"Mau ke mana, Nduk?" tanya Darmi yang sedang menyapu halaman rumah dengan kedua alis yang hampir tertaut. Terlihat Gisti membenarkan rambutnya dan menoleh pada sang ibu.
"Bekerja."
Darmi menghela napas pelan, meletakkan sapu ijuknya pada salah satu tiang penyangga rumahnya. Ia berjalan, menghampiri Gisti yang masih mengikat ujung kepangan rambutnya.
"Baru saja kamu pulang, lukamu juga belum sepenuhnya pulih. Mbok ya ora usah kerja ndisik. Istirahat di rumah, Nduk." (Mending tidak usah kerja dulu) Darmi berucap khawatir pada putri satu-satunya.
Gisti menatap Darmi, meraih kedua tangan wanita paruh baya tersebut dengan lembut. "Buk, Gisti itu kuat. Ndak akan kenapa-kenapa," ujarnya berusaha meyakinkan Darmi jika ia akan baik-baik saja.
"Kamu memang keras kepala. Pada karo romomu," (Sama seperti ayahmu) ujar Darmi seraya menarik kedua tangannya dari genggaman Gisti. Darmi merengut, tatapannya ia alihkan dari putrinya, memandang halaman luas depan rumahnya. Sedangkan Gisti hanya menggeleng kecil, dia tahu, ibunya itu tengah merajuk.
"Gisti, kan, anaknya romo. Jelas sifatnya mirip sama romo, toh, Buk ...."
"Iya."
"Buk, Gisti juga ndak akan banyak bergerak nanti. Gisti harus bekerja, Buk ...."
Darmi menghela napas, ia tak akan sanggup menahan Gisti. Tapi, Ibu mana yang tidak khawatir jika anaknya sudah jelas-jelas terluka, namun tetap memaksakan diri untuk pergi bekerja? Apalagi, luka tusukan pada perut Gisti bukan main-main. Luka itu cukup dalam, bahkan dari lukanya itu, masih sering mengeluarkan darah kala Gisti terlalu banyak bergerak.
"Tapi, Nduk ...."
"Sudah, Ibuk tenang saja. Luka ini ndak seberapa bagi Gisti, Buk. Ini hanya luka ringan."
"Luka ringan katamu?!" ujar Darmi sedikit menaikkan nada suaranya membuat Gisti menegakkan tubuhnya. Ia terkejut, seumur-umur baru ini Darmi berbicara dengan nada tinggi padanya. Tak apa, Gisti mengerti jika Darmi khawatir padanya. Namun, bagi Gisti ini terlalu berlebihan.
"M-maaf, bukannya Ibuk mau membentak kamu. Tapi–"
Gisti tersenyum sehangat mungkin, senyum yang hanya ia tampilkan di depan Darmi dan orang-orang terdekatnya seperti Patih dan Bu Ani. Hanya mereka yang pernah melihat senyum manis dan menghangatkan dari bibir tajam milik Gisti.
"Ndak pa-pa. Gisti paham kalau Ibuk khawatir. Tapi Gisti sudah bukan anak kecil lagi, Buk. Ini Gisti, tentara wanita satu-satunya. Luka seperti bukan apa-apa bagi Gisti."
Darmi mengalah, "Ya sudah. Bekerjalah sana, hati-hati dan jangan terlalu banyak bergerak. Minta Patih untuk menjagamu."
"Gisti pamit, Buk."
Baru saja Gisti berbalik setelah mencium punggung tangan kanan milik Darmi, seorang pria dengan sepeda ontel juga tas selempang kotak berwarna krem memarkirkan sepedanya di depan rumah Gisti.
Dahi Gisti mengernyit, ia seperti tidak asing dengan pria ini. Terlihat pria itu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya, seketika Gisti mendengus malas. Surat itu lagi.
"Untuk Mbak Gisti," ujar pria yang diyakini adalah seorang tukang pos.
Gisti menerimanya, "Terima kasih."
Pria itu tersnyum dan pamit untuk pergi dengan menganggukan kepalanya sekali sebagai tanda hormat kepada Gisti juga Darmi. Gisti berbalik setelah tukang pos tersebut mulai mengayuh sepedanya.
