Keesokan harinya Tabita dan siska disibukkan dengan pindahannya Tabita kerumah Marcel.
Sejak saat awal Tabita tinggal di rumah Siska Tabita tak henti-hentinya dibuat kagum dan iri sekaligus, saat melihat kasih sayang kedua orang tua siska terhadap dirinya dan telah menganggap dirinya seperti anak mereka.
"Bita aku pasti bakalan kangen deh" ucap Siska yang duduk disamping bita. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Marcel.
"Aku juga kok sis" jawab bita dengan senyum manis nya. Siska membalas senyuman bita dengan tulus.
Tak berselang beberapa saat mereka Kini Sudah berada di rumah Marcel dan pastinya diantar oleh kedua orang tua siska bersama juga dengan Siska tentunya. " Bit aku gak nyangka kamu bisa nikah Ama bos kita." Ucap Siska yang kini merangkul lengan bita.
"Iya sis aku juga gak nyangka. Oh ya Tante om makasih ya mau anterin aku dan makasih juga om tante. Selama aku tinggal dengan kalian aku gak pernah kekurangan apapun. Tante selalu sayang Ama aku. Makasih ya tan" bita langsung memeluk wanita paruh baya itu dengan erat dan dibalas tak kalah erat oleh ibu Siska.
"Sudah gak usah sungkan begitu kamu udah Tante anggap anak Tante kok, lagian kamu selama ini selalu menjadi sahabat terbaik Siska dan kamu selalu membantu Tante padahal kan Tante punya asisten rumah tangga tapi kamu selalu membantu Tante malahan Tante yang makasih ke kamu. Tante harap kamu juga bisa sering berkunjung ya kerumah bareng Siska. Tante pasti akan kangen Ama kamu" jawab ibu Siska dengan mengelus pucuk rambut bita dengan sayang.
"Iya Tante pasti.aku juga pasti akan kangen suasana rumah" Jawab bita dengan mengangguk tapi dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
"Ya sudah Tante Ama om pamit ya bareng siska. Kamu jaga diri baik-baik ya sayang" Tabita hanya mengangguk dan menatap kepergian mereka.
kini dia masuk kerumah Marcel dengan perasaan campur aduk yang entah sejak kapan perasaan itu muncul.
***********
Sudah seminggu semenjak pernikahan mereka berlangsung, sejak saat itu juga Tabita tidak pernah beristirahat dengan cukup, apalagi makan dengan waktu teratur. Itu karena setelah tugas kantor juga tugas rumah yang selalu ditumpuk oleh Marcel yang notabene nya suaminya sekaligus CEO di tempat dimana dia bekerja, membuat fisiknya seakan mudah lelah. contohnya saja saat dia akan makan malam, baru dia akan mengambil nasi dan lauk, tapi Marcel langsung membuangnya dan menjambak rambut panjangnya dan menariknya ke gudang untuk dikurung disana. Entah kenapa dengan pria arogan itu tak pernah sedikitpun untuk tidak menyakiti istrinya sendiri. Padahal kalian tahu kan kalau Tabita di paksa menikah oleh Marcel.
"Tuan tolong buka pintunya, saya lapar, saya hanya ingin mengisi perut saja" sungguh kalimat mengiris hati kalau didengar orang lain tapi tidak dengan iblis satu ini yang hanya tertawa dibalik pintu dan menendang pintu itu.
Keterlaluan
"Saya tidak perduli." Setelah menjawab dengan teriakannya Marcel pergi dari situ dan keluar menuju bagasi mobil untuk keluar entah kemana.
Tragis bukan hidup Tabita yang selalu mendapatkan perlakuan tak pantas oleh suaminya sendiri.
"Aku harus minta tolong bibi untuk bawain aku makanan, aku udah gak tahan dengan perut yang lapar ini." Dengan cepat bita memanggil wanita paruh baya itu lewat jendela gudang yang menghadap kearah dapur. Dia sudah tahu seluk beluk rumah ini juga gudang yang dia pijak sekarang. Karena dia yang sering membersihkan jadi dia dengan mudah mencari pertolongan lewat sini.
"Bibi, bi Retno, bi" untungnya suara Tabita bisa didengar oleh wanita paruh baya itu. Bi Retno mencari-cari suara Tabita hingga matanya tertuju pada jendela kecil yang memperlihatkan mata seseorang yang bibi yakini itu Tabita.
