Vote sebelum membacaš Jangan lupa kasih Bintang yaa...
.
.
Memikirkan Sara terus menerus membuat Sophia pusing, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke toko kue di mana ia dahulu bekerja. Sebelumnya, ia mandi terlebih dahulu. Kemudian menghubungi nomor yang Edmund kirim. Sophia memastikan apartemen sudah rapi sebelum pergi. Setelah semuanya sudah ia cek, Sophia turun ke lantai utama gedung apartemen.
Saat keluar dari lift, Sophia melihat mobil hitam di depan pintu utama. Seseorang keluar dari mobil begitu Sophia mendekat.
"Selamat pagi, Nona Sophia. Saya Benjamin, supir pribadi anda," sapa pria tua itu dengan ramah.
"Selamat pagi, Benjamin," balas Sophia sambil tersenyum ramah.
Benjamin membukakan pintu mobil untuk Sophia. Ia baru masuk ke dalam setelah memastikan Sophia duduk dengan nyaman.
"Antar aku ke toko amazing bread and cookies."
"Baik, Nona."
Benjamin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mata Sophia memandang gedung-gedung pencakar langit. Dagunya bertumpu pada tangan kanannya agar nyaman menatap keluar. Mobil yang Sophia tumpangi melewati sebuah gedung tempat Sophia dan Edmund bertemu dulu, itu tempat Edmund bekerja. Gedung itu lebih besar dari gedung di sekitarnya, di depannya terdapat sebuah air mancur beserta patung seorang pria botak yang sedang membaca.
Mata Sophia beralih pada sisi kiri mobil, melihat orang-orang yang sedang berlalu lalang sibuk bekerja. Ia kembali mengingat bagaimana sibuknya dahulu. Seringkali Sophia tidak sempat makan siang karena sibuk.
Sophia memejamkan matanya sesaat lalu menyandarkan pundaknya pada kursi mobil.
"Apa kau sudah lama bekerja pada Edmund, Ben?"
"Sekitar 2 tahun, Nona," jawab Benjamin dengan menatap Sophia dari kaca.
"Kalau begitu apa kau mengenal seseorang bernama Sara?"
"Ya, Nona Sara dulunya tunangan Tuan Edmund. Saya sebelumnya bekerja sebagai supir pribadi Nona Sara."
Sophia menarik napasnya dalam, mencoba meredam rasa marah yang akan membuncah. Akhir-akhir ini emosinya sulit dikendalikan, moodnya terkadang turun drastis. Seperti seorang bipolar, perasaan Sophia selalu berubah ketika mendengar sesuatu yang bersangkutan dengan Sara.
"Supir pribadi?" Benjamin mengangguk. "Lalu apa alasan mereka berpisah?" Lanjut Sophia dengan rasa penasarannya yang masih tinggi.
"Maaf, Nona, tapi saya kurang tahu. Yang saya ingat hubungan mereka baik-baik saja, saya bahkan belum pernah melihat keduanya bertengkar," ucap Benjamin sembari menepikan mobilnya.
"Baiklah, terima kasih tumpangannya, Ben. Kau bisa pergi," ucap Sophia dengan tangan yang memegang pintu mobil, bersiap untuk keluar.
"Sama-sama, Nona. Tapi Tuan Edmund menyuruh saya menunggu anda ketika berpergian." Benjamin menolak secara halus.
"Ini mungkin akan cukup lama, kau sebaiknya pulang saja. Aku akan menghubungimu begitu selesai," ucap Sophia meyakinkan, tapi Benjamin tetap pada pendiriannya.
"Tidak apa, Nona. Saya akan menunggu."
"Baiklah," ucap Sophia dengan lemah, ia membuka pintu mobil dan menutupnya kembali setelah keluar. Dengan langkah lebar, Sophia berjalan menuju toko kue tempat Aurin bekerja. Saat Sophia membuka pintu toko, lonceng yang menempel pada pintu berbunyi, menjadi pesan pada pegawai bahwa seorang pelanggan telah datang.
"Selamat datang di- Sophia!" Aurin berteriak begitu keras ketika melihat sosok pelanggan yang baru saja membuka pintu, sontak saja beberapa pengunjung melihat ke arahnya.
Merasa malu, Aurin membungkukan badannya berberapa kali pada pengunjung di sana, kemudian ia menarik pelan tangan Sophia dan berjalan menuju dapur, tempat mereka bekerja bersama. Aurin langsung memeluk Sophia begitu mereka sampai di tempat mengadon kue.
"Astaga, Sophie, aku begitu merindukanmu." Aurin melepas pelukannya, kedua tangannya memegang pundak Sophia. "Kemana saja kau selama ini?"
"Aku tidak ke mana-mana, Aurin. Aku selalu berada di Los Angeles," ucap Sophia dengan nada bercanda.
"Kau mengundurkan diri, Sophia. Apartemen yang kau tempati kosong, tidak tahukah kau bagaimana aku mengkhawatirkanmu?"
Melihat wajah sendu Aurin membuat Sophia merasa bersalah, ia memeluk kembali Aurin. "Maaf," ucap Sophia pelan.
"Jangan menangis, aku tidak apa-apa. Sungguh." Sophia melepas pelukannya, menatap mata Aurin yang mulai berkaca-kaca.
"Aku mengkhawatikanmu, Sophie."
"Aku tahu, maaf," ucap Sophia diakhiri dengan senyuman, Aurin ikut tersenyum.
"Aku menuntut penjelasan!" Nada bicara Aurin meninggi.
