Udara pagi yang masih terasa sejuk dan dingin, menyeruak masuk ke dalam pori-pori Gisti. Gadis itu tengah berdiri di depan jendela kamarnya, melamunkan kejadian kemarin ketika kedua netranya menangkap sekelebat bayangan hitam di dekat jendelanya. Gisti masih penasaran.
Orang-orang mulai berlalu lalang, berangkat bekerja sampai ke sekolah. Gisti hanya tersenyum, seharusnya ia bekerja hari ini. Tetapi Darmi masih belum mengizinkan. Padahal, Gisti sudah merasa bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi, ya sudahlah ... daripada ia harus durhaka karena terus menentang nasihat Darmi, lebih baik ia menurut.
"Gis ...." Gisti menoleh, menampilkan Darmi yang sudah tersenyum begitu cerah dan rekah, di tangannya sudah membawa satu nampan makanan dan minuman.
"Buk, ndak perlu repot-repot. Kan, Gisti sudah bilang sama Ibuk. Biar Gisti ambil makan sendiri, ndak perlu diambilkan seperti ini."
"Halah! Apa, sih. Ndak pa-pa, wong koe ki ya jik lara." (Tidak apa-apa, orang kamu masih sakit.)
Gisti menghela napasnya, mengambil alih nampan yang dibawa sang ibu dan meletakkannya di atas meja kecil di kamar Gisti. Menarik Darmi untuk duduk di ranjangnya.
"Buk, kemarim Gisti lihat seperti bayangan hitam di luar rumah dekat jendela Gisti. Seperti sedang mengintip." Gisti menceritakan semuanya pada Darmi, reaksi Darmi benar-benar terkejut. Namun, wanita paruh baya itu langsung tertawa hambar, membuat Gisti mengernyitkan dahinya.
"Haha! Kamu salah lihat mungkin, Nduk. Bayangan apa, toh?"
"Ibuk seperti terkejut sekali tadi, kenapa, Buk?" tanya Gisti mengintimidasi. Darmi diam, ia menelan ludah susah payah. Matanya menatap ke arah lain, asal tidak ke arah Gisti. Putrinya itu menatap Darmi seolah-olah Darmi ini adalah mangsa siap terkam. Begitu tajam dan menyeramkan.
"Ndak kenapa-kenapa. Kamu kemarin sedang sakit, mungkin halusinasimu saja. Uwes! Dipangan kui, mengko adem. Ibuk arep ke ladang." (Sudah! Itu dimakan, nanti dingin. Ibuk mau ke ladang.)
Darmi bangkit cepat-cepat, melangkahkan kakinya sedikit kencang dan keluar dari kamar Gisti. Yang Gisti lakukan hanya menatap tirai biru yang masih bergerak setelah perginya Darmi dari kamar dan berpikir, Gisti curiga jika ada yang tengah disembunyikan oleh Darmi mengenai bayangan itu. Tapi apa?
Sibuk dengan gagasan yang beradu di dalam otak kecilnya, Gisti mendengar suara pecahan dari luar rumahnya. Ia segera bangkit dan berjalan menuju jendela untuk melihat ke depan rumah, bayangan hitam berlalu begitu cepat dari rumah Gisti.
Terlampau penasaran, Gisti berlari keluar rumah berniat untuk mengejar bayangan hitam tadi. Darmi yang melihat Gisti terburu-buru keluar dari kamar lantas memanggil nama putrinya dan berusaha mengejar. Namun, langkah Darmi terhenti di depan pintu rumah seraya tangannya melambai-lambai dan mulutnya meneriaki nama Gisti yang sudah hilang dari pandangnya.
"Ya Allah Gusti, bocah! Sudah dibilang diam di rumah malah keluyuran. Mau sembuh bagaimana jika terus-menerus berlari seperti itu. Lukamu ndak kering-kering, Nduk ... Nduk .... Ya Allah." Darmi meringis, bergumam sendiri memarahi Gisti. Tangannya mengusap dada sabar, anak gadisnya itu begitu keras kepala.
***
"Hei! Siapa kamu?! Berhenti di sana!"
Sial! Perut Gisti benar-benar nyeri, namun seseorang dengan pakaian serba hitam itu tak kunjung menghentikan langkahnya. Gisti lelah, napasnya memburu, ia berhenti dan merundukkan badannya untuk mengatur napasnya.
"Argh! Sial!" umpatnya kesal.
Gisti masih menatap ke depan, seseorang itu sudah mulai hilang dari tatap mata Gisti. Entah siapa si hitam misterius itu, Gisti benar-benar penasaran.
Gisti menegakkan tubuhnya, berkacak pinggang dan meringis menahan nyeri pada perutnya. Gisti berpikir, apa mungkin jika si hitam misterius itu ada kaitannya dengan Dewa Surat?
"Ya!" Gisti terkejut ketika seseorang menepuk puggungnya. Ia memukul pria itu bertubi-tubi tanpa ampun, sedangkan sang pria berusaha melindungi tubuhnya dari pukulan Gisti.
"Ampun, Gis!"