"Nyonya" teriak bibi Retno yang langsung sigap menutup mulut nya dengan sebelah tangannya.
"Ssst bi, jangan kencang-kencang bi, nanti monster denger." Bibi hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Nyonya kenapa bisa disitu? Bukannya tadi ada di meja makan ya?" Tanya bi Retno dengan sedikit berbisik.
"Bi jangan kasih tahu tuan ya kalo aku mau makan, please bantuin aku bi" jawab bita lirih yang membuat bi Retno berkaca-kaca tak menyangka wanita sebaik nyonyanya harus mendapatkan perlakuan buruk oleh suaminya sendiri.
"Iya nya mau bibi ambilin makan?" Tanya bi Retno dengan memegang tangan Tabita di jendela bawah.
"Iya ni, tolong ya bita laper nih, maaf juga udah ngerepotin" jawab bita tak enak, karena selama dia disini yang sering membelanya adalah bi Retno. Karena Marcel tidak pernah berani melawan bi Retno yang sudah dari kecil merawatnya.
"Iya nya tunggu ya bibi akan bawa ke nyonya." Jawab bi Retno dengan berlari kearah meja makan mengambil beberapa makanan.
Serasa cukup bi Retno berlari kearah gudang tak lupa mengambil kunci yang digantung di atas lemari dekat ruang kerja Marcel yang memang disitu di taruh semua kunci ruangan.
"Sabar ya nya," setelah membuka pintu gudang bi Retno menghampiri Tabita yang kini sudah pucat karena dia tahu tadi pagi sebelum berangkat ke kantor, Tabita tidak mengisi perutnya dengan makanan. Bi Retno juga khawatir jika makan siang Tabita juga tak tepat waktu. Apalagi sekarang gara-gara Marcel Tabita harus menahan lapar dikurung digudang.
"Bi makasih ya mau bantuin bita terus selama bita disini, bita bingung bi"
"Kenapa bingung nya, lagian kan nyonya gak salah apa-apa" bi Retno tidak habis pikir dengan keadaan Tabita sekarang akibat ulah tuannya.
Hingga dia merasa ibah akan keadaan Tabita yang baru seminggu disini tapi berat badannya menurun itu begitu tampak karena pipinya yang tidak lagi se chubby saat pertama bertemu.
"Aku tahu bi, tapi aku bingung harus berbuat bagaimana lagi, semua cara yang telah aku lakukan seakan percuma Dimata Marcel" air mata yang dia tahan dari tadi pun harus pecah saat mengungkapkan perasaannya selama ini yang dipendam.
"Sudah habisi dulu nya makanannya. Keburu tuan pulang terus gak sempet dihabisin kan gak baik" tutup bi Retno yang dari tadi setengah mati menahan air matanya supaya tidak jatuh. Dia harus tegar dan kuat supaya bisa menjadi penyemangat bagi Tabita.
Marcel POV
Hari ini sengaja aku mengurung wanita itu di gudang karena sejak pagi dia selalu mengacuhkan aku. Keterlaluan memang tapi itu pantas karena telah mengacuhkan aku.
Sejak kapan memangnya seorang Marcel di acuhkan oleh perempuan?, Menyebalkan
"Memangnya kamu siapa Tabita, hanya sampah yang sedang aku gunakan sebagai balas dendam ku"
"Permisi tuan, diluar ada tamu" jelas bi retno dibalik pintu kamar.aku tak menggubris dan segera menatap kembali diriku di cermin.
Setelah selesai dengan urusan dikamar mandi tadi, segera aku bergegas ke bawah untuk melihat siapa tengah malam begini datang menemui ku. Kalau Vano tidak mungkin karena dia tadi sudah mabuk akibat minum-minum bareng karyawan kantor.
Tabita? Dia hanya ku beri waktu jam kantor sampai jam empat sore jadi dia bisa membantu bi Retno di rumah. Jadi tak ada alasan lagi untuk dia bermalas-malasan ataupun pergi jalan-jalan dengan teman-teman nya.
"Kamu ngapain kemari tanpa memberi tahu saya?" Belum hilang emosiku soal Tabita. Sekarang harus naik darah lagi dengan kehadiran Tristan di rumahku tanpa seijin ku.
