Spesial part dalam rangka HUT RI 75, nggak ada hubungannya sama sekali dari part sebelum dan sesudah ini.
—
Gisti senantiasa berjaga, mata elangnya menerawang jauh. Mengintai seluruh sudut yang dapat ia lihat, takut-takut jika Jepang menerobos masuk ke dalam kediaman Laksamana Maeda yang tengah digunakan untuk perundingan mengenai penyusunan naskah teks proklamasi.
Sesekali Gisti menguap karena tak tahan dengan rasa kantuk yang menyerang. Patih yang melihatnya menjadi tak tega, ia pun menghampiri, berbisik pada Gisti supaya tidur saja dan Patih akan mengambil alih tugas Gisti. Namun, Gisti tetap Gisti. Si wanita keras kepala yang tidak mau keinginannya terbantah.
"Tidak."
"Matamu merah."
"Tidak peduli."
"Tidurlah."
"Jangan pedulikan saya. Kembali ke tempatmu dan berjaga."
"Kamu lelah, Gis."
"Mulutmu seperti perempuan. Banyak bicara."
"Karena saya peduli padamu."
"Saya tidak."
"Terserah. Saya mau kamu beristirahat."
"Saya bukan wanita lemah. Kembali sekarang, atau peluru ini akan menembus dadamu."
"Lakukan jika k–argh!" ucapan Patih berganti erangan nyaring ketika Gisti menggoreskan belati ke pahanya.
"Kau pikir saya bercanda?"
Dengan kekesalan yang memuncak, Patih kembali ke tempatnya untuk berjaga. Kakinya berjalan sedikit terseot, karena merasa sedikit perih pada bagian pahanya. Beruntung Gisti sedikit baik hati, hanya menggoreskan belati. Bagaimana jika benar timah panas yang akan menembus dada Patih? Oh, astaga ....
"Gisti wanita keras. Saya menyukainnya, tapi nyali saya terlalu lemah." Patih menoleh, mendapati teman seperjuangannya tengah menatap Patih dengan tatapan tidak percaya.
"Ya, begitulah Gisti."
"Jangan membicarakan saya, atau kuhancurkan mulut kalian," desis Gisti yang ternyata mendengar pembicaraan Patih juga Jaka. Padahal, Jaka dan Patih sudah berbicara sepelan mungkin, tapi sialnya suasana malam yang bergitu hening membuat Gisti dapat mendengarnya.
Jaka menelan ludah susah payah, sepertinya ia harus memakan mentah-mentah rasa cintanya terhadap Gisti. Jaka sadar diri, ia tidak akan bisa menggapai gadis itu. Terlalu keras. Bahkan, Patih yang menjadi teman masa kecil Gisti saja sampai terluka seperti itu, bagaimana dengan Jaka? Bisa-bisa Jaka akan mati di tangan Gisti.
Membayangkannya, Jaka merinding sendiri.
"Sinikan pahamu."
Patih terbeliak, "Mau apa kamu? Jangan macam-macam. Saya masih normal."
Terlihat Jaka merotasikan kedua matanya malas, berdecak, dan kemudian berkata, "Tidak ada yang mengatakan jika kamu tidak normal. Jaga otakmu baik-baik, saya hanya ingin mengobati lukamu. Bukan macam-macam denganmu."
Patih bergumam pelan, duduk di kursi panjang dan membiarkan Jaka mengobati lukanya. Dari kejauhan Gisti melihat Patih yang tengah diobati, seketika terbesit rasa bersalah karena telah melukai sahabat masa kecilnya.
Namun, Gisti menggelengkan kepalanya pelan. Ia mengusir pikiran-pikiran jahat yang mengajaknya untuk meminta maaf dengan Patih. Ia tidak mau, Gisti ingin Patih yang meminta maaf terlebih dahulu. Karena bagaimanapun juga, Patih lah yang memulai semua ini, memancing kekesalan Gisti, dan tidak mengindahkan ancaman yang Gisti berikan.
Bagi Gisti, ia tidak bersalah karena telah melukai Patih. Toh, itu hanya luka ringan. Begitu pikirnya.
***
Mata Gisti tetap berjaga, mengawasi satu sudut ke sudut lain. Hari ini, 17 Agustus 1945 pukul 10.00 WIB akan diadakan pembacaan teks proklamasi sekaligus pengibaran bendera sang saka merah putih sebagai tanda merdekanya bangsa Indonesia.
Niat awal memang ingin dilakukan di Ikada, namun, mengingat bahaya yang bisa datang kapan saja, pada akhirnya pembacaan teks proklamasi diadakan di kediaman rumah Ir. Soekarno di jalan Pegangsaan Timur.