"Surat lagi?" tanya Darmi. Gisti hanya mengangguk malas, ia membuka amplop tersebut dan seperti biasa, terdapat secarik kertas cokelat lebih muda di dalamnya.
Dengan malas, Gisti membuka dan mulai membacanya.
Teruntuk Gisti,
calon istriku di masa depan.
Apa kabar? Apa luka di perutmu sudah membaik? Jangan terlalu banyak bergerak, Gis. Itu hanya akan memperburuk lukamu. Jangan membuat saya khawatir, saya begitu cemas. Jangan terlalu keras kepala, turuti perkataan ibumu. Jika beliau mengatakan, "jangan bekerja," kamu jangan memaksa untuk bekerja. Jika tidak, sesuatu hal akan terjadi padamu, karena kata hati seorang ibu selalu benar tentang anak-anaknya.
Tetaplah di rumah dan istirahat. Jangan bekerja. Satu lagi, saya sudah buatkan ramuan khusus dari dedaunan untuk mempercepat pengeringan lukamu. Sesaat setelah menutup surat ini, seorang pria akan kengantarkan obat itu.
Salam,
Dewa.
Gisti meremas-remas surat itu, kesal dengan sang pengirim surat yang suka sembarangan ketika menuliskan surat. Memang dia siapa? Berani sekali pria itu memerintahkan Gisti untuk tetap di rumah saja dan tidak bekerja.
Masih terus menggerutu, Darmi hanya menatap putrinya dengan pandangan bingung. Kening Gisti mengerut, ia juga terlihat begitu menahan kekesalannya.
Seorang pria berjalan dengan membawa sebuah kotak cokelat yang tidak besar namun juga tidak kecil. Terlihat pria itu berjalan menghampiri Gisti dan juga Darmi. Badan Gisti menegak, ia berpikir, apa ini ramuan untuk lukaku dari Dewa Surat itu?
"Untuk Mbak Gisti," ujar sang pria dengan setelan kemeja panjang berwarna putih kekuningan dan celana hitam sedikit kebesaran. Pria itu mengulurkan kotaknya kepada Gisti. Dengan cepat Gisti menerimanya.
"Dari siapa?"
"Dewa."
Apa namanya benar-benar Dewa?
Gisti mengernyit, ia menolehkan kepala ke kanan dan ke kiri, otaknya mengatakan jika Dewa Surat itu ada di sekitar sini. Namun, ia tidak menemukan siapa pun di sekitaran rumahnya selain dirinya, Darmi, juga pria yang masih berdiri di depannya.
"Saya permisi dulu."
"Tunggu!" ujar Gistu seraya menarik lengan kanan sang pria. "Saya yakin kamu tahu siapa orang ini. Tolong, beri tahu saya, di mana pengirim kotak ini berada."
Pria itu tersenyum, "Sebentar lagi dia akan lewat sini, Nona."
Gisti semakin mengerutkan dahinya, menatap pria itu setajam belati.
"Maaf, Nona. Saya harus segera pergi. Tolong lepaskan saya dan jangan tatap saya seperti itu. Tatapanmu seperti ingin menerkamku."
Gisti langsung mengerjapkan matanya berkali-kali dan melepaskan cengkraman tangannya pada lengan sang pria. "Maaf."
Pria itu pergi, meninggalkan Gisti yang masih mencerna perkataan pria tadi.
"Sebentar lagi akan lewat sini," gumamnya pelan seraya otaknya terus-menerus bekerja.
Darmi masih setia duduk dan memandang Gisti, putrinya itu sepertinya lupa untuk berangkat kerja. Namun tak apa, Darmi harap Gisti tidak jadi bekerja hari ini. Jujur saja, Darmi masih ingin bersama Gisti karena hampir sebulan lamanya ditinggal sang anak pergi bertempur. Rindunya belum benar-benar terobati.
Gisti kembali duduk dengan tangan yang masih memegang kotak tadi. Pandangannya tertuju pada jalanan kosong di depannya, ia mengawasi dengan mata elangnya. Jika benar perkataan pria tadi tentang Dewa Surat yang akan segera lewat di sekitar sini, ia tidak akan melepaskannya. Gisti pasti akan menghajarnya dan akan menanyakan apa maksudnya tentang surat-surat yang ia kirimkan.