"Saya cuma mau melihat keadaan adik saya kalau kamu merawatnya dengan baik" jawab pria itu dengan nada yang susah ku mengerti.
"Dia sangat baik dirumah ini karena dia istri saya" jawabku bohong dan tak kalah ketus. Segera ku duduk di single sofa ruang tamu tanpa mempersilahkan duduk pria itu sudah duduk terlebih dulu membuat ku makin tak suka dengan sikapnya yang dari dulu tak pernah berubah sedikitpun.
"Oh waw rupanya dia betah disini saat setelah menikah denganmu. Aku berharap dia tak pernah bahagia dari dulu.menyebalkan juga kalau dia di bahagiakan orang lain." Apa ini? Kenapa Tristan berbeda, kenapa dia tidak bahagia dengan ucapan yang aku bilang barusan? Kenapa ini sebaliknya.
"Kenapa kalau dia tidak bahagia? Kamu merasa bahagia jika wanita itu terluka? " Hanya hening tak ada jawaban. Cukup lama aku menunggu. Hingga
Satu,
Dua,
Tiga
"Aku senang dia terluka dan itu bisa membuat ku merasa lebih tenang dan bahagia juga puas tentunya.". Jawaban tak terduga Tristan membuatku berpikir gila kepada kakak dari wanita yang sekarang menjadi istriku.
"Sayangnya saya tidak akan melakukan hal yang anda senangi tuan Tristan. Saya lebih suka untuk membuat istri saya bahagia" jangan kira aku berbicara seperti itu karena aku benar-benar akan melakukan hal itu kepada dia tentu tidak karena aku memang sangat membencinya.
Catat, Membencinya.
"Terserah kamu mau berbuat apa terhadap dia yang jelas saya sangat tidak perduli akan kehidupan wanita jalang itu." Entah kenapa aku tidak menyukai perkataan pria ini. Sungguh menjijikkan dan membuat emosi ku mulai naik.
"Tahan cel, dia hanya manas-manasin kamu" batinku
"Sebaiknya jaga ucapan anda, jika tidak ingin saya usir dari sini" hanya tawa yang keluar dari mulut pria itu tanpa memperdulikan aku yang sudah mulai emosi. Tanganku ku tahan sekuat tenaga untuk tidak memukul pria ini tapi aku tahan dan mungkin kalau dilihat pasti sudah memutih karena menahan marah.
"Satpam bawa pria gila ini keluar" teriakku dan di angguki oleh kedua satpam yang baru tiba.
Dengan cepat mereka menyeret pria sialan yang entah lah kenapa dia malah tidak melawan dan hanya mengeluarkan senyum smirk miliknya dari arah pintu depan.
Sialan.
sambil menaiki anak tangga menuju lantai atas.
"Tuaaan...." Teriakan bi Retno membuat ku terkejut sekaligus merasakan ada yang tidak beres dengan teriakannya.
"Ada apa bi?," Dengan berbalik dan turun lagi ke bawah.
"Nyonya bita..." Jawab bi Retno dengan tergesa-gesa.
"Ada apa? Coba tenanglah bi" Aku memegang lengan bi Retno untuk membuat wanita itu tenang.
"Nyonya pingsan tuan di gudang." Entah kenapa hati kecilku ingin berlari kesana namun Aku hanya merasa senang telah memberi pelajaran terhadap dia tapi juga kenapa perasaanku merasakan khawatir sekaligus, ah sial.
"Baguslah kalau dia pingsan. Suruh supir saja bawa dia ke rumah sakit kalau tidak sadar juga." Sebenarnya aku khawatir tapi rasa dendam ku terhadap wanita itu lebih besar dari rasa khawatirku. Sebaiknya aku harus menghindari perasaan sialan ini sebelum semuanya terlambat jika aku harus menyukai wanita itu.
"Tapi tuan_"
"Pergi sana dan jangan bilang ke saya lagi, saya mau istirahat" dengan cepat ku berbalik dan menuju kamar untuk beristirahat karena sudah terlalu lelah untuk hari ini. Dan aku tidak perduli dengan wajah bi Retno yang berubah setelah aku berbicara seperti tadi.
