Patih berjalan dengan gontai, pukulan Gisti pada badannya bukan main-main. Ini betulan, Patih kesal sekali hari ini. Niatnya hanya ingin berangkat bekerja dengan nyaman dan tenang, tapi mengapa malah terkena bogeman mulus dari Gisti? Ingin melawan, tapi Gisti temannya. Ah, sudahlah.
Tak henti-hentinya Patih mengumpat dalam hatinya, sesekali menyentuh bibirnya yang masih mengeluarkan sedikit darah. Patih sudah terbiasa, ia hanya kesal, itu saja.
Seharusnya, Patih tidak perlu ikut campur dengan urusan percintaan yang rumit ini. Dewa memang pengecut, tidak berani mengungkapkan perasaan yang sebenarnya pada gadis yang ia cintai. Apa dia pikir dengan menulis surat untuk Gisti akan membuat hati wanita keras itu meleleh? Tidak.
Sibuk menyumpah serapahi Dewa Surat, seseorang bersiul membuat Patih terpaksa mendongak. Ia mencari sumber suara, dia mengepalkan kedua tangannya kesal ketika melihat seseorang bersandar di pohon mangga dengan pakaian serba hitam, juga kain berwarna hitam pula yang menutupi bagian wajahnya kecuali mata.
Patih berjalan sedikit cepat, ia menarik orang itu dan menjambak rambutnya keras membuat sang empu mengaduh kesakitan.
"Bisa-bisanya kau mengerjaiku!"
"Aku tidak mengerjaimu, Mas."
"Bedebah memang."
"Kau lebih."
"Bicara apa kau?!"
"Selain tidak pandai menulis, kau juga tuli?"
"Kamu ...!" Patih menggertakkan gigi-giginya. Ia tahu, jika pria di depannya ini suka bercanda, tapi kondisi Patih saat ini sedang tidak ingin diajak main-main.
"Itu balasan untukmu karena sudah berani memeluk gadisku."
Patih mengerutkan dahi bingung, "Maksudmu?"
"Kemarin malam, ketika kalian dalam perjalanan."
Kini Patih mendecak, "Dia yang memeluk saya dulu."
"Oh astaga ... tapi kau balas memeluknya, bukan? Padahal calon istriku hanya bersandar pada bahumu."
"Saya hanya kasihan."
"Hm."
"Jangan cemburu. Saya tidak akan merebut apa yang bukan menjadi hak saya."
***
Gisti termenung di depan terasnya, setelah kejadian dirinya yang memukul Patih tadi pagi, Gisti mengurungkan niatnya untuk bekerja. Lagi pula, luka pada perutnya juga belum sepenuhnya mengering.
Gadis itu masih terus memikirkan siapa sebenarnya Dewa Surat itu, ia selalu menduga jika pengirimnya adalah teman terdekatnya, tapi siapa? Temannya hanya Patih, sedangkan si jantan sialan itu selalu mengelak dan juga ... lagi-lagi harus ditekankan, pria itu tak pandai merangkai kata-kata. Jadi, kemungkinan jika Patih adalah pengirimnya hanya 20% saja.
Namun, Gisti tak henti-hentinya mendesak Patih untuk mengatakan yang sejujurnya. Meski Gisti tahu, sorot mata Patih ketika mengatakan jika bukan dia pengirimnya adalah tatap mata yang benar-benar serius.
Ah, Tuhan ... Gisti benar-benar frustasi.
Gisti memijat kepalanya yang berdenyut kencang, dia benar-benar pening memikirkan masalah yang tak kunjung selesai. Siapa sang pengirim surat dan apa tujuannya menuliskan surat menyebalkan itu padanya.
Sibuk bergulat dengan pemikiran tentang siapa Dewa Surat, tukang pos yang tadi pagi mengantarkan surat padanya kini datang lagi. Gisti tidak heran, ia menduga jika Dewa Surat itu kembali mengirimkannya surat.
Mendecak pelan dan bangkit, Gisti bersandar pada salah satu tiang penyangga rumah seraya matanya memperhatikan gerak-gerik tukang pos yang tengah memarkirkan sepeda ontelnya. Pria itu tersenyum manis seperti biasa, menyerahkan amplop cokelat tanpa nama pada Gisti.
Yang Gisti lakukan hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun, ia malas mendesak tukang pos itu tentang siapa pengirimnya. Karena jawabannya sudah Gisti ketahui.
Gisti hendak berbalik, namun ucapan tukang pos itu membuat Gisti menghentikan langkahnya.
"Dewa ingin bertemu."
***
Gisti memelankan langkahnya, ketika ia telah sampai di tempat yang tukang pos tadi informasikan. Katanya, Dewa Surat itu ingin bertemu. Tapi apa ini? Tempat ini begitu sepi, tidak ada siapa pun di sini. Gisti mendecak pelan, ia merasa sedang dipermainkan.
Tepukan pada bahu Gisti membuatnya menoleh dan membanting orang itu. Tidak, Gisti tidak sengaja. Ia hanya reflek. Namun, Gisti menginjak dada pria itu setelah tahu siapa orangnya.
