Chereads / Gisti / Chapter 13 - 12

Chapter 13 - 12

Gisti terbangun dari tidurnya, ia bangkit untuk duduk dengan cepat, sampai melupakan jika perutnya masih terluka. Ia mengernyit heran, bukannya malam tadi Gisti berada di tengah lapangan? Tapi, mengapa tiba-tiba ia sudah berada di kamarnya? Apa mungkin jika Gisti tertidur dan mengigau sampai berjalan menuju rumahnya?

Suara pintu terbuka, terlihat Darmi tersenyum seraya membawa satu baskom yang entah berisi apa. Gisti memperhatikan Darmi yang menaruh baskom—yang ternyata berisi air—di depannya.

Gisti belum membuka percakapan, begitu juga Darmi yang justru meminta Gisti untuk berbaring tanpa suara. Sang anak hanya mampu menurut, seraya otaknya ia ajak bekerja untuk berpikir. Bagaimana bisa?

"Buk," panggil Gisti setelah Darmi selesai menaruh sebuah kain kompresan di atas dahi Gisti. Gadis itu tidak sadar jika dirinya demam.

Darmi hanya menatap Gisti sebagai tanggapan, membuat Gisti berkata lagi, "Gisti kenapa bisa di sini?"

"Semalam ada orang yang membawamu ke sini, Nduk. Katanya, kamu pingsan di jalan. Kamu kalau sakit, jangan kelayapan, lukamu saja belum kering. Di rumah saja dan beristirahatlah, Gis."

"Siapa orang itu? Apa Patih?"

Darmi menggeleng, "Kalau Patih, Ibuk ndak akan mungkin bilang 'orang.' Ibuk pasti panggil dia namanya."

"Jadi, bukan Patih?" Darmi menggeleng sebagai respon. Raut Gisti murung, tidak tahu mengapa rasanya aneh ketika bukan Patih yang membawanya ke sini.

Ah, untuk apa juga Gisti peduli siapa yang membawanya ke mari. Untuk apa pula Gisti seperti ini karena bukan Patih yang mengantarnya pulang.

Aneh.

Darmi bangkit, "Istirahat. Ibuk mau ke dapur dulu," ujarnya seraya mengusap pelan rambut Gisti. Setelah Darmi menutup pintu, Gisti bangkit dari tidurnya, ia mencoba mengingat kejadian semalam.

Ketika itu ... Gisti merasa ada yang memeluknya dan Gisti tidak peduli siapa itu. Apa mungkin jika yang memeluknya semalam adalah genderuwo dan akhirnya Gisti yang merasakan sakit begini?

Tidak-tidak, itu tidak mungkin. Gisti merasakan yang memeluknya itu manusia, bukan genderuwo, mengingat wujud genderuwo adalah penuh bulu. Sedangkan yang memeluknya semalam seperti manusia.

Apa jangan-jangan, yang memeluknya adalah Dewa Surat?

Ah! Jika benar, Gisti sangat menyesal karena tidak mendongak dan mengecek siapa yang memeluknya semalam. Astaga ... baru ini Gisti merasa begitu bodoh.

***

Sore ini Patih berniat mengunjungi Gisti sepulang kerja, karena mendengar kabar jika gadis itu sedang demam. Berhubung Patih adalah teman yang baik, meski Gisti selalu membuat tubuhnya remuk-remuk dan terluka, gadis itu tetaplah temannya, teman masa kecilnya yang begitu menggemaskan—dulu, sekarang mengerikan.

Patih mengetuk pintu rumah Gisti pelan, tak butuh waktu lama, seorang wanita paruh baya yang begitu Patih kenal telah menyembul di balik pintu dengan senyum ramahnya.

"Eh, Nak Patih. Ada apa?" tanya Darmi ramah.

"Besuk Gisti, Bulek². Katanya Gisti demam?"

Darmi mengangguk. Membuka pintu rumahnya lebar-lebar untuk mempersilakan Patih masuk ke dalamnya.

"Ke kamar saja, Gisti ada di kamar." Patih mengangguk mengiyakan. Setelah Darmi berlalu meninggalkannya untuk menuju dapur, Patih mendekat ke kamar Gisti. Ia menyibak tirai biru itu, menampilkan Gisti yang tengah terduduk santai di ranjangnya dan menatap ke luar jendela.

"Mau apa?" tanya Gisti menyadari keberadaan Patih.

"Membesukmu."

"Saya tidak butuh dikasihani."

Patih mendesis, "Dasar, kepala batu."

Gisti yang semula menatap jendela kini menoleh ke arah Patih. Pria itu masih berdiri dengan tangan kiri yang menenteng senapannya, juga tangan kanan yang menyentuh tembok kayu.

"Keluar," usir Gisti.

"Tidak akan. Saya ingin menjagamu."

"Tidak perlu."