End POV
Suara mesin denyut jantung tiba-tiba berbunyi lurus. Menandakan kalau wanita cantik itu telah meninggal. Suara tangis seketika pecah saat itu juga namun pria di samping nya itu hanya diam terpaku tanpa suara karena melihat sosok istri yang begitu dia benci dan sering kali dia sakiti itu telah pergi. Pergi untuk selamanya. Rasa benci bahkan dendam nya seakan terlupakan begitu saja. Sekarang yang ada hanya satu rasa yang selama ini dia pendam. Rasa cinta yang telah lama tumbuh harus hancur begitu saja ketika orang yang dulu dia sakiti itu harus pergi selamanya. Ya selamanya bukan sebentar.
"Nak bangun....kamu gak mungkin pergi ninggalin mama sama papa juga kakak-kakak kamu kan? Jangan becanda bita....bitaaa" teriakan dan tangis ibu bita tak terbendung saat itu hingga harus jatuh pingsan hingga suaminya langsung menggendong istrinya untuk di bawa ke UGD.
Entah kenapa dengan Tristan dia hanya melihat terus-menerus kearah Marcel dengan sorot mata kebencian mendalam karena adik perempuan yang selama ini dia sakiti harus pergi jauh dari nya.
Sebuah Bogeman mentah mendarat tepat di pipi mulus Marcel saat dia akan memeluk tubuh kaku istrinya untuk terakhir kali. Pukulan itu tak lain adalah Tristan yang sekarang telah di cegat oleh Teddy dari belakang karena emosi pria itu tak dapat dibendung lagi. "Pria brengsek Lo cel, gue kehilangan adek gue satu-satunya. BRENGSEK"
Tak ada perlawanan dari pria yang kehilangan istrinya karena sekarang semua dendam selama ini, hanya sebuah emosi yang menghancurkan segalanya termasuk menghancurkan kehidupan rumah tangganya yang harus kehilangan istrinya.
"maafin aku bit, aku sadar aku sa_"
"TIDAK..." keringat dingin bercucuran di sekujur tubuh naked pria ini, tangan kakinya gemetaran tak karuan karena mimpi buruk tadi. Dan ya Semua ternyata hanya mimpi buruk bagi Marcel. Entah kenapa dia harus memimpikan wanita yang jelas-jelas begitu dia benci. Tapi entah kenapa mimpi itu begitu nyata.
"Sialan kenapa semua layaknya nyata" dia memukul tempat tidur dan mengusap wajahnya kasar. Dengan cepat dia berdiri untuk ke kamar mandi. Dia harus mandi untuk menghilangkan bayang-bayang mimpi buruk tadi.
"Aku harus pergi melihat keadaan wanita itu"
Di tempat lain Tabita tak bisa tidur dan malahan dia merasa ada yang memikirkan nya. Oh tidak Sudah berbagai posisi dia gunakan untuk mencari kenyamanan untuk tidur, tapi semuanya nihil.
"Sebaiknya aku kedapur untuk minum susu atau makan sedikit cemilan supaya bisa cepat tidur." Dengan perlahan dia bangun agar dia tidak membangun kan bi Retno yang tidur membelakanginya.
Dan sekarang dia menuju kearah dapur yang dekat dengan kamarnya. Ya dia tidur di kamar khusus pembantu, seperti dikatakan marcel waktu itu.
Tangan lentik wanita itu lihai menggunakan beberapa peralatan dapur yang ada di depannya.
"Ngapain kamu tengah malam ribut-ribut di dapur saya?" Kegiatannya harus terhenti karena suara Marcel yang tiba-tiba saja mengganggu pendengaran nya hingga dia harus melepas pegangan pada wajan panas yang dia pegang hingga jatuh yang untungnya dia dengan cepat menghindar hingga tidak melukai kakinya.
Tabita hanya diam dan menatap bingung kearah Marcel yang tengah malam sudah rapi entah mau pergi kemana dan tak lupa harum maskulin khas pria itu. "Kenapa diam? Kamu ngapain malam-malam masak? Kurang ya, saya kasih kamu makan?" Tanya Marcel dengan alis terangkat satu sambil kedua tangan menopang dagu diatas meja mini bar dekat dapur.
"Ma-maaf tuan saya hanya susah tidur" jawab bita polos dan melanjutkan mengaduk adonan tepung di depannya. Tak lupa juga dia membereskan wajan yang jatuh tadi.