Siapa lagi jika bukan Patih? Tidak ada orang lain yang berani mengejutkan Gisti selain pria gila itu. Mereka masih sayang nyawa, atau paling tidak masih mencintai tubuhnya.
"Kau itu ... argh! Apa tidak ada pekerjaan lain selain mengikuti dan mengejutkanku, hah?!"
"Saya tidak mengikutimu. Kebetulan saja bertemu."
"Terserah apa katamu!"
"Kenapa? Emosi sekali."
"Diam kau!"
"Sedang kehadiran tamu bulanan? Sing–aduh, Gis. Jangan pukuli saya!"
"Rasakan pukulan ini, berengsek!"
"Gis!"
Patih berusaha mengelak segala pukulan-pukulan yang Gisti berikan. Namun, ia juga sedikit terkekeh karena cara memukul Gisti yang tidak seperti biasanya. Bukan pukulan yang dapat mematahkan tulang-tulang lawan, namun seperti pukulan-pukulan kecil kekesalan. Seperti ... wanita yang memukul pada umumnya.
Pukulan Gisti mulai melemah, gadis itu kini diam dan menatap Patih dengan mata sayunya.
"Kenapa?"
"Patih ...." Gisti meracau, membuat Patih mengerutkan dahinya bingung. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dalam benak Patih. Ada apa dengan Gisti? Mengapa sikapnya menjadi seperti ini? Apa gadis itu sedang dirundung masalah?
"Hei, kenapa?" Patih mendekat, ia menangkup wajah Gisti. Matanya berlinang air mata, hidungnya pun merah seperti tomat. Tidak, Gisti pasti sedang tidak baik-baik saja.
Patih tahu betul tentang gadis itu. Gisti selalu tegas dan kuat ketika menghadapi sebuah masalah yang menimpanya, dan jika Gisti sudah seperti ini ... Patih yakin, masalah Gisti benar-benar membuat gadis itu lelah.
"Saya bingung, saya lelah, saya ... saya ...."
"Tenangkan dirimu, menangislah jika itu membuatmu tenang. Butuh pelukan, hm?"
Gisti mengangguk, menghambur ke pelukan Patih dan terisak di sana. Tak mempedulikan tatapan orang-orang tentang mereka yang berpelukan di tepi jalan seperti ini. Terserah, terserah apa kata mereka. Yang ada di pikiran Gisti saat ini adalah meluapkan kelelahan dan kesedihannya pada sahabat masa kecilnya itu. Begitupula dengan Patih yang hanya berusaha menenangkan Gisti dalam dekapannya.
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala, Gisti dan Patih kini berada di bawah pohon mangga yang cukup rindang. Gisti masih enggan untuk berbicara, ia masih merasa sedikit malu karena telah terisak di dada Patih. Sial! Seharusnya Gisti tidak lemah seperti tadi.
Patih juga begitu, ia tak membuka percakapan sama sekali. Membiarkan keduanya hening dengan sepoi angin yang perlahan memnbuatnya mengantuk. Siang yang terik, di bawah rindangnya pohon mangga, serta angin sepoi yang merayu keduanya untuk terpejam. Mereka berdua, masih dalam pikirannya masing-masing.
"Aduh!" jerit Gisti mengusap kepalanya yang baru saja tertimpa buah mangga. "Sialan, jika ingin terjun, bilang! Supaya saya bisa pergi!" racau Gisti menyalahkan buah mangga.
Patih mengulum bibirnya menahan tawa, Gisti tengah kesal, jika ledakan tawa keluar dari mulut Patih, bisa-bisa Gadis itu akan benar-benar menghajarnya.
"Jika ingin tertawa, tertawa saja!"
Seketika Patih diam, meskipun dalam hatinya sudah tertawa terpingkal-pingkal melihat perilaku Gisti yang—
menggemaskan.
Rasa-rasanya, Patih ingin sekali memeluk gadis itu dan mengecu–astaga .... Hilangkan pikiran ngawurmu itu Patih!
Patih menggelengkan kepalanya cepat, mengusir setan-setan nakal yang meracuni otaknya. Gisti menepuk keras kepala Patih, membuat sang empu berhenti menggelengkan kepalanya seketika dan menatap Gisti dengan tatapan bodohnya.
Tawa Gisti lepas melihat raut wajah Patih, sampai-sampai gadis itu menepuk-nepuk tangannya sendiri. Patih hanya diam, membiarkan Gisti tertawa terpingkal-pingkal meski ia sendiri tak tahu apa yang tengah ditertawakan Gisti.
"Wajahmu seperti orang bodoh, benar-benar bodoh! Hahaha!"
Memutar bola matanya jengah, Patih menyandarkan tubuhnya pada batang pohon mangga. Matanya ia pejamkan lelah, tidak mempedulikan Gisti yang masih saja tertawa.
Ah, sudahlah. Terserah gadis itu mau tertawa berapa lama. Patih akan membiarkannya, daripada Gisti harus menangis tersedu-sedu seperti tadi, itu ... berhasil membuat ulu hati Patih terasa nyut-nyutan.