Jantung Gisti berdetak lebih cepat ketika Ir. Soekarno mulai naik ke atas podium. Upacara berlangsung penuh ketenangan, juga rasa tidak sabar jelas sekali menyerang para rakyat Indonesia.
"Saudara-saudara sekalian, saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjoang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun! Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.
"Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.
"Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.
"Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia-sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:
P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 yang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17, boelan 8 tahoen 05
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
"Demikianlah saudara-saudara! Kita sekarang telah merdeka! Tidak ada suatu ikatan lagi yang mengikat tanah air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menyusun negara kita!Negara merdeka, negara Republik Indonesia! Merdeka, kekal, abadi! Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini."
(sumber: pidato Ir. Soekarno https://id.m.wikipedia.org/wiki/Proklamasi_Kemerdekaan_Indonesia)
Sorak riuh tepuk tangan menggema, Gisti tak tahan, bulir-bulir keringat telah bercampur dengan air mata kebahagiaannya. Perjuangan yang tak sia-sia, kemerdekaan Indonesia telah diraih. Bahagia, tangis, dan haru mewarnai upacara pagi ini.
Gisti kembali menatap ke depan, memperhatikan para pengibar bendera yang tengah sibuk mengaitkan tali pada sang saka. Ketika bendera merah putih terbentang dengan sempurna, dengan sikap sigap dan tegap, para rakyat Indonesia memberikan hormat pada sang merah putih.
Lagu Indonesia Raya pun bergema, menyanyikannya dengan isak tangis kebahagiaan. Gisti tak henti-hentinya tersenyum, bahagia karena hasil yang indah dari perjuangan para pahlawan semua.
Patih sedari tadi terus memperhatikan Gisti, gadis itu terlihat begitu bahagia. Karena memang, Gisti bersikeras masuk ke TNI karena ingin terjun menghapus para penjajah, meski gadis itu tahu risiko apa yang akan ia terima nanti. Bahkan, Gisti sewaktu kecil selalu bercita-cita untuk membuat planet lain, agar ia bisa membawa seluruh rakyat Indonesia untuk tinggal di sana.
"Jangan menangis," ujar Patih seraya berbisik sesaat setelah selesai dinyanyikannya lagu Indonesia Raya.
Gisti mendesis, "Saya hanya terharu. Kau juga mengeluarkan air mata."
"Sama sepertimu, saya juga terharu."
"Hm."
"Gis."
Gisti menoleh, tatap matanya bertemu dengan kedua manik milik Patih. Pria itu begitu tampan, Gisti mengakuinya. Mata coklatnya yang indah, rahang tegasnya, serta otot-otot besarnya yant tercetak jelas membentuk tubuhnya. Parasnya juga rupawan, tak jarang banyak gadis-gadis yang ingin dipinang oleh Patih.
Gisti menggeleng, entah kenapa pikirannya bisa menerawang jauh sampai memikirkan ketampanan Patih.
Patih tersenyum, manis sekali. "Kamu cantik, Gis," ungkapnya yang hanya dibalas Gisti dengan decihan.
"Tapi saya tidak mencintaimu," lanjut Patih.
"Saya juga tidak berharap dicintaimu, sialan."
"Hush! Ini upacara resmi, seharusnya kalian diam dan memperhatikan. Ini adalah sejarah yang sangat penting, diamlah. Jangan bergaduh," tegur Jaka yang sebenarnya panas. Bukan hanya panas karena terik matahari, tetapi panas terbakar api cemburu.
Patih dan Gisti kembali ke keadaan semula, mengikuti serangkaian acara sampai selesai. Namun, beberapa rombongan pasukan datang berbondong-bondong mengakibatkan ricuh sana-sini. Gisti mengernyit, mengapa mereka?
Ternyata, mereka tidak tahu tentang perubahan tempat pembacaan teks proklamasi. Mereka datang dari Ikada, dan meminta Soekarno untuk membacakannya lagi. Namun dengan tegas, beliau menolak. Alhasil, Hatta menggantikannya dengan pidato singkat.
Gisti menghela napas lega, setidaknya, mereka bukanlah penjajah yang akan menghancurkan peristiwa bersejarah ini. Kini, kemerdekaan telah menyambut segala perjuangan yang telah pahlawan korbankan. Waktu dan harta yang mereka relakan, serta nyawa yang mereka pertaruhkan.
Indonesia Merdeka!
—
🇮🇩 DIRGAHAYU RI 75 🇮🇩