"Yasudah terserah kamu. Tapi ingat jangan pernah kamu macam-macam di rumah ini kalau tidak mau saya berbuat kasar ke kamu atau bahkan lebih." Setelah omongan tadi Marcel segera pergi dari rumah dan melaju dengan mobil sport miliknya. Entahlah pria itu mau kemana.
Skip malam
Sekitar pukul 04:30. Masih subuh namun
Pria dengan gaya acak-acakan itu pulang pagi-pagi buta dan sudah bau alkohol yang untungnya pembantu di rumah itu sudah bangun untuk sekedar beres-beres ataupun memasak untuk sarapan pagi keluarga Wijaya.
Bi Keke terkejut bukan main karena orang yang sejak malam tidak pulang itu sudah berada di depan pintu dengan gaya yang tak biasa dan gaya bicaranya pun sudah berbeda.
"Den Tristan. Astaga" teriak wanita paruh baya itu yang sedang mengelap meja kaca ruang tamu dan segera berlari membopong pria bertubuh jangkung itu.
"Aku benci Tabita, jangan kalian bawa masuk lagi wanita itu. Dia sungguh buat aku patah hati hahahaha. Bahkan dia sudah berani membuat aku kecewa diwaktu bersamaan sialan. Kenapa gue harus sayang kedia jelas-jelas dia bukan hahahaha" kata-kata Tristan mengundang tatapan bingung oleh pembantu rumah tangga mereka yang sudah dari Tristan lahir sampai dia dewasa itu tetap setia Bekerja dengan keluarga Wijaya. Dengan cepat bi Keke meraih lengan Tristan dan membantu pria itu berjalan karena sudah sempoyongan dengan alkohol.
"Den Tristan udah mabuk. Yuk bibi antar ke kamar den." Bibi Keke membantu Tristan hingga ke kamarnya di lantai atas namun Langkah keduanya terhenti karena ayah Tristan "papa Bima" sudah memergoki anaknya pulang dengan keadaan kacau. Bi keke yang sudah kelabakan pun hanya bisa diam hingga isyarat dari papa Bima membuat bi Keke melepaskan tautan tangannya terhadap Tristan hingga pria itu hanya berpegang di gagang pintu kamarnya.
Beberapa saat hanya hening hingga.
Plak
Tamparan keras mengenai pipi mulus Tristan.
"Kamu apa-apaan ha? Sudah tidak pulang dari semalam dan sekarang kamu pulang sudah mabuk-mabukan seperti tidak punya etika. Mau taruh dimana muka papa, Tristan kalau kamu pulang dengan keadaan begini?" Suara teriakan papa Bima memenuhi seluruh penjuru rumah karena waktu masih subuh hingga membangunkan orang rumah yang masih beristirahat.
"Kamu pikir ini rumah nenek moyangmu ha?" Teriak papa Bima lagi dengan lantang dengan dada naik turun karena emosi.
Plak
Sebuah tamparan lagi namun tidak dari papa Bima. Melain dari mama Rani. Ya mama Rani menampar pipi kiri Tristan hingga pria itu sudah mulai sadar akan dirinya yang kini sedang berhadapan dengan kedua orang tuanya dengan sorot mata menatap nya berbeda.
"Sudah sadar kamu Tristan?, Kamu tahu yang kamu lakukan sungguh memalukan. Kenapa kamu pulang subuh-subuh begini dengan keadaan mabuk dan mau kamu apa ha? Mau malu-maluin keluarga kita? Iya?" Teriak mama Rani tak kalah lantang.
Tristan hanya menatap kedua orang tuanya bergantian dan terkekeh pelan hingga dia hanya masuk ke kamar dan membanting pintu kamarnya kasar. Dia bingung sekaligus emosi akan perlakuan kedua orang tuanya yang hanya bisa kasar terhadap dirinya tanpa pernah perduli dengan dirinya. Mereka hanya memikirkan kekayaan, kehormatan dan jelas pengakuan terbaik publik tanpa perduli dengan dirinya. Dia juga sudah lelah dan benci terhadap Teddy yang juga sudah mulai ikut-ikutan memberi perhatian akan anak bungsu keluarga Wijaya.
