Kepalanya seperti akan meledak dalam hitungan detik. Entah siapa pengirim surat itu. Namun, tidak tahu kenapa feeling Gisti mengatakan bahwa seseorang itu dekat dengannya. Patih yang dia curigai, tapi juga tidak mungkin karena Patih tidak pandai menulis.
Bicara soal Patih, pria itu sudah tertidur lelap dengan kepala sedikit mendongak dan tubuh yang bersandar di badan truk, mulutnya pun sedikit terbuka. Gisti tak habis pikir, kebiasan buruk Patih sejak kecil masih saja melekat dengan kuat di dalam raga pria itu; tidur dengan mulut terbuka.
Mendesis pelan, Gisti memalingkan wajahnya dari Patih. Gadis itu jijik sendiri ketika melihat derasnya aliran sungai yang mengalir sedikit deras dari mulut Patih. Ia menggeserkan sedikit badannya untuk tidak terlalu dekat-dekat dengan Patih, takut jika tiba-tiba kepala Patih jatuh ke pundaknya dan ia terkena air sungai alami dari Patih.
Astaga ... Gisti benar-benar geli.
Lebih baik Gisti dihadapkan dengan darah daripada harus melihat air liur yang menjijikkan.
Gisti menutup mulutnya yang terbuka karena menguap, matanya panas, ia mulai mengantuk. Menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencari tempat untuk bersandar. Ia melirik Patih dan meringis kemudian, berpikir dalam benaknya apa dia harus bersandar pada pundak Patih? Tapi ....
"Kalau nanti saya terkena air liurnya, bagaimana?" tanyanya pada diri sendiri. Gisti begidik kemudian, ia menolehkan kepalanya ke samping kiri tempatnya, pria seperjuangan dengannya sudah tertidur sangat lelap. Namun, tidak mungkin sekali jika Gisti meminta bahunya untuk tempat bersandarnya malam ini. Bukan hanya karena tidak terlalu dekat, tapi wajah pria itu yang menyeramkan membuat Gisti menciut.
Mau tak mau, Gisti meraih kerah baju Patih dan menariknya—meski susah payah—untuk membersihkan air mengalir dari mulut Patih pada dagu pria itu yang perlahan mulai mengering.
Setelah dirasa sudah bersih, Gisti mendekatkan tubuhnya pada Patih dan menjatuhkan kepalanya pada pundak sang pria yang sudah tertidur dengan tenang.
Perlahan namun pasti, Gisti mulai pergi ke alam bawah sadarnya. Dengkuran halus pun mulai terdengar dari mulut Gisti yang setajam belati. Patih yang merasakan sedikit beban berat pada bagian pundaknya lantas membuka matanya sayu-sayu, tersenyum kecil kala tahu apa penyebab berat pada pundaknya.
Ia menarik Gisti yang bersandar pada pundaknya untuk beralih menjadikan dada bidang Patih sebagai bantal. Patih merengkuhnya dengan lembut dan kembali memejam, menikmati malam dengan semilir angin yang berhembus sedikit kencang.
***
Senyum Gisti mengembang kala ia dan Patih sudah sampai di depan rumah Gisti. Sungguh, ia sudah benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengan sang ibu. Pasti Darmi juga merasakan hal yang sama dengan Gisti.
Gisti melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya sedikit tertunda karena adegan melihat-lihat rumahnya. Namun, langkahnya terhenti lagi ketika kakinya menginjak sesuatu saat ia membuka pintu rumah.
Mengerutkan dahi bingung, ia meraih amplop cokelat yang ia injak. Mendengus malas kemudian sebelum akhirnya melirik ke arah Patih yang kini tengah mengucek matanya.
Sadar jika sedang ditatap, Patih menghentikan kegiatannya dan menurunkan tangan dari mata kanannya. "Apa?"
Bukannya menjawab, Gisti justru menatap Patih lekat-lekat dengan rahang yang mulai mengeras. Patih semakin bingung dibuatnya, ia menyentuh matanya lagi dan bertanya, "Apa masih ada kotoran di mata saya?"
Lagi. Pertanyaannya tak membuahkan hasil yang lebih, gadis itu masih saja menatap Patih begitu tajam seolah-olah Patih adalah sebuah mangsa yang kapan saja siap Gisti terkam.
Sadar terdapat hal yang aneh, mata Patih mencari tahu apa yang salah. Ia mendengus setelah melihat amplop cokelat di tangan kanan Gisti.
"Bukan saya," ujarnya seakan paham dengan tatapan mematikan milik Gisti.
Gisti masih saja tak berucap, makin membuat Patih sedikit ketakutan. Ingat, ya, hanya sedikit.
"Masih mau menuduh jika saya yang mengirimkan? Gis, saya semalam bersamamu. Tidak mungkin jika saya yang mengirimkan kepadamu. Ayolah, berhenti menuduh saya yang bukan-bukan, kesel aku, Gis." (Lelah aku, Gis)
"Bisa saja kau menggunakan jasa pos."