"Baik, baik, kau sebaiknya izin dulu terhadap Tuan Headen. Aku ingin kita bicara berdua di Taman."
"Baiklah, aku akan meminta izin pria berkumis itu," ucap Aurin sambil tersenyum, ia melangkahkan kakinya menuju ruangan Tuan Headen untuk meminta izin.
Sementara Sophia melihat-lihat sekeliling dapur. Beberapa pekerja baru yang tidak Sophia kenal menyapanya. Sophia tersenyum, lalu kembali melihat sekeliling mencari seseorang.
"Apa Jaden masih bekerja di sini?" Sophia bertanya pada salah satu pekerja yang sedang mengocok telur.
"Ya, dia masih bekerja di sini. Tapi pagi tadi dia izin tidak bisa masuk."
Sophia mengangguk-anggukan kepalanya. Saat Sophia hendak kembali bertanya, Aurin datang ke arahnya sambil tersenyum. "Ayo," ucapnya sambil menggandeng tangan Sophia, keluar dari toko kue lewat jalan belakang.
mereka berdua berjalan beriringan menuju sebuah taman yang tidak jauh dari toko Tuan Headen. Jaraknya hanya beberapa puluh meter sajas. Aurin menarik tangan Sophia begitu ia melihat mobil ice cream di pinggir taman, keduanya duduk di salah satu kursi setelah memesan ice cream yang mereka mau.
"Jadi, kemana saja kau selama ini?" Kedua tangan Aurin bersedekap di atas meja putih yang ada di depannya.
"Sebenarnya saat ak-"
"Ini pesanan anda, Nona. Semoga kalian menikmatinya," ucap seorang pelayan memotong ucapan Sophia, ia menyimpan dua ice cream di atas meja.
"Terima kasih." Pelayan itu mengangguk pada Aurin sebelum melangkahkan kakinya kembali.
"Lanjutkan ceritamu," ucap Aurin, ia menyuapkan sesendok penuh ice cream ke dalam mulutnya.
Sophia menarik napasnya dalam, ia mulai menceritakan kejadian yang ia alami sembari memakan ice cream. Semuanya Sophia ceritakan dengan perlahan, tidak ada tambahan maupun pengurangan adegan dalam ceritanya.
Tangan Aurin mengepal, manahan amarah yang bisa meledak kapan saja. Sophia adalah orang yang Aurin sayangi, ia sudah menganggapnya sebagai adiknya sendiri. Aurin tidak terima dengan kejadian yang menimpa Sophia, meskipun ia berkata pria yang memperkosanya tanggung jawab, tetap saja amarah Aurin masih belum reda.
"Jadi, dia menikahimu?" Sophia mengangguk.
"Dan kalian akan bercerai ketika bayi itu lahir?" Sophia kembali mengangguk membuat Aurin tersenyum miris.
"Kau gila, Sophia. Pernikahan ini tidak ada untungnya sama sekali untuk dirimu!"
Kening Sophia berkerut. "Apa maksudmu?"
"Dasar, bodoh. Apa kau pernah memikirkan nasib anakmu setelah ia lahir kedunia? Kau akan bercerai dengan pria kaya itu, lalu anakmu akan menjadi korban, ia tidak bisa memiliki memiliki keluarga yang sempurna." Sophia menunduk, jari-jarinya saling bertautan.
"Lalu apa kau tahu bagian terburuknya, Sophie? Hak asuh anakmu akan jatuh pada ayahnya, kau tidak akan bisa tinggal bersamanya."
Tubuh Sophia menegang, ia mengangkat pandangannya. Menatap Aurin yang memandang kasihan padanya. "Aku akan mendapatkan hak asuh anakku. Dia akan tetap bersamaku, sampai kapanpun." Sophia memeluk perutnya yang masih datar dengan erat.
"Tidak 'kah kau ingat siapa yang kau hadapi, Sophia? D'allesandro! Mereka tidak akan membiarkan anak itu jatuh ke tanganmu."
Sophia menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mencoba mengatur napasnya agar tidak menjatuhkan air mata.
"Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Aurin. Yang aku pikirkan saat itu adalah nenek, aku tidak memikirkan bayi ini." Sophia mengelus perutnya yang masih datar, lalu kembali menatap Aurin. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Aurin menghembuskan napasnya kasar. "Aku tidak suka bicara seperti ini, Sophie. Tapi jika kau tidak ingin berpisah dengan anakmu, menangkanlah hati pria itu. Buat dia menjadikanmu seorang istri yang sangat dibutuhkan, dengan begitu takkan ada perceraian. Dan kau bisa terus bersama dengan anakmu," saran Aurin.
Sophia terdiam sesaat, perkataan Aurin terulang kembali dalam pikirannya. "Tapi, bagaimana dengan wanita bernama Sara itu?" Mata bulat Sophia menatap Aurin bingung.
"Mereka sudah berpisah, Sophie. Kini kau berada satu tingkat di atas wanita yang bernama Sara itu."
Sophia terus berpikir, tindakan apa yang akan ia ambil selanjutnya. Langkah mana yang akan pilih setelah ini.
Tanpa mereka sadari, seorang pria tersenyum kejam di balik pohon yang tidak jauh dari tempat Sophia dan Aurin. Pria itu mendengar semuanya dari awal, tentang masalah Sophia dan juga saran Aurin. Apa yang pria itu dengar akan membantunya menjalankan rencana yang sudah ia susun dengan mudah.
***
Love,
ig : @Alzena2108