"Arghhhhhh gue benci Lo semua....." Semua benda diatas meja kerja Tristan dibanting habis-habisan olehnya hingga semua barang-barang itu berserakan diatas lantai dan sebagian pecahan kaca itu melukai kakinya tanpa dia pedulikan
"Cukup gue tahan ini selama bertahun-tahun atas kehadiran lu bit. Lu udah ambil semua perhatian dan kasih sayang kedua orang tua gue dan lu udah ambil hati gue yang harus suka sama loh padahal Lo adek gue.arghhhhh sialaaaan...." pria tampan itu hanya bisa berteriak dan menangisi perasaannya dan juga kebencian yang tak bisa dia kendalikan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 08:35 pagi yang artinya semua orang sudah beraktivitas disaat itu tanpa terkecuali Tabita yang kini harus bergelud lagi dengan berkas-berkas dihadapan nya di dalam ruangan milik Marcel.
Kalian pasti bertanya-tanya kenapa dia disana bukan?
Semenjak Marcel memimpikan Tabita dia langsung saja mengangkat bita menjadi asisten pribadinya dan menyuruh alvano fokus pada pekerjaan milik Tabita ya bisa dibilang kalau Vano dan bita bertukar posisi untuk sekarang.
Marcel tak henti-hentinya menatap kearah Tabita yang entah sejak kapan dia memperhatikan wanita itu tampak cantik dan juga sedikit berbeda dari awal dia melihatnya. Cie ada yang mulai lirik-lirikan nih wkwkwk - author
Skip
Tabita yang kini fokus dimeja kerjanya menatap serius kearah komputer kaget bukan main saat pintu ruangan mereka terbuka dengan begitu kasar menampilkan seorang wanita cantik yang kini menatap kearah Marcel. Jangan tanya bagaimana dengan Marcel yang kini bagai di sambar petir yang begitu kaget bukan kaget karena pintu terbuka kasar tapi kaget karena kehadiran wanita cantik yang begitu dia rindukan.
"Tiffany_ ka_kamu" Marcel begitu gugup dan begitu merindukan wanita yang sangat dia sayangi. Ya dia Tiffany. Wanita yang sangat dia cintai dan rindukan. Tabita hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan karena kaget melihat pemandangan didepannya yang harus menyaksikan suaminya dipeluk erat oleh wanita lain dan lebih menyakitkan lagi karena wanita itu harus mengecup bibir pria yang berstatus suaminya itu. Bisa dibayangkan betapa sakit hatinya seorang istri harus menyaksikan suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain .
Marcel hanya bisa diam terpaku atas perlakuan Tiffany terhadapnya. Tiffany masih belum sadar akan keadaan Tabita disana yang saat ini menatap kecewa juga benci terhadap Tiffany.
"Kamu kemana aja sayang, aku khawatir dan mencari-cari kamu." Marcel merangkul pinggang wanita itu begitu erat hingga membuat Tabita melihat pemandangan itu begitu iri bahkan kini harus menitikkan air mata.
Marcel tidak mengetahui soal perasaan Tabita yang beberapa hari ini sudah mulai menaruh hati terhadap Marcel. "Ngapain kamu masih disini? Pergi keluar sana." Titah Marcel yang membuat bita seakan tersisihkan dan begitu tak dianggap olehnya.
"Dia bukannya temannya Siska ya? Jadi kamu kerja jadi asisten nya Marcel?" Tanya Tiffany yang belum menyadari akan raut wajah bita yang menahan air matanya supaya tidak jatuh. Tabita hanya diam dan pergi berlari meninggalkan dua insan yang saling merindukan itu.
Kini Tabita berlari menyusuri koridor kantor yang sepi hingga dia tiba di ujung koridor yang terdapat lift yang terbuka menampilkan alvano yang bingung melihat wajah Tabita yang sudah basah dengan tangis yang dari tadi sudah tumpah begitu saja.
"Bita kamu kenapa?" Pernyataan Vano seakan tak didengar dan tak membuat Tabita menjawab dan malah masuk kedalam lift yang tadi dan alvano yang bingung akan perlakuan bita membuat Vano khawatir dan menuju tangga darurat dekat lift untuk mengejar Tabita. Dia begitu khawatir akan keadaan Tabita yang menangis tak berhenti.
Nahloh Marcel buat bita nangis lagi!
Kenapa Tristan harus suka Ama bita? 😩
Kenapa Tiffany malah cari Marcel saat bita dah suka sih 😩
Jangan lupa tinggalkan vote ya teman-teman 🙈😁
See u next part