"Selama di Ambarawa, bukankah saya tidak pernah jauh darimu? Saya selalu di sisimu, bukan? Jadi, kapan saya pergi ke pos kota untuk mengirimkan surat?"
Gisti mengedikkan bahunya tidak peduli, ia memberikan amplop itu dengan kasar tepat di dada Patih. "Awas saja jika benar-benar kamu, saya tidak akan memberikan ampun padamu."
Setelah mengucapkan kalimat tadi, Gisti masuk ke dalam rumah, meninggalkan Patih yang tengah memegang amplop cokelat—masih menempel pada dadanya—seraya menatap punggung Gisti.
"Harusnya saya tidak ikut campur dengan urusan percintaanmu."
***
Darmi meletakkan bakul setelah kembali dari ladang, dari ruang tamu terdengar percikan-percikan air seperti orang mandi. Ia mengerutkan dahi, begitupula dengan Ani yang baru saja masuk dan mendengar hal serupa.
"Siapa, ya?" tanya Darmi.
"Mosok setan, Dar?" (Masa iya setan, Dar?) tanya Ani pada Darmi.
"Hust! Ngawur banget kalau ngomong. Mana ada setan di siang-siang seperti ini." (Ngarang/ngaco/sembarangan)
"Setan bisa muncul kapan pun, Dar."
"Ora mungkin! Setane kepanasan kena matahari," (Tidak mungkin! Setannya kepanasan kena matahari) ujar Darmi yang masih saja mengelak meski dirinya juga sedikit ketakutan. Sedangkan Ani masih terus-menerus merinding, ia berpegangan erat pada tangan Darmi.
Darmi perlahan melangkah, begitupula dengan Ani yang masih memegang erat tangan Darmi. Ia menyibakkan tirai pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.
"Astaghfirullah, Ya Allah, Ya Rabbi! Setan, Dar, Setan!" ujar Ani ketakutan ketika melihat sosok perempuan dengan rambut panjang tengah berdiri di depannya.
Perempuan itu juga terkejut, ia berbalik badan, dan teriakan Ani makin menjadi-jadi. "Arwah Gisti!"
"Lambemu sembarangan! Iki Gisti, Ni, Gisti. Dibuka to makane iku mripat, ngawur banget. Anakku dikatain arwah," (Mulutmu sembarangan! Ini Gisti, Ni, Gisti. Dibuka matanya, sembarangan sekali) ceramah Darmi pada Ani.
Darmi tidak mempedulikan Ani yang kini tengah melongo, ia justru menatap gadis yang begitu ia rindukan selama ini. Darmi mendekat, "Gisti, anakku ...."
"Ibuk ...." Gisti langsung berhambur ke pelukan sang ibunda, menumpahkan segala kerinduan yang ia pendam selama hampir satu bulan lamanya.
Darmi melepaskan pelukannya, meraih wajah Gisti dan memeriksannya. "Kamu ndak apa-apa, kan, Nduk? Apa ada yang terluka?"
"Gisti baik-baik saja, Buk."
Sedangkan Ani menatap kedua perempuan di depannya, ia hampir lupa dengan Patih jika saja pria itu tidak menyembul dari tirai penghubung ruang tengah dengan dapur.
"Patih?" ujar Ani bertanya dengan mata berbinar.
Darmi dan Gisti lantas menoleh, mendapati Patih yang berdiri dengan keadaan basah pada bagian rambutnya. Pertanyaan Darmi dan Ani terjawab sudah, percikan air tadi datang karena Patih yang sedang mandi, bukan setan atau sejenisnya seperti kata Ani.
"Nggih, ini Patih, Buk," (Iya) jawab Patih setelah menghampiri Ani yang masih berdiri di tempatnya tadi.
"Ya Allah, Ibuk kangen betul sama kamu! Apa kabar? Kamu juga ndak apa-apa, kan?" pertanyaan serupa seperti apa yang Darmi lontarkan kepada Gisti tadi juga keluar dari mulut Ani.
Patih menggeleng, "Patih ndak pa-pa. Tapi ...."
"Tapi apa, Le?" (Le: anak laki-laki)
"Gisti sempat tertusuk belati."
Gisti terbeliak, menyumpah serapahi Patih dalam hati. Bisa-bisanya pria itu mengadu kepada Ani dan Darmi. Apa Patih sudah bosan hidup di bumi ini?
Darmi terbeliak, begitu juga Ani yang langsung menghampiri Gisti.
"Pantas saja wajahmu sedikit pucat, Nduk. Bude Ani kira, kamu arwah tadi ...," ujar Ani khawatir kepada Gisti. Yang mampu Gisti lakukan hanya tersenyum kikuk ketika kedua perempuan paruh baya di depannya ini terus-menerus menanyakan bagaimana keadaannya, apa baik-baik saja? Apa lukannya sudah diobati? Dan masih banyak lagi.
Meski sibuk dengan pertanyaan beruntun karena kekhawatiran Darmi dan Ani, mata Gisti tetap memelotot tajam ke arah Patih yang kini justru tersenyum simpul dengan rambut basahnya.
Pria itu benar-benar cari mati dengan saya.