Mata Gisti terbeliak sempurna, seorang pria berjalan dengan santai melewati depan rumahnya. Ia mengangguk beberapa kali, sebelum akhirnya meletakkan kotak tadi dan berjalan cepat menghampiri pria itu.
Gisti menariknya dan memukul rahangnya.
Darmi yang melihat kejadian itu lantas bangkit dan menjerit, "Ya Allah!" ia berlari dengan mengangkat sedikit jariknya. Darmi menarik Gisti untuk berhenti memukuli.
"Bedebah kau! Ternyata benar dugaan saya selama ini, kamu yang mengirimkan surat itu!"
Patih meringis, merasakan sudut bibirnya robek karena hantaman keras dari tangan Gisti. Darmi mencoba menenangkan Gisti yang masih mengatur napasnya, terlihat sekali raut kemarahan dari wajah gadis itu.
"Apa maksudmu memukul saya?" tanya Patih tenang.
"Keparat!" umpat Gisti dengan menendang tubuh Patih membuat Patih yang masih dalam keadaan setengah berbaring kembali tersungkur. Darmi menjerit, menghampiri Patih dan memegang bahunya.
Darmi menatap Gisti, "Kamu kenapa, toh, Nduk? Apa salah Patih sama kamu?" tanyanya dengan raut wajah yang begitu cemas.
"Buk, dia yang sudah mengirimkan surat itu pada Gisti!" Darmi terlonjak kaget, Gisti meninggikan suaranya. Ia paham, putrinya benar-benar marah sekali. Tapi, apa perlu membentak Darmi seperti itu? Tidak bisakah dia membedakan mana Ibu dan mana teman?
"Dari mana? Dari mana kamu tahu jika Patih yang mengirimkan? Jangan menuduh orang sembarangan, Gis. Ibuk ndak pernah ajarkan kamu seperti itu."
"Pria pengantar kotak tadi bilang, jika Dewa Surat itu akan lewat sebentar lagi. Patih yang lewat, Buk. Patih pengirimnya," jawab Gisti berusaha untuk meredakan amarahnya, namun tidak bisa. Ia sangat kesal dengan Patih.
"Ini jalanan umum, semua orang berhak lewat sini, termasuk juga dengan Patih. Patih pasti akan berangkat kerja, rumah Patih juga tidak jauh dari rumah kita, Gis, dan dia pasti akan melewati jalan ini ketika hendak berangkat kerja. Nduk, bagaimana jika orang tua yang lewat, apa kamu juga akan mengiranya sebagai Dewa Surat itu dan memukulnya seperti kamu memukul Patih?"
Gisti diam. Tak berkutik sedikit pun, ia sibuk memutar otaknya untuk berpikir, juga mengatur deru napasnya yang naik turun.
"Berapa kali saya katakan padamu, bukan saya yang mengirimkan surat itu, Gis. Kamu sendiri yang mengatakan, jika saya ini bodoh dalam menulis. Kenapa tuduhanmu semakin menjadi-jadi pada saya?" tanya Patih seraya menatap kedua manik cokelat milik Gisti.
Patih bangkit, dibantu dengan Darmi. Ia menghampiri Gisti, "Terserah jika kamu tidak percaya dengan saya. Yang jelas, saya sudah mengatakan yang sejujurnya jika bukan saya yang mengirimkan surat itu."
Patih berlalu dan berjalan begitu cepat meninggalkan Gisti juga Darmi.
Darmi menarik Gisti untuk menghadap ke arahnya, mendongak karena tinggi Gisti yang melebihi tinggi Darmi. "Ibuk ndak nyangka sama kamu, Nduk. Karena penasaran dengan sang pengirim surat, kamu sampai tega menghajar teman masa kecilmu sendiri seperti itu."
"Tapi, Buk ...."
"Sudah. Ibuk ndak mau dengar alasan apa pun. Jangan ulangi lagi, paham?"
Gisti menghela napas, mengangguk pasrah kemudian. Darmi meninggalkan Gisti di pinggir jalan depan rumahnya, kembali masuk ke dalam rumah tanpa berniat melanjutkan acara menyapu halamannya.
Gisti menggeram kesal, ia menendang udara kasar. "Dewa Surat sialan!"