Kalian sudah pasti bisa menebak, dia adalah Patih.
"Lelucon apa lagi ini?" tanya Gisti seraya menekan kakinya ke dada Patih membuat pria itu terbatuk.
"Gis, singkirkan kakimu dari dada saya, atau–argh!" umpatnya ketika Gisti menaikkan kedua kakinya. Kini, gadis itu sudah berdiri di atas dada Patih. Kepalanya menunduk, menatap Patih yang tengah merintih.
"Bukankah saya sudah beritahu, jika saya menemukan pengirim surat itu, saya akan menghabisinya."
"Gis, s-saya eugh ...," Patih merintih. Dadanya benar-benar sesak sekali. Jika tahu akan seperti ini jadinya, ia tidak akan mengikuti Gisti.
"Apa? Mau bicara apa lagi?"
"Bukan saya pengirimnya!"
Dengan sekuat tenaga, Patih bangkit dengan cepat, membuat Gisti terpental dan terbaring di atas tanah. Patih mendekat ke arah Gisti, mengunci segala pergerakan Gisti di bawah kungkungannya.
Gisti menatap tajam ke arah Patih, gadis itu seakan tidak memiliki rasa takut sedikit pun, padahal bisa saja sewaktu-waktu pria yang berada di atasnya ini dapat menyerangnya tiba-tiba. "Apa? Mau berbuat mesum di sini?" tantang Gisti bertanya.
"Saya tidak nafsu denganmu."
"Menyingkirlah dari atas tubuh saya."
"Tidak."
"Sudah bosan hidup?"
"Saya tidak sengaja mengikutimu. Kau terlihat seperti orang gila yang berjalan seorang diri dan menuju tempat seperti ini. Terlebih ini malam hari."
"Cih, bilang saja ini semua rencanamu."
"Dasar wanita keras kepala. Terserah apa katamu, saya tidak peduli."
Patih bangkit, membenarkan seragamnya yang sedikit berantakan juga kotor karena tanah. Ia meraih senapannya yang tergeletak di tanah dan bergegas pergi meninggalkan Gisti yang sudah terduduk.
Punggung Patih perlahan menjauh, Gisti tak henti menatapnya. Sebenarnya, siapa Dewa itu? Dan apa yang sedang ia rencanakan?
"Keparat. Saya benar-benar akan membunuhmu jika saya menemukanmu, sial!"
Gisti memukul tanah, meluapkan segala kekesalannya. Ia menunduk ketika merasakan sesuatu mengalir dari perutnya. Berdecih kemudian setelah tahu jika lukanya kembali mengeluarkan darah.
Gisti menekuk kakinya dan memeluk lututnya. Untuk kali pertama dalam sejarah hidupnya–setelah ia tumbuh dewasa–Gisti menangis. Meski tidak kencang, siapa pun yang melewati tempat ini tetap akan mendengar isakannya.
Entah apa penyebab Gisti menangis, ia hanya merasa lelah. Rasa-rasanya, Gisti ingin mati dan menyusul romonya di surga sana. Tapi hal itu tidak mungkin dilakukannya, mengingat ia hanya tinggal berdua dengan Darmi. Jika Gisti pergi, bagaimana dengan Darmi?
Sibuk terisak, Gisti merasakan sesuatu merengkuh tubuhnya. Dia tidak menolak atau memberontak, dalam pikirnya, biarkan saja seseorang memelukku. Karena memang saya sedang butuh pelukan. Gisti tidak peduli, siapa yang memeluknya. Gisti hanya butuh sedikit ketenangan, dan rasanya berada dalam rengkuhan orang ini membuatnya merasa nyaman.
Mendapat respon baik dari sang gadis, pria itu semakin mengeratkan pelukannya. Mengusap pelan surai rambut Gisti dan menenangkannya dengan menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu. Isakan Gisti semakin kencang, rasa-rasanya pria itu ingin sekali menatap wajah Gisti, menenangkannya dengan suara lembutnya. Tetapi, hal itu tidak mungkin ia lakukan. Karena ini belum waktunya.
Sedangkan di balik pohon beringin yang cukup lebat dan menyeramkan, Patih tersenyum simpul. Hatinya seperti terkena sebuah sengatan listrik, sakit, tapi tak tahu mengapa. Ah, tidak mungkin jika Patih mencintai Gisti, bukan?
Hidupnya hanya untuk menyatukan mereka berdua, Gisti dan Dewa. Patih sadar diri, dirinya tidak pantas untuk Gisti. Patih bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Dewa Surat. Jika memang benar Patih memiliki rasa dengan Gisti, Patih akan berusaha membunuhnya—membunuh perasaannya sendiri.
Perlahan, Patih meninggalkan tempat itu. Membiarkan Gisti melebur dalam pelukan Dewa Surat di bawah langit malam dengan ribuan bintang yang bertabur. Tak lupa, rembulan yang menyala terang, seakan-akan semesta memang sudah mempersiapkan ini semua dengan sedemikian rupa. Alam raya telah menyusun rencana pertemuan Gisti dan Dewa Surat, meski sang gadis belum mengetahui.