"Terserah. Saya hanya ingin menemanimu." Patih berjalan, menghampiri ranjang Gisti dengan pelan. Didaratkannya pantanya pada ranjang Gisti dan menatap dalam kedua manik cokelat milik Gisti.

Patih mendekatkan wajahnya, mengintai seluruh lekuk wajah Gisti dengan mata tajamnya. Gisti yang sedikit gugup sampai tidak bernapas karena takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginnkan.

Setelah puas melihat wajah takut milik Gisti, Patih menjauhkan wajahnya. Seketika tawa Patih meledak karena kedua pipi dan hidung Gisti memerah menahan napas.

"Sialan. Cari mati kamu dengan saya."

"Hahaha! Tenang, Gis."

Gisti mendengus, Patih sedikit beruntung karena gadis itu sedang tidak sehat. Jika Gisti sedang dalam keadaan baik-baik saja, mungkin tubuh Patih sudah remuk tak berbentuk karena terbanting oleh Gisti.

"Sudah makan?" tanya Patih setelah keduanya cukup lama saling diam.

Gisti menggeleng tanpa menatap Patih. Ia tengah asyik memandang burung-burung kecil yang bertengger pada kabel-kabel listrik di pinggir jalan. Sepertinya, menatap burung kecil lebih menyenangkan dibanding harus melihat wajah sialan milik Patih.

"Saya ambilkan makan sebentar."

Gisti membiarkan Patih bangkit, terserah saja apa yang ingin pria itu lakukan. Gisti masih berpikir tentang siapa yang sudah memeluknya dan membawanya ke sini.

Gisti menghela napasnya kasar, mengingat kembali kejadian tadi malam. Ketika Patih berada di atas Gisti dan meninggalkan Gisti sendiri di bawah malam pekat. Perut Gisti yang tetiba mengeluarkan darah, dan seseorang yang memeluknya.

Kejadian itu ... benar-benar menguras otak Gisti untuk berpikir. Gisti benar-benar merasa bodoh karena tidak mendongak untuk mencari tahu siapa yang memeluknya. Karena entah dapat bisikan dari mana, feeling Gisti mengatakan bahwa itu adalah Dewa. Mengingat, Dewa memang meminta Gisti untuk bertemu.

Ah, sudahlah, Gisti pening memikirkan ini semua. Ia pasrah pada alam raya, biarkan waktu yang menjawab semuanya. Siapa Dewa dan mengapa pria itu begitu yakin jika Gisti akan menikah dengannya.

Kini, Gisti akan mencoba tidak peduli. Ia akan mencoba menerima, tidak protes dan sibuk mencari tahu siapa Dewa Surat itu. Gisti pun lelah jika harus berdebat dengan Patih.

Cukup lama setelah Patih mengambil makanan ke dapur, pria itu sudah kembali dengan satu mangkuk dan teh hangat.

Patih duduk di ranjang Gisti seperti tadi, mengaduk-aduk makanan di mangkuk tersebut—yang ternyata adalah bubur. Patih hendak menyuapkan makanannya ke dalam mulut Gisti. Namun dengsn sigap, Gisti mengambil alih mangkuk dan sendok dari tangan Patih.

"Saya bisa sendiri," ujarnya seraya memangku mangkuk.

Patih kembali menarik mangkuk tersebut ketika Gisti hendak menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya. Hal itu, membuat Gisti mengurungkan niatnya tadi.

"Biar saya yang suapkan."

"Saya bisa sendiri. Kamu tuli?"

Patih menatap Gisti kesal, tidak Dewa, tidak Gisti, mereka berdua sama-sama membuat saya naik darah.

"Sudahlah, kapan lagi akan diperhatikan dengan lelaki tampan, gagah, dan perkasa seperti saya ini?"

"Cih, kamu terlalu percaya diri."

Patih tidak menggubris, ia justru menyendokkan satu suap bubur dan mengarahkannya ke mulut Gisti. Awalnya, Gisti tidak ingin membuka mulutnya, namun Patih terus saja menyodorkan sendoknya ke mulut Gisti membuat gadis itu mau tak mau menerima suapan dari Patih.

Tersenyum kecil, Patih merasa hatinya begitu tenang. Namun, jantungnya tidak berdegub dengan lancar.

Di luar rumah Gisti, seorang berpakaian serba hitam mendengus kesal. Ia mengumpat tertahan dan menggurutu, "Sial. Masih saja mendekati gadisku. Bukankah sudah kubilang, cukup jaga dia jangan didekati. Huh, menyebalkan!"

Pria itu, sang Dewa Surat yang menjadi pertanyaan besar selama ini. Ia pergi meninggalkan rumah Gisti. Namun, netra Gisti menangkap sekelebat bayangan hitam yang bergerak sedikit cepat.

Gist mengernyit, pikirannya justru berlari-larian menuju pada kejadian semalam. Siapa yang memeluk Gisti? Dewa Surat, atau genderuwo?

Merinding.

__________

Bulek²: bahasa jawa yang